Gambar 1: Kegiatan Penyambutan Mahasiswa di Baruga Andi Pangerang Petta Rani, Unhas |
ENAM puluh tahun, kapal phinisi bernama
Universitas Hasanuddin (Unhas) melesat di samudera perubahan. Ada banyak riak-riak
tantangan. Ada pula berbagai samudera dan ancaman yang terus menghempas perahu
pendidikan tersebut. Namun, matahari harapan selalu muncul di ufuk saat
menyadari betapa kuatnya modal sosial yang dimiliki Unhas.
Sayang, modal sosial itu sering terabaikan dari
pandangan. Padahal jika modal sosial itu bisa dikenali dan dijadikan sebagai
basis, maka Unhas akan melesat jauh mengarungi semua samudera.
***
BAPAK itu membuang pandang ke lautan sana. Sebut
saja namanya Ambo Tuwo. Di tepi Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ia menunjukkan
saya beberapa situs bersejarah. Ia mengajak saya berkeliling, sembari memperlihatkan
banyak hal. Dia sungguh baik kepada saya yang baru pertama kali menginjakkan
kaki di pulau itu. Saya pun baru mengenalnya.
Pada mulanya, saya singgah di satu warung kopi.
Saya berkenalan dengannya. Saya familiar dengan aksen Bugisnya yang cukup
kental. Saat menyadari bahwa kami sama-sama keluar dari rahim perguruan tinggi
yang sama yakni Universitas Hasanuddin, bapak itu langsung menganggap saya
sebagai keluarga. Ia memeluk saya seolah bertemu saudara yang puluhan tahun tak
bersua.
Mata bapak itu berbinar-binar dan lebih hangat.
Dengan penuh semangat ia bercerita tentang hari-harinya saat menempuh pendidikan
di kampus Unhas di Baraya, maupun Tamalanrea. Ikatan persaudaraan sebagai
alumni Unhas telah menautkan saya dengannya. Kami sama-sama dipersatukan oleh kenangan
indah saat belajar di kampus Unhas di Tamalanrea.
Universitas ibarat rahim seorang ibu yang
pernah tempat tumbuh dan berkembang. Bapak itu bercerita tentang masa-masa
belajar, serta perguruan tinggi yang menjadi tempat dirinya menemukan minat dan
masa depan. Yang paling diingatnya tentang masa kuliah adalah proses panjang
saat menempa diri, belajar hal-hal baru, lalu memantapkan dirinya untuk memilih
profesi tertentu. “Kalau tak ada ijazah Unhas, saya tak mungkin akan menjadi
seperti sekarang. Kampus Unhas membuka gerbang baru bagi saya,” katanya.
Seusai lulus, ia lalu hijrah
ke Batam, lalu ke Tanjung Pinang. Ia tak mengenal siapapun di situ. Sebagai
seorang perantau, ia percaya pada jalan takdir yang akan berpihak pada mereka
yang bersungguh-sungguh.
Dirinya bukanlah orang Bugis
pertama yang datang ke pulau indah itu. Jauh di masa silam, nenek moyangnya
telah melakukan perpindahan. Moyang Bugis memang punya tradisi tentang sompe’
atau berlayar ke negeri-negeri yang jauh. Melalui sompe,’ mereka tersebar ke mana-mana, berdiaspora dengan berbagai
budaya, lalu ikut membangun peradaban. Tiga pusaka yang selalu dibawa kerap
kali disebut tiga ujung (telu cappa’), yakni cappa lila’ (ujung lidah), cappa
kawali (ujung badik), dan cappa lase’
(ujung kemaluan). Lidah adalah personifikasi dari kemampuan diplomasi, badik
adalah personifikasi kemampuan bertempur, sedangkan kemaluan adalah
personifikasi dari perkawinan antar bangsa. Mereka memang harus berbaur dengan
semua komunitas, lalu menjelma jadi bagian komunitas itu.
Pada tahun 1722, orang Bugis
merebut tahta Johor dan menaikkan Abdul Jalil sebagai sultan. Selanjutnya,
keturunan Bugis-Makassar yang memimpin Johor selama beberapa generasi. Bahkan
Selangor, yang lahir pada abad ke-18, juga dipimpin seorang lekaki Bugis
bergelar Sultan Salehuddin Syah, yang merupakan saudara Raja Haji Fi
Sabilillah, putra Daeng Cella’, keturunan dari Raja Luwu yang terkemuka We
Tenrileleang.
***
BAPAK di hadapan saya ini adalah perantau
berijazah. Ia tak lagi memasrahkan jalan hidupnya pada takdir. Ia membawa
selembar ijazah serta nama besar Unhas yang lalu dijadikannya sebagai penanda
kapasitasnya, sekaligus sebagai jejaring sosial. Jaringan alumni Unhas tersebar
di banyak tempat di tanah air. Jaringan itu lalu menjadi jejaring profesi yang
saling menguatkan, serta memberikan ruang bagi seorang alumni untuk berkiprah.
Hanya saja, ia menyesalkan kalau jejaring itu
terbentuk secara spontan, tanpa membangun relasi yang kuat dengan universitas. Saat
tiba di tempat itu, ia memulai segalanya dari nol. Ia mulai dengan memperkenalkan
diri ke beberapa orang, menelusuri ada tidaknya jejaring alumni Unhas. Setelah
ia menemukannya, mulailah ia meyakinkan para alumni kalau dirinya punya
kapasitas yang baik. Ia butuh waktu beradaptasi. Pengetahuan dari kampus tak
selalu bersesuaian dengan kebutuhan di pasar kerja. Setelah bertahun-tahun
belajar kembali serta dibimbing leh senior yang dikenalnya, ia akhirnya
menempati posisi yang cukup mapan.
“Andaikan jaringan itu sudah saya kenali sejak
kuliah. Andaikan jaringan alumni itu sering ke kampus dan berdiskusi dengan mahasiswa,
barangkali saya tak kesulitan untuk beradaptasi. Makanya, saya ingin sekali
berbagi pengetahuan dengan adik-adik mahasiswa. Tapi apakah kampus punya ruang
untuk para alumni yang mau berbagi?,” katanya.
Saya tercenung mendengar kisahnya. Di balik
kisah sukses itu, terdapat jalan yang cukup panjang dan berliku-liku. Saya
termenung memikirkan tentang jarak yang cukup lebar antara alumni dan perguruan
tinggi. Seseorang yang lulus universitas ibarat memasuki satu medan perang yang
tak dikenalinya. Ia membawa senjata yang tak selalu tepat untuk menembak
sasaran.
Bapak ini mengajak saya berbicara tentang dua
isu yang sangat substansial, yakni (1) tidak terbangunnya relasi kuat antara
kampus dan alumni yang lalu berimbas pada reproduksi pengetahuan di kampus. Kampus
seolah berjalan sendiri, tanpa mengamati dinamika yang terjadi di luar kampus,
(2) tidak memadainya informasi tentang semua alumni yang tersebar ke mana-mana.
Kampus serupa induk ayam yang membiarkan anaknya lepas dan melanglang-buana ke
manapun.
Unhas bukanlah kampus yang belum lama berdiri.
Kampus ini berdiri sejak tanggal 11 Juni 1956. Selama 60 tahun, kampus ini
membangun tradisi di altar ilmu pengetahuan. Dunia akademik bukanlah dunia yang
melalang-buana di langit teori dan gagasan ideal. Dunia akademik membutuhkan
asupan informasi serta pengayaan data dari dunia praktisi. Tanpa masukan dari
dunia praktisi, dunia akademis tak memiliki pijakan yang membumi.
Sebaliknya, dunia praktisi pun membutuhkan
dunia akademis. Tanpa sokongan teori dan analisis akademis, dunia praktisi
hanya akan melihat fakta-fakta secara lepas, tanpa mengikatnya dalam satuan
teori, yang harusnya bisa menjadi pirani untuk mengenali beragam kenyataan.
Sinergi keduanya harus menjadi bagian dari proses ilmiah yang dikembangkan di
universitas.
Ditinjau dengan cara pandang ini, posisi
seorang alumni menjadi sangat penting. Seorang alumni seyogyanya dilihat
sebagai duta perguruan tinggi yang akan mengkonfirmasi kembali sejauh mana relevansi
teori-teori yang dipelajari di kampus. Seorang alumni tak hanya menyandang nama
besar universitas sebagai anggota keluarga besar, melainkan menjadi mata, kaki,
dan telinga bagi kampus untuk merefleksi kembali semua bahan ajar lalu
menyajikan materi yang selaras dengan perkembangan zaman.
***
SEJAK tanggal 22 Juli 2015
Universitas Hasanuddin telah ditetapkan oleh Presiden RI menjadi Perguruan
Tinggi Badan Hukum (disingkat PTN-BH). Status baru ini memungkinkan Unhas memiliki entitas hukum
mandiri, tetapi masih dalam lingkup Kementerian Riset dan Dikti. Status ini menyebabkan Unhas memiliki otonomi yang lebih besar
dalam mengelola organisasi dan dalam proses pengelolaan keuangan. Juga memiliki
kewenangan mandiri baik akademik maupun non akademik.
Dalam FGD yang diadaka IKA-Unhas se-Jabodetabek, terungkap bahwa statuta PTN-BH membuat Unhas memiliki otonomi
yang sangat luas dalam hal pendanaan perguruan tinggi (lihat DI SINI). Namun, pendanaan itu harus dikelola dengan
akuntabilitas yang sangat tinggi, dan
harus bisa dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau stakeholders universitas. Tak sekadar pertanggungjawaban keuangan, tapi juga
hasil dan keluaran (output). Statuta
ini mengharuskan Unhas untuk selalu membangun dialog-dialog dengan alumninya,
menjadikan masukan alumni sebagai penguat dari proses akademik di kampus,
melihat semua saran dan input sebagai energi yang akan menggerakkan perguruan
tinggi menjadi lebih baik. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat di website Unhas (klik DI SINI)
Pada titik ini, masyarakat harus
dilibatkan dan dapat ikut serta dan
berpartisipasi dalam mengukur jumlah dan mutu lulusan serta relevansinya dengan
kebutuhan masyarakat, dunia usaha, birokrasi
dan kepentingan nasional lainnnya. Mekanisme pelibatan mereka harus
dibangun secara efektif dan berkelanjutan”.
Gambar 2: Suasana Danau Unhas |
Nah, tantangan yang dihadapi jelas tak mudah.
Unhas tak hanya berhadapan dnegan problem yang sifatnya nasional, tapi juga
harus meghadapi berbagai dinamika, baik regional, maupun internasional. Di
tingkat regional, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah diberlakukan sejak tanggal 31 Desember 2015, dimana
kawasan Asean akan menjadi pasar terbuka dan kesatuan yang berbasis produksi;
serta mobilitas arus barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja akan
bergerak bebas.
Masyarakat Ekonomi Asean diharapkan memiliki
empat pilar: (1) kawasan ekonomi berdaya saing tinggi, (2) pertumbuhan ekonomi yang merata, (3) integrasi ke perekonomian
global, (4) menjadikan
Asean sebagai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi melalui barang dan
jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil (Bappenas 2009).
Demi mendukung arus bebas tenaga kerja
dan memfasilitasi pergerakan disusunlah Mutual Recognition Arrangement (MRA)
sebagai suatu kesepakatan antar negara Asean dalam beberapa aspek untuk
saling menerima dan mengakui adanya perbedaan antar negara dalam hal
pendidikan, pelatihan, pengalaman dan persyaratan lisensi untuk para
professional yang ingin berpraktik sehingga diperoleh suatu kesetaraan.
Tak hanya itu, di level internasional,
tantangan yang dihadapi Unhas kian kompleks. Ia dituntut untuk menjadi
universitas berkaliber internasional yang bisa menjawab berbagai tantangan
global. Sebagai perguruan tinggi besar, Unhas tak bisa dibatasi perannya, hanya
sekadar meniti di ranah lokal dan nasional, tapi juga harus memainkan peran
penting di kancah global. Peran yang bisa dimainkan adalah memperkuat riset
berstandar dunia, mereproduksi berbagai riset yang sifatnya aplikatif untuk
mengatasi masalah dunia, serta rekomendasi pada kebijakan dan tata pergaulan
internasional.
Tantangan ini tak mudah. Tapi Unhas tak punya
pilihan selain menghadapi semua tantangan itu “dengan jiwa dan spirit
Hasanuddin.” Apakah gerangan
pilihan-pilihan strategis yang bisa diperkuat Unhas untuk membentengi dan
memperkuat dirinya?
***
DI Pulau Penyengat, Ambo Tuwo menghembuskan
asap rokok ke udara. Saya yang duduk di sampingnya masih setia menemaninya
berbincang. Setelah membahas kerinduan pada kampus Unhas, kami saling bercerita
tentang apa saja yang bisa ditempuh Unhas untuk menggapai semua samudera
impiannya.
Saya sepakat dengannya kalau Unhas harus
memulai dari mengidentifikasi kekuatan serta modal sosial yang dimilikinya.
Jika tantangan di depan kian kompleks, Unhas seyogyanya membuka dialog yang
seluas-luasnya dengan para alumni, mempertahankan jaringan (networking) dengan
semua alumni, lalu membuka lebar-lebar semua pintunya untuk sharing dan
updating pengetahuan.
Mengacu pada Francis Fukuyama (1996), modal
sosial bisa mencakup institusi yang dibangun bersama (crafting institution), solidaritas, dan kepercayaan (trust). Dalam konteks Unhas, ada beberapa
hal yang bisa dijadikan sebagai modal sosial yang menadi titik tumpu itu.
Pertama, jaringan ribuan alumni yang sangat
luas, dan banyak di antaranya yang menempati posisi pejabat publik. Tradisi
rantau orang Sulawesi Selatan membuat alumni Unhas tersebar merata ke banyak wilayah.
Para alumni ini memiliki beragam profesi, mulai dari wail presiden, menteri,
hingga kaum profesional. Jejaring dnegan mereka harus dirawat lalu diptimalkan
untuk mendiring proses-proses ilmiah di level kampus.
Kedua, memperkuat basis riset sebagai pilar
universitas. Unhas harus meningkatkan daya saing. Kemitraan dengan alumni bisa mendorong lahirnya beragam input atau
masukan yang diharapkan bisa mendinamisasi semua proses yang terjadi di dalam
perguruan tinggi, mendorong kampus untuk menjawab tantangan itu melalui riset.
Yang dibutuhkan di sini adalah inventarisasi berbagai persoalan di dunia praktis,
lalu respon kampus melalui riset. Kampus diharapkan tak sekadar melakukan tugas
rutin untuk pendidikan, tapi juga penguatan riset-riset kolaboratif dengan
dunia praktisi.
Ketiga, manajemen dan pengelolaan pengetahuan dengan
efektif. Setiap pengetahuan yang diperoleh dari riset harus dikelola melalui
proses diseminasi atau penyebaran informasi itu ke berbagai ranah, mulai dari
publikasi jurnal internasional, hingga dunia praktisi yang menunggu respon
akademis atas situasi yang dihadapi.
Keempat, positioning
sebagai barometer pengetahuan di kawasan timur Indonesia. Sebagai kampus
terdepan di timur, Unhas memiliki keunggulan posisi di banding kampus-kampus
besar lain yang tumbuh di Jawa. Unhas harusnya menjadi basis dari semua kajian
tentang timur, serta menjadi penyedia data paling akurat tentang kawasan timur.
“Mungkin yang harus dilakukan adalah kampus
harus membuka diri pada berbagai masukan pihak luar untuk kemajuan kampus,”
kata Ambo Tuwo.
Saya tahu, apa yang dikatakannya itu tidak
mudah untuk dilakukan. Selama sekian tahun, kampus hidup dalam menara gading
yang tertutup dari lingkungan sekitar. Namun jika kampus ingin terus merespon
dinamika di sekitarnya, mau tak mau kampus harus membuka diri dan mengajak
semua pihak untuk terlibat dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika tak
berubah, perguruan tinggi bisa tenggelam di lipatan sejarah. Energi perubahan
itu ada pada semua pihak. Dengan menyadari kekuatan dan modal sosial, maka kelak
Unhas akan berdendang: “putra-putrimu kini bangkit dengan jiwa Hasanuddin.”
20 April 2016
Sumber Gambar:
Gambar 1: http://beritadaerah.co.id/wp-content/uploads/2014/08/Penyambutan-Mahasiswa-Baru-180814-SMT-2.jpg
Gambar 2: http://bhanuaa.blogspot.co.id/2012/05/danau-unhas-pada-sore-hari.html
2 komentar:
Permisi yaa..juri mampir :)
menginspirasi
Posting Komentar