Kisah Seorang Biksu Muda




DI satu kompleks wihara yang tenang, seorang biksu muda menjalani hari bersama beberapa biksu senior. Suatu hari, ia ditugaskan gurunya untuk menyusun seribu batu bata. Ia lalu meletakkan satu demi satu batu bata itu dengan hati-hati sehingga membentuk satu tembok yang indah dipandang. 

Ia ingin membahagiakan gurunya melalui kerja keras yang penuh ketelitian. Sayang, ia sempat lengah. Di tengah tembok itu, terdapat dua batu bata yang posisinya miring.

Selama seharian, sang biksu muda itu dilanda rasa khawatir. Ia selalu saja memandangi dua batu bata yang posisinya miring itu. Ia merasa kerja kerasnya sia-sia. Ia merasa gagal sebab ada cacat dalam pekerjaannya yang nyaris sempurna. 

Setiap melihat tembok itu ia akan merasa sakit hati. Hingga akhirnya, rasa benci muncul dari dalam dirinya. Ia mulai membenci pekerjaannya yang tak rapi. Ia menyalahkan dirinya terus-menerus saat memandang tembok itu.

Hingga akhirnya sang guru datang menyaksikan. Biksu muda itu membayangkan murka hebat sang guru. Ia membayangkan hukuman harus memikul air dari lembah ke gunung. Ia membayangkan akan dimarahi habis-habisan karena gagal melaksanakan satu tugas yang dibebankan padanya.

Sang guru memandang tembok itu secara seksama. Seulas senyum tampak di bibirnya. Ia memuji kerapihan serta ketelitian muridnya. Biksu muda itu lalu menunjuk dua batu bata yang miring. Ia lalu berujar, “Hei, tidakkah kamu melihat ada dua batu bata yang posisinya miring?” 

Sang guru malah tertawa terbahak-bahak. Ia lalu berkata, “Ya, saya bisa melihat dua bata yang jelek, namun saya juga melihat 998 batu bata yang bagus posisinya. Ini kerja yang hebat!

Biksu muda itu terdiam. Untuk pertamakalinya ia menyaksikan 998 batu bata lain yang sempurna. Ternyata, selama ini ia hanya fokus melihat dua bata tersebut, dan mengabaikan batu bata yang lain. Selama ini ia kesal setiap melihat tembok itu. 

Ternyata sang guru telah menyentak kesadarannya dan mengatakan bahwa tembok itu menjadi sangat indah, justru karena ada dua bata yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan dua batu itu telah menyempurnakan keindahan batu-batu lain yang tertata rapi.

Banyak orang yang bersikap seperti biksu muda itu. Banyak orang yang hanya fokus pada segala hal yang jelek-jelek dari setiap pekerjaannya. Banyak orang yang lebih banyak mengeluh tentang kehidupannya yang dianggapnya penuh kesedihan dan penderitaan. 

Orang-orang lalu mudah depresi karena merasa melakukan kesalahan yang lalu menganggap dirinya tidak sempurna sehingga muncul penyesalan hingga menyakiti diri sendiri. Banyak orang yang depresi karena merasa melakukan hal buruk.

Sebagaimana biksu itu, kadangkala kita hanya fokus pada kekeliruan yang pernah dibuat. Kita seirng tak puas memandang satu episode kehidupan kita yang penuh kesalahan. Kita lalu menganggap semua episode kehidupan kita adalah kesedihan. 

Kita lebih sering merasa bersalah. Padahal, ada jauh lebih banyak kebaikan pada diri kita. Jika kita bisa mengingat semua kebaikan itu dan berdamai dengan kesalahan, maka kita akan menikmati hidup dengan indah.

Kisah ini saya temukan pada buku yang ditulis biksu Ajahn Brahm. Biksu ini mengajarkan satu hal penting untuk selalu mensyukuri kehidupan kita, apapun keadaannya. Saya seolah bercermin bahwa seringkali saya terlampau lama merenungi kesalahan, lalu kehilangan bahagia atas begitu banyak hal baik yang telah dilakukan.

Saya teringat seorang sahabat yang selalu takut berbuat kesalahan. Ia selalu takut mendapat marah dari bosnya atas kesalahan itu. Hari-harinya selalu diiringi ketakutan berbuat salah. Ia menjadi kehilangan banyak momen yang harusnya diisi dengan kebahagiaan yang seharusnya membasahi jiwanya. 

Ia lalu hidup dalam kesedihan, serta ketakutan, yang sesungguhnya diciptakan oleh pikirannya sendiri.

Banyak di antara kita yang seperti itu. Barangkali yang harus kita lakukan adalah mengubah cara pandang. Kita mesti mengubah perspektif kita melihat kehidupan menjadi lebih positif. 

Kebahagiaan itu tak mahal. Kita cukup bergembira atas setiap inchi tarikan napas. Kita cukup menikmati hidup yang sedang kita jalani, tanpa harus didera rasa bersalah. Alangkah indahnya jika kita bisa memandang kehidupan sebagai anugerah terindah yang pernah dimiliki, tanpa rasa takut, tanpa rasa bersalah.

Bagi para pejalan spiritual, hal ini mudah dilakukan. Bahkan manusia modern pun mudah menumbuhkannya sepanjang punya kemauan kuat. Temukan sisi-sisi bahagia dalam diri. Berikan apresiasi pada semua hal baik yang kita lakukan. 

Terimalah segala hal buruk dan kesalahan sebagai tangga-tangga untuk terus menemukan kebenaran. Jadikan setiap pengalaman sebagai guru yang mengajari banyak hal. Temukan hikmah dan pembelajaran di balik setiap tindakan. 

Terus gapai kesempurnaan sebagai manusia biasa yang bisa mengubah kesalahan menjadi jalan kebaikan. Jadikan kehidupan seindah matahari pagi yang keemasan dan penuh kehangatan.

Sudahkah kita belajar dari pengalaman?


Bogor, 5 Agustus 2015    
Tepat tengah malam


0 komentar:

Posting Komentar