BEBERAPA kali saya menyaksikan
pejabat berpidato. Mulai dari menteri, gubernur, bupati, ataupun walikota.
Selalu saja saya menemukan sesuatu yang sama. Selalu saja saya mendengarkan
materi pidato yang monoton. Isinya selalu membanggakan prestasi hebat yang sedang
diraihnya. Mengapa tak ada topik pidato yang lain?
Suatu hari, saya menyaksikan
seorang menteri menjadi keynote speaker. Tak perlu saya bahas detail siapa
menteri yang berpidato. Sejak awal, ia memulai pidato dengan sapaan kalau
dirinya sedang curhat. Selanjutnya, ia memulai dengan gambaran tentang kondisi
saat dirinya mulai menjabat. Ia mengaku mendapatkan warisan masalah. Tak ada hal
baik yang diterimanya sebagai warisan.
Selanjutnya, mulailah kisah
kerja keras. Ia bercerita bagaimana dirinya memangkas birokrasi, membuat efisien
semua pekerjaan, menetapkan goal yang lalu dikejar dengan berbagai program. Ia
membahas mesin besar kementerian yang bergerak karena dirinya adalah
pengendali. Ia ingin berkata bahwa selama ini kondisi birokrasi amat buruk
karena pemimpinnya tidak kompeten. Dirinyalah yang menggerakkan semua, yang
tadinya diam di tempat.
Topik berikutnya semakin tidak
menarik di mata saya. Dia mulai bercerita tentang beberapa hambatan seperti
sogokan, kiriman parsel, juga godaan saham. Terhadap semua hambatan itu, sang
menteri berkata singkat, “Tolong minggir. Saya sedang menjalankan ibadah saya
untuk orang banyak! Saya beribadah untuk membuat masyarakat Indonesia sejahtera.”
Hadirin bertepuk tangan. Saya
menatap sekitar dengan keheranan.
Topik mengenai agama selalu
bisa membuat bulu kuduk merinding. Topik itu selalu memberikan kesan kalau
seseorang benar-benar mendedikasikan dirinya untuk orang banyak. Niat bekerja
dilihat sebagai niat suci untuk kebaikan, niat untuk berbakti kepada Tuhan. Kadang,
kita kehilangan sikap kritis dan tidak menelaahnya dengan bijak. Kita langsung
menganggap sang pejabat sebagai dewa yang turun ke bumi demi memperbaiki bumi
yang kacau-balau karena tiadanya orang yang setia beribadah.
Orang-orang gampang terkesan
saat si pejabat membahas dedikasi dan keikhlasan. Lucunya, orang-orang
kehilangan sikap kritis dan percaya begitu saja semua yang dikatakan. Padahal,
pertanyaan sederhana bisa dikemukakan. Jika memang si pejabat itu semata-mata
memikirkan orang banyak, mengapa pula kita jarang mendengar ucapan kagum
ataupun apresiasi atas keengganannya mengambil hak dari negara yang berlimpah?
Mengapa pula harus menggunakan kalimat-kalimat penuh kehebatan yang membuat
semua orang bertepuk tangan?
Entah kenapa, saya nyaris tak
pernah menemukan satupun pejabat yang berpidato dengan topik tak biasa. Saya
tak pernah mendengar pejabat yang bicara apa adanya, misalnya berbagai kendala
dan kegagalan yang dialaminya. Padahal, pengakuan akan kegagalan itu adalah
indikasi dirinya telah bekerja keras untuk memetakan satu persoalan, meskipun
belum ada penyelesaian.
Dengan membahas itu dalam
pidato, ia bisa melibatkan publik untuk ikut memikirkan apa yang
langkah-langkah terbaik yang bisa diambilnya. Pengakuan kegagalan itu bisa
menjadi potret yang paling manusiawi bagi seorang pejabat. Ia beusaha
sekuatnya, tetapi persoalan terlanjur kompleks. Dirinya hanya sekrup kecil di
satu mesin besar yang tak banyak daya.
Mengapa pejabat kita suka
membahas keberhasilan? Sebab penyataan keberhasilan itu akan berbuah decak
kagum serta apresiasi banyak orang. Terlampau banyak pejabat yang “makan puji”,
sengaja bercerita hal baik, dengan harapan agar mendapat tatapan kagum serta puja-puji.
Padahal, kenyataan yang sedang dihadapinya terus bergerak. Mungkin ia hanya
menampilkan satu keping waktu, yang sejatinya masih akan terus bergerak.
Besok-besok sang waktu akan berada di titik paling nadir Tapi, apakah pejabat
itu akan mengakui kalau ada persoalan?
Dunia para pejabat adalah
dunia penuh pencitraan. Yang tumpul di dunia ini adalah sikap kritis pada berbagai
data, pujian, ataupun segala bentuk tatapan kagum. Kita masih tak beranjak pada
politik kosmetik, menyapukan warna indah dan merangsang pada bibir agar terus memikat
publik, padahal soal-soal yang substansial malah terabaikan.
Jujur, saya merindukan ada
pejabat yang berpidato tentang kegagalan-kegagalan. Jika ada pejabat demikian,
saya akan jempol kepadanya. Berarti dia seorang yang jujur dan menyampaikan
sesuatu, tanpa harus dipoles-poles dengan berbagai data agar selalu bisa
mendapatkan pujian. Dengan mengungkap kenyataan secara apa adanya, pejabat itu
menampilkan kejujuran, serta pesan kepada orang lain kalau mesti ada orang lain
yang melanjutkan apa yang direkomendasikannya.
Saya merindukan kepala daerah
yang secara gentle mengakui dirinya tak banyak berbuat. Dengan mengakui ada
masalah, ia menampilkan kejujuran dan kerja keras, walaupun tak membuahkan
banyak hal. Dengan mengungkap kegagalan, ia mewariskan satu pesan kuat agar penerusnya
bisa menggantikan hal-hal yang selama ini gagal diatasinya. Dengan menyebut
kelemahan, penerusnya bisa memiliki peta permasalahan yang akurat, sembari membuat
berbagai inovasi untuk mengatasi persoalan.
Pengakuan gagal adalah
pengakuan jujur yang membuat seorang pejabat tidak sedang bersandiwara melalui
deretan angka-angka, yang boleh jadi penuh rekayasa dan manipulasi. Melalui
pengakuan gagal, seorang pejabat menemukan dirinya sendiri. Ia boleh saja gagal
dalam kerja dan tanggungjawab, tetapi kejujuran itu telah menempatkan dirinya
sebagai manusia yang lebih baik, yang jujur mengakui sesuatu apa adanya. Itu akan menguatkan kesan kalau dirinya orang ingin agar penggantinya bisa mengatasi apa yang gagal dihadapinya.
Ah, semoga ada yang demikian.
Biar saya tak semakin tersiksa karena harus mendengar pidato seorang pejabat.
Bogor, 21 April 2016
2 komentar:
Wah... Bener juga ya...kalau ada pejabat yang berpidato ttg kegagalannya, maka dia layak masuk MURI
Sepakat sya bang, di sisi.lain mungkin mereka jujur atas prestasinya, walaupun kecil tapi bersuaha dibranding semaksimal mungkin..... pejabat akan jujur dengan sejujur jujurnya ketika menjelang akhir periode kedua atau menjelang pensiun,... inilah mental birokrasi di republik ini
Posting Komentar