DI satu bioskop, saya menyaksikan film The
Jungle Book, yang diproduksi Disney dan disutradarai John Favreau. Saya menyaksikan film yang dikembangkan dari novel yang ditulis Rudyard Kipling. Saat menyaksikan film ini, saya melihat
beragam simbol serta sikap yang hendak disampaikan penulisnya. Saya mengingat
buku yang ditulis profesor ekonomi berhaluan Marxis. Saya juga mengenang dua
hal yang menjadi kisah di balik penulisan novel yang mendunia itu. Dua hal itu
adalah imperialisme dan cinta kasih. Bagaimana menghubungkannya?
***
ANAK kecil bernama Mowgli itu berpetualang
di hutan bersama Bagheera dan Baloo. Jangan terkejut, Bagheera adalah seekor
macan kumbang yang bisa berlari cepat. Sedangkan Baloo adalah beruang madu yang
tambun serta jenaka. Mowgli menjelajahi hutan, bertemu banyak binatang, serta
menjalin persahabatan.
poster film The Jungle Book |
Petualangan itu tidak dilakukan dalam
suasana yang riang gembira. Mowgli dan dua sahabatnya terus waspada, sebab
dirinya sedang diincar oleh harimau bernama Shere Khan. Harimau itu memiliki
trauma pada manusia yang pernah melukai wajahnya dengan api, yang disebutnya
bunga merah. Ia ingin membunuh Mowgli, sebelum dirinya dewasa. Berkat
kecerdikan serta kemampuannya menalar, Mowgli sukses mengalahkan Shere Khan,
lalu mendatangkan kedamaian di hutan rimba.
Sebagaimana halnya film buatan Disney yang
lain, film ini berakhir happy ending, membahagiakan (lagian, kapan sih Disney buat film yang
gak happy ending?). Saya bisa memahami kalau lembaga sensor film di India
sempat melarang film ini beredar. Kalaupun akhirnya edar, diberikan catatan
agar anak-anak mesti didampingi orangtua. Ada banyak adegan dalam film ini yang
cukup menyeramkan. Beberapa kali saya menyaksikan perkelahian binatang. Ada
juga adegan sadis ketika harimau melumat srigala dan melemparnya ke bawah
jurang.
Kisah dalam film ini tak beda jauh dengan
versi cerita kanak-kanak yang ditulis Rudyard Kipling pada tahun 1894. Saya
pernah membaca versi singkat kisah ini. Kisah ini tak asing buat saya. Semasa
kecil, saya pernah membaca panduan di organisasi Pramuka, yang menyebutkan
kalau kegiatan kepramukaan (atau kepanduan) terinspirasi dari buku The Jungle
Book yang ditulis Kipling. Banyak aktivitas Mowgli yang lalu diadaptasi menjadi
kegiatan outbond yang menghibur, sekaligus punya nuansa edukatif. Di antaranya
adalah permainan mencari jejak.
Dua tahun silam, saya kembali menemukan
nama Rudyard Kipling dalam satu buku yang ditulis William Easterly, seorang
profesor ekonomi berhaluan Marxis di Amerika Serikat. Easterly menjadikan puisi
yang ditulis Kipling sebagai judul bukunya, yakni White Man’s Burden, yang
terbit tahun 2006. Easterly menganggap puisi itu sangat bias imperialis, bias
kolonialis. Puisi itu dianggapnya mendukung supremasi dari bangsa kulit putih
untuk datang menjajah ke negara-negara berkembang. Para imperialis itu seolah
dewa yang datang untuk memberdayakan, atau membuat bangsa-bangsa dunia ketiga
lebih beradab. Easterly membedah bagaimana bantuan-bantuan dari negara maju
justru menjadi penyakit yang justru membuat negara berkembang semakin terpuruk.
buku koleksi saya yang ditulis William Easterly |
Saya tak hendak membahas lebih jauh
tentang tulisan Easterly. Saya ingin fokus pada tulisan-tulisan Kipling,
khususnya The Jungle Book. Apakah di kisah itu terdapat sokongan pada
imperialisme sebagaimana disebut oleh Easterly?
Film The Jungle Book yang dibuat Disney
ini dibuat agak berbeda dengan bukunya. Film ini menjadi film inspiratif yang
mengisahkan persahabatan antara bocah bernama Mowgli dengan penghuni rimba.
Film ini dikemas menjadi fabel tentang penghuni hutan yang sama-sama mematuhi
hukum alam, namun ada saja yang melawan hukum itu dan memangsa sesamanya.
Jujur, ketika membacanya, saya menemukan ada banyak perbedaan dengan versi
bukunya.
Dua hari lalu, saya membaca tulisan Ricky
Riley yang ditulis di satu situs (klik DI SINI). Dalam tulisan berjudul “10 Disturbing Facts About ‘Jungle Book’
Author Rudyard Kipling and His Racist Views”, Riley menjelaskan pandangan rasis
dari Kipling. Katanya, kisah The Jungle Book bisa diihat sebagai metafor atas
semua pandangan imperialis. Beberapa hal pada pandangan Riley, saya setuju.
Tentu saja, akan menarik untuk mengamati bagaimana imperialisme itu hadir saat
menelusuri latar belakang penulisnya, pemilihan karakter, plot, serta narasi
dalam kisah itu sendiri.
The Jungle Book
ditulis pada tahun 1894. Kipling sendiri berkebangsaan Inggris. Dalam versi
awalnya, The Jungle Book dibuat dengan cetakan yang dilengkapi ilustrasi yang
digambar oleh John Lockwood Kipling, ayahnya sendiri. Ia lahir di India, dan
menghabiskan enam tahun masa kecilnya di sana, sebelum akhirnya pindah ke
Inggris. Namun, kisah ini sendiri ditulis di Vermont, Amerika
Serikat.
Sejak tahun
1898, Kipling bepergian ke Afrika Selatan untuk liburan mudim dingin. Di sana,
ia tinggal di rumah yang ditinggali seorang imperialis Cecil Rhodes, yang
pernah membunuh ribuan warga kulit hitam demi mendapatkan tanah dan sumberdaya
untuk imperialis Inggris, serta keuntungan pribadi. Sedikit, banyak,
pandangan-pandangan Kipling terpengaruh oleh imperialis ini.
Kipling percaya
bahwa imperialisme adalah jalan untuk memberdayakan orang berkulit hitam
ataupun kulit berwarna. Mereka dianggapnya bangsa barbar, bangsa yang
terbelakang, idiot, dan tidak punya hasrat untuk maju. Salah satunya cara untuk
mengangkat mereka dari keterpurukan adalah menjajah mereka, lalu memperkenalkan
peradaban yang lebih maju dan modern.
Pada masa itu,
imperialisme adalah pahaman yang dianut sebagian orang yang berpikir sempit. Di
antara mereka adalah para pemimpin, intelektual, dan para pengusaha, yang
menganggap orang lain terbelakang. Mereka datang ke negara berkembang, lalu
menjajah mereka untuk kepentingan memperkaya sumberdaya. Kipling adalah salah
satu yang berpikir demikian.
Pada bulan
Februari 1899, ia menulis puisi kontroversial berjudul “The White Man’s Burden”
demi meyakinkan pemerintah Amerika Serikat agar terlibat dalam perang Filipina
– Amerika. Dia memiliki asumsi bahwa Amerika Serikat harus mengambil peran yang
disebutnya sebagai beban orang kulit putih yakni memberadabkan orang-orang
primitif, yang disebutnya ‘separuh setan dan separuh kanak-kanak’. Di matanya,
warga asli Filipina adalah orang terbelakang, primitif, yang mustahil bisa
menggapai kesejahteraan tanpa intervensi orang kulit putih. Puisi ini
kontroversial hingga kini, dan sering dikutip banyak orang, termasuk William
Easterly yang saya sebut di atas.
Kisah The Jungle Book menggambarkan gagasan-gagasannya. Kisah ini mengambil latar di satu hutan
di India, yang jsutru tak pernah didatanginya. Ia menggambarkan orang asli
India sebagai orang idiot, primitif, dan terbelakang. Makanya, tentara Inggris
punya peran penting untuk membuat mereka lebih beradab. Dalam kisah itu, Mowgli
adalah gambaran dari tentara Inggris yang datang ke hutan, lalu mengajari warga
hutan agar menaati aturan. Mowgli bisa mengendalikan binatang-binatang, lalu
memimpin mereka. Ini adalah simbol dari penaklukan Inggris di tanah India.
Mowgli di atas tubuh Baloo (beruang), dan disaksikan Bagheera (black panther) |
Dalam versi
bukunya, Baloo adalah beruang yang merupakan mentor dan sahabat Mowgli. Baloo adalah
segregasionis, sosok yang memilah orang lain berdasarkan kasta. Baloo
mengajarkan Mowgli hukum alam yang berlaku bagi semua mahluk, kecuali monyet.
Kata Baloo, para monyet tinggal di pohon, tidak punya hukum. Para monyet adalah
para pelarian. Mereka tidak pernah menyuarakan bahasanya sendiri, melainkan
mencuri kalimat dari mahluk lain yang pernah mereka dengar.
“Their way is not our way. They are without leaders. They have no remembrance. They boast and chatter and pretend that they are a great people about to do great affairs in the jungle, but the falling of a nut turns their minds to laughter and all is forgotten. We of the jungle have no dealings with them. We do not drink where the monkeys drink; we do not go where the monkeys go; we do not hunt where they hunt; we do not die where they die.”
Nampaknya, Baloo hendak menjelaskan mahluk
lain yang lebih primitif. Untuk mengatasinya adalah butuh seorang pemimpin yang
lebih maju. Pandangan Baloo ini bisa dikatakan sebagai benih dari supremasi
satu kaum atau kaum lain, yang kemudian bisa melegalisir semua tindakan
kekerasan pada mahluk lain.
***
DI luar dari aspek imperialisme, terselip
pula kisah tentang cinta dari kisah The Jungle Book ini. Ternyata, novel ini
dibuat oleh Kipling saat dia dan istrinya tengah menunggu kelahiran anak
pertamanya. Putrinya, Jopsehine, lahir tahun 1892. Mengacu pada BBC, Kipling
menulis kalimat khusus pada halaman The Jungle Book yang pertama terbit. Ia
menulis, "This book belongs to Josephine Kipling for whom it was
written by her father, May 1894." Sungguh mengharukan, Josephine meninggal
pada umur 6 tahun karena sakit parah. Kematiannya meninggalkan luka yang dalam
di hati sang ayah. Tak lama kemudian, sang ayah, penulis The Jungle Book,
meninggal dunia, menyusul anaknya.
***
DI BALIK kisah tentang imperialisme serta
cinta kasih ini, saya cukup menikmati film ini. Saya cukup hanyut saat melihat
bagaimana semua hewan memahami hukum alam, yang dibacaan saat-saat tertentu.
Para serigala membentuk kawanan dan saling melindungi kawanan itu. Dalam versi
Disney, Mowgli menjadi manusia yang memahami kecakapan hewan dan kecakapan
manusia sekaligus. Ia peka, sensitif, serta cerdik. Lewat kecerdikan inilah, ia
bisa mengalahkan Shere Khan.
Penasaran bagaimana kisahnya? Tonton dong.
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar