Sepiring Kasoami di Kota Ambon


pemandangan di Lapangan Merdeka, Ambon


SEBAGAI orang Buton, saya selalu berkeinginan untuk mencari makanan khas Buton di manapun saya berkunjung. Betapa girangnya saya saat singgah di Ambon, Maluku, dan menemukan banyak makanan khas Buton di warung-warung. Tanah Ambon menjadi kampung halaman kedua yang menautkan seluruh kenangan atas tanah kelahiran.

***

IBU itu mempersilakan saya masuk ke warung. Tak jauh dari Ambon Plaza, saya singgah ke warung itu demi merasakan seafood paling enak di Tanah Ambon. Sebelum menjelajah kuliner, saya telah bertanya ke banyak orang. Rata-rata merekomendasikan beberapa warung di jalan kecil dekat Ambon Plaza.

Saat melintas, saya merasakan seakan-akan berada di kampung halaman di Pulau Buton. Beberapa nama warung di situ cukup familiar. Ada warung bernama Tindoi, Wangi-wangi, hingga warung Lipu.Terdapat juga satu warung bernama Gulamas. Bagi warga Ambon, nama-nama itu mungkin akan membingungkan. Tapi saya sangat familiar dengan nama-nama itu sebab merupakan nama tempat di jazirah Buton Raya.

Seorang ibu mempersilakan saya untuk masuk ke dalam warung. Saya lalu memesan ikan bobara. Ibu itu lalu datang membawakan colo-colo, sejenis lalapan yang di dalamnya terdapat tomat, irisan mangga, sambal, dan juga perasan jeruk. Melihatnya, saya langsung kelaparan dan tak sabar untuk segera makan.

Di lemari kaca, saya melihat nampan yang berisikan kerucut-kerucut berwarna kuning. Saya penasaran dan mendekatinya. Ibu itu lalu berkata, “itu namanya soami, makanan khas kota Ambon.” Di mata saya, makanan itu adalah kasoami, makanan khas Buton. Makanan ini adalah makanan pokok pengganti beras. Makanan ini pula yang dibawa para nelayan ketika melaut.

“Kalau tak salah, soami itu dari Buton khan” tanya saya.
“Iya. Memang dari Buton. Kami juga dari Buton, tapi sudah lama di Ambon,” katanya.

Saya merasa senang sekali. Saya tak keberatan kalau kasoami itu menjadi kuliner khas Ambon. Bagi saya, makanan adalah satu benda budaya yang senantiasa bergerak mengikuti perpindahan manusia. Ketika orang-orang Buton bermigrasi ke tanah Ambon, mereka jelas membawa kasoami sebagai makanan khas, lalu memperkenalkannya di tanah yang baru, sehingga pada satu saat akan menjadi makanan khas.

sepring soami khas Ambon

Kasoami itu telah melakukan satu perjalanan panjang. Ia menjadi ikon yang menautkan budaya dari orang-orang Buton yang berkelana hingga tanah itu. Jika kemudian ia menjadi bagian dari tradisi dan kuliner khas Ambon, maka itu adalah pertanda dari jejak diaspora manusia yang berpindah dari jazirah Sulawesi ke tanah Maluku.

Saya teringat liputan media seminggu silam tentang lumpia di Malaysia. Beberapa orang mempertanyakan klaim itu dan menganggapnya sebagai makanan asli Semarang. Bagi saya, klaim itu tak punya pijakan sejarah yang kuat. Lumpia adalah makanan yang bisa ditemukan di banyak tempat. Saat tinggal di Amerika, saya pun pernah menemukan lumpia di stand para mahasiswa asal Filipina. Artinya, pada masa silam, telah terjadi pertukaran budaya sebagai konsekuensi dari diaspora atau perpindahan warga ke banyak tempat.

Di tanah Ambon, saya menemukan kasoami. Tak hanya itu, di sekitar Pasar Mardika, saya menemukan sedemikian banyak orang Buton yang berdagang di pasar itu. Mereka berbaur dengan para pedagang Bugis – Makassar, dan berbagai etnis lainnya. Mereka menyatukan mozaik kota Ambon sebagai kota yang dipenuhi manusia berbagai lintas budaya.

salah satu jalan di Ambon


Memang, Ambon pernah mencekam akibat rusuh antar agama. Namun ikatan kultural yang dibangun antar etnik di sana tak akan pernah rusak oleh sentimen agama. Apalagi, budaya yang dibangun di Ambon sangat kondusif untuk menguatkan jalinan persahabatan antar warga di sana. Selama berada di sana, saya sangat menikmati indahnya persahabatan dengan banyak orang. Semoga saja Ambon selalu damai.



BACA JUGA:




1 komentar:

Yusran Darmawan mengatakan...

test

Posting Komentar