Prajurit Seksi Pulau Jawa



ilustrasi

PARA perempuan di Jawa tak selalu identik dengan sosok ayu pendiam, patuh pada sistem, serta tunduk pada segala adat-istiadat. Dahulu ada anggapan kalau perempuan Jawa hanya bisa pasrah dengan situasi dan manut pada sistem. Ternyata, sejarah mencatat hal berbeda. Sebelum masa Kartini, perempuan Jawa punya kisah-kisah heroik serta punya posisi dominan dalam keluarga dan peta sosial.

Saya baru saja membaca buku berjudul Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad 18 – 19 yang ditulis sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben. Buku ini mengisahkan tentang para perempuan yang justru lebih dominan dari lelaki. Mereka tak terkungkung, melainkan aktif menentukan banyak keputusan penting. Banyak di antara mereka yang terjun ke medan laga sebagai prajurit khusus yang menjalankan misi-misi penting.

Memang, Kartini mendobrak anggapan perempuan Jawa, yang digambarkan kaum kolonialis sebagai "boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri.” Bangsa Belanda menganggap orang Jawa sebagai de Javaan als de zachste volk ter aarde (bangsa yang paling lembut di dunia). Masyarakat Jawa dikenal amat halus dan  penurut. Peran perempuan Jawa kurang ditonjolkan dalam babad-babad yang menceritakan sejarah tanah Jawa.

Mereka dianggap sebagai pemersatu atau penjaga silaturahmi dua keluarga besar. Perempuan keraton adalah pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk melanjutkan keturunan. Perempuan dipergunakan untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga terkemuka kerajaan. Peran tersebut diturunkan dengan cara dengan mengikat istana dalam suatu jaringan intim dengan dunia pedesaan Jawa melalui ikatan kekeluargaan yang luas.

Namun, anggapan itu tak selalu benar. Sejarah mencatat tentang sejumlah perempuan yang mendobrak anggapan tentang halus dan penurut itu. Beberapa di antaranya punya ambisi politik, punya hasrat kuasa, dan mengendalikan kuasa. Ternyata, para perempuan priyayi menikmati kebebasan dan kesempatan untuk bertindak serta inisiatif pribadi yang lebih jauh. Itu bisa dilihat pada kisah Nyi Ageng Serang, permpuan ahli siasat dan strategi yang membantu Pangeran Diponegoro pada perang Jawa.

Dalam buku karangan Peter Carey ini saya menemukan sisi lain tentang perempuan. Banyak di antara mereka yang memimpin pemberontakan. Misalnya, Nyai Kamsida, yang memimpin pemberontakan petani di Cilegon. Pada masa perang Jawa, perempuan punya peran signifikan. Di antaranya adalah Ratu Kencono yang memainkan perang penting di Yogyakarta. Ratu Kencono mendorong Keraton Yogya untuk lebih akomodatif pada residen Belanda Van Burgst. Dia juga yang mendorong penyewaan lahan kerajaan kepada pengusaha Belanda dan Tionghoa.

***

Saya tertegun saat membaca kisah tentang Pasukan Estri. Mereka beranggotakan sejumlah perempuan seksi dan cantik yang mahir berperang. Keberadaan pasukan ini muncul pada era pemerintahan Mangkunegoro I, yakni Raden Mas Said, yang bertahta pada tahun 1757  hingga 1795. Keberadaan pasukan ini muncul berkat catatan harian yang dibuat seorang anggota prajurit tersebut. Peter Carey mencatat:


“Empat puluhan perempuan duduk berbaris di bahwa takhta (sunan) dan benar-benar bersenjata lengkap: berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil [...] harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan.”


Catatan harian pasukan estri itu diterjemahkan dengan teliti oleh Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2008 dengan judul Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18. Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Indonesia dengan judul “Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of A Lady Soldier”.

Buku harian itu terdiri atas 303 lembar kertas kulit kayu dan ditulis di kediaman Mangkunegara I, beraksara Jawa dan sedikit Arab Pegon. Berkat catatan tersebut kita dapat mengetahui peristiwa politik, ekonomi, kehidupan rumah tangga dan sisik-melik pasukan Mangkunagaran sekitar 1781-1791.


Seorang pejabat Belanda menyebutkan pasukan ini pandai menunggang kuda, mampu menembakkan bedil dengan teratur dan tepat sasaran. Keterampilan mereka masih lebih tinggi dari prajurit lelaki terlatih pada masa itu. Pasukan ini serupa asukan khusus yang bisa melakukan berbagai tugas-tugas rahasia. Peter Carey menambahkan keterampilan korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri.

Tak hanya lihai mempergunakan senjata, laskar perempuan ini juga diajari menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran prajurit estri. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta. Pada perayaan agama, prajurit perempuan ini juga ditugaskan menari.

Keluwesan dan kecakapan para prajurit estri ini juga memikat Herman Willem Daendels, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-11), saat ia mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali dan disuguhkan perang-perangan 40 prajurit estri kesayangan Sultan di alun-alun selatan.

Soal pakaian, mereka berseragam layaknya prajurit. Namun mereka menyalin busana gaya emas maskulinnya, lalu menggantinya dengan busana wanita berwarna putih polos tatkala berada di rumah. Tentang imaji laskar perempuan Mangkunagaran, ada Rubiyah dari Desa Matah—sohor dengan nama Matah Ati. Perempuan inilah yang mendampingi perjuangan gerilya Raden Mas Said melawan VOC. Rubiyah dikenang sebagai panglima korps prajurit estri.

Sering, Raden Mas Sahid menghadiahkan anggota pasukan ini untuk menjadi istri bagi para bangsawan. Bagi perempuanprajurit, mereka akan senang hati melakoni peran sebagai istri, sebab mereka tidak akan disakiti oleh semuanya. Mereka akan diperkaukan dengan baik sebab suaminya khawatir mendapat murka dari Raden Mas Sahid.

***

BEBERAPA fakta di atas semakin menegaskan tentang citra raden ayu tidak seperti yang selama ini beredar, yaitu dijinakkan dan terkungkung dalam tembok keraton. Studi yang lebih luas diperlukan dan versi lampau barangkali perlu direvisi secara radikal. Sebab, jejak-jejak sejarah menunjukkan bahwa para perempuan Jawa sebelum Kartini nyatanya bukan sosok yang terbelenggu.(*)

Bogor, 21 April 2016

BACA JUGA: 






0 komentar:

Posting Komentar