Memulung HIKMAH, Menuai BAHAGIA



SEORANG pria divonis mengidap kanker oleh seorang dokter. Bukannya bersedih atau menangis tersedu-sedu, pria itu malah tertawa terbahak-bahak. Dokter amat terkejut, seraya berkata, “Saya belum pernah bertemu orang yang justru tertawa saat divonis mengidap kanker.” Pria itu lalu menjawab, “Apakah bersedih akan membantu saya untuk terhindar dari penyakit itu?”

Di belahan bumi lain, seorang pria juga divonis akan segera mengalami kematian. Sebagaimana kisah sebelumnya, pria itu tak mau bersedih. Ia lalu berhenti dari pekerjaannya, kemudian merencanakan keliling dunia bersama keluarganya. Ia juga menjual semua perusahaan yang dimilikinya. Ternyata, vonis itu keliru. Ketika dokter menginformasikannya, ia memutuskan untuk tetap liburan bersama keluarganya.

Kepada dokter, ia berkata, “Terimakasih atas vonis itu. Saya akhirnya menyadari betapa pentingnya saat-saat bersama keluarga. Saya beruntung masih memiliki momen-momen seindah itu bersama mereka.”

Kisah-kisah ini saya temukan dalam buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3!, yang ditulis biksu Ajahn Brahm. Pengarang buku ini adalah seorang berkewarganegaraan Inggris yang merupakan alumnus program fisika di Cambridge University. Ia mencari makna hidup, hingga akhirnya tiba pada keputusan untuk menjadi seorang biksu yang ditempa selama bertahun-tahun di tengah hutan di Thailand.

Melalui kisah-kisah yang dituturkan dalam bahasa sederhana, saya belajar banyak tentang bagaimana menghadapi kesedihan, kemalangan, serta luka-luka kehidupan. Berbeda dengan kebanyakan orang, biksu Ajahn Brahm mengajarkan kita untuk membebaskan diri dari segala derita dengan cara mengubah cara kita memandang derita tersebut.

Ia mengatakan, ketimbang terjebak pada sikap panik atau sedih, jauh lebih baik jika kita tetap memelihara sikap kegembiraan. Kesedihan tak perlu dihindari, akan tetapi diakrabi dan diperlakukan sebagai bagian dari pengalaman sehari-hari yang mendamaikan. Ketika kesedihan menjadi sahabat, maka ia menjelma menjadi kebahagiaan.

tiga buku Cacing
Dunia dalam pandangan Ajahn Brahm adalah dunia yang terus mengalir dan penuh ketidakpastian. Ia tak hendak menaklukan atau menguasai dunia. Ia ingin mengalir bersama dunia, menenggelamkan diri dalam segala gerak serta ketidakpastian. Pantas saja jika kemudian ia tak punya banyak obsesi dan keinginan. Ia juga tak ingin terikat erat pada sesuatu, yang kemudian bisa menjadi sumber derita.


Bagi saya, Ajahn Brahm adalah seorang sufi abad modern yang mengajarkan kebaikan melalui contoh-contoh sederhana. Ia bisa menarik hikmah dari semua pengalaman dan kejadian yang disaksikannya. Makanya, dalam setiap tulisannya, ia selalu bercerita pengalamannya, serta pelajaran yang bisa ditarik dari pengalaman itu. Dengan cara demikian, para pembaca bukunya akan terhindar dari cerita tentang sesuatu yang normatif dan ideal, sebab kisah yang dituturkan adalah kisah yang membumi.

Yang saya suka dari buku ini adalah semua kisah yang disampaikan adalah pengalaman sendiri. Sepanjang buku, saya tidak pernah menemukan satu kutipan dari kitab Budha atau dalam berbagai teks agama Budha. Padahal, pengarangnya adalah seornag biksu. Kalaupun ada kutipan, maka itu disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang menarik dengan setting abad kekinian. Makanya, kisah itu menjadi sangat kontekstual.

Ini sungguh berbeda dengan ceramah atau tulisan dari pemuka agama lain yang selalu mengambil rujukan kitab agama atau pendapat pemuka agama di masa silam. Sering pula saya temukan tulisan tentang analisis tekstual atas makna kitab, kemudian dikaitkan dnegan problem masyarakat hari ini. Terus terang, saya jenuh dengan debat mengenai teka-teki teks masa silam, yang kemudian menjadi titik tengkar atau debat di masa kini. Jika sejatinya teks ditujukan untuk memurnikan langkah manusia ke jalan Tuhan, lantas, mengapa pula ada debat yang tak berkepanjangan hingga manusia di masa kini saling mengkafirkan?

Bagi saya prbadi, cara penyampaian makna religius lewat pengalaman umat di masa silam sering tak relevan dengan kondisi sekarang. Ada aspek kultural, geografis, serta historis yang kemudian menjadi tabir pembatas sehingga membuat pesan-pesan agama yang indah menjadi tidak kontekstual.

Buku Ajahn Brahm ini sukses mengajarkan hikmah, tidak dengan cara yang menggurui, namun dengan cara-cara yang sederhana. Pesan indah yang disampaikan melalui buku ini adalah sesuatu yang kontekstual dan melintasi zaman. Tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa buku ini ibarat obat yang meredam segala duka dan derita, ibarat embun yang mengatasi rasa dahaga akan spiritualitas dan hidup yang sederhana namun bermakna, serta ibarat cahaya terang yang memberikan suar di tengah kegelapangan pengetahuan dan kebingungan mencari jalan keluar di tengah labiran gelap.


Usai membaca buku ini, batin saya tiba-tiba dibasahi sesuatu. Saya tiba-tiba saja mengalami indahnya rasa bahagia dan kemudian meninjau ulang semua kesedihan. Saya akhirnya mengamini pesan indah orang bijak di sekujur peradaban bahwa aa yang disebut hikmah dan kearifan tercecer di mana-mana. Hanya saja, hikmah-hikmah itu sering tertutup oleh pekatnya kebebalan serta pandangan sempit kita yang sering angkuh dan merasa telah menemukan kebenaran. All is well. "Semua akan baik-baik saja"


Baubau, 1 Juli 2013



0 komentar:

Posting Komentar