Aburizal Bakrie (foto: Tempo) |
LAMA menghilang dari hiruk-pikuk media,
Aburizal Bakrie tampil kembali di televisi miliknya. Akan tetapi, penampilannya
berbeda dengan suasana saat kampanye pilpres. Intonasinya tidak lagi penuh
dengan kritikan pada pemerintah berkuasa. Gaya bahasanya tak lagi penuh gagasan-gagasan
hebat tentang Indonesia di tahun 2045.
Ia justru tampil dengan wajah kalah,
seakan-akan dizalimi oleh salah satu menteri. Ia memang kalah beberapa langkah.
Bukan oleh pemerintah. Melainkan oleh sesuatu yang justru menjadi senjatanya
ketika memasuki politik. Apakah gerangan?
***
Hari itu, 2 Maret 2015. Di ruang
musyawarah nasional partai Golkar, lelaki itu tiba-tiba merangsak masuk. Ia
mendekati politisi Ali Mukhtar Ngabalin lalu melayangkan bogem mentah. Suasana
kacau. Beberapa orang tergopoh-gopoh mendatangi lelaki itu lalu ikut menghantam
dengan tinju keras.
Kisah ini muncul di tengah-tengah pidato
politik pria yang kerap disapa Ical itu. Salah seorang sahabat saya ikut dalam
drama pemukulan atas pria yang disebutnya sebagai penyusup itu. Sahabat itu
bekerja sebagai tenaga ahli Partai Golkar di DPR RI. Saat saya temui, ia begitu
heroik saat memaparkan kisahnya yang ikut berkelahi melawan pria itu.
Bagi saya, tindakan pria yang datang menyusup
dan memukul Ali Ngabalin adalah tindakan konyol. Namun tindakan ikut mengepung
pria itu dan menghakiminya adalah tindakan yang lebih konyol lagi. Sebab saya
sangat yakin bahwa penyusup itu memiliki satu tujuan yakni menggeser semua
kiblat wacana dan pemberitaan ke arah insiden. Sementara pemaparan visi politik
dan arahan Ketua Umum Aburizal Bakrie dan jalan keluar ke mana kapal partai
bergerak malah terabaikan.
Tak ada satupun media yang menggubris
pernyataan Ical. Semuanya fokus pada insiden pemukulan. Bahkan televisi yang
dimiliki Ical pun ikut-ikutan fokus pada insiden penyusup dan aksi massa.
Penyusup itu sukses menunaikan tugasnya. Bibirnya bisa saja sobek karena
dibogem teman saya, akan tetapi tugasnya untuk menggeser kiblat wacana media
telah sukses. Ia menjadi berita. Ical semakin tenggelam.
Laksana gayung bersambut, suara-suara
daerah bermunculan. Ramai-ramai pendukungnya melakukan migrasi menjadi
pendukung pesaingnya. Bahkan beberapa politisi di barisan utamanya pun
terang-terangan menyatakan bergabung ke kubu Agung. Tokoh sekelas Setya Novanto
pun dikabarkan berpindah dan meninggalkan sosoknya. Perlahan, ia ditinggalkan
banyak orang dan kini hanya dikelilingi oleh lingkar pendukung utamanya.
Apakah gerangan yang terjadi? Mereka yang
baru mengamati Golkar tenttu akan keheranan melihat fenomena ini. Padahal,
sejak dahulu, ada satu virus yang telah lama menggerogoti partai ini. Partai
ini telah lama kehilangan ideologinya. Yang ada adalah pragmatisme dalam bentuk
ekspektasi tentang karier dan pendapatan yang semain cemerlang ketika memasuki
panggung politik.
Virus yang lama menggerogoti partai ini adalah
virus pragmatisme yang telah lama berakar di tubuh para politisinya. Dalam
keadaan ketika terjadi dualisme, dan satu kubu diakui pemerintah, maka banyak
politisi lainnya akan segera berpindah ke kubu yang diakui.
Bagi kader Golkar di daerah, konflik ini
tak begitu penting. Yang sedang bertarung adalah para elite Jakarta. Yang
dianggap penting bagi kader di daerah adalah rekomendasi dari DPP Golkar
sebagai tiket masuk untuk mengikuti pilkada. Tanpa rekomendasi, tak ada sekoci
partai untuk masuk gelanggang pilkada. Bagi elite Jakarta, kuasa memberikan
rekomendasi juga sangat penting. Rekomendasi pada kader di daerah tak sekadar
prasyarat administrasi yang menunjukkan bekerjanya partai untuk menopang
kadernya. Rekomendasi itu bisa dilihat secara pragmatis sebagai setoran duit ke
pengurus pusat.
Publik tahu bahwa setiap rekomendasi akan
dikonversi menjadi materi yang harus siap-siap disetor bagi kader yang hendak
memakai pintu Golkar. Di kawasan timur Indonesia, seorang kader mesti
menyiapkan uang hingga 500 juta hingga 1 miliar untuk bertarung di level
pilkada kabupaten. Nah, anda bisa hitung sendiri berapa pemasukan DPP dari
setiap pilkada. Kalau pemasukan itu hilang, maka apa yang bisa dilakukan?
Apakah akan tetap bertahan di kubu Aburizal?
***
SEMALAM, ia tampil di televisi. Ia tidak
lagi segarang sebelumnya. Saya menyimak kalimat-kalimatnya. Yang menarik, ia
tidak pernah mengkritik keras Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Ia
berbicara lantang untuk mengkritik Menteri Hukum dan HAM. Saat membahas presiden,
ia cenderung hati-hati.
Ical tampil di media bak seorang prajurit
yang terluka. Ia tak lagi seperkasa dahulu ketika mengkritik pemerintah yang
hendak menghapuskan pilkada langsung. Ia juga tak segarang ketika merayakan
detik-detik proklamasi di kediaman Prabowo. Ia tampil lebih berhati-hati. Itu
terlihat dari sikapnya yang tak pernah memproklamirkan Golkar sebagai partai
oposisi.
Sebagai pendukung KMP, ia paham bahwa
ketika menyatakan oposisi, maka ia akan ditinggalkan oleh kadernya sendiri yang
telah lama mengincar bancakan proyek di kementerian. Menyatakan perang pada
pemerintah sama dengan menggerus kekuatan ekonominya yang selama ini justru
banyak bergantung pada kemurahan hati pemerintah.
Bahkan pendukung setianya pun selalu
menyebut Golkar Aburizal sebagai pendukung pemerintah. Para pemerhati ekonomi
dan politik sama mahfum bahwa titik kelemahannya telah lama diidentifikasi
pemerintah. Selama ini, kekuatan pria itu bertumpu pada dua hal: (1) politik
yang mengandalkan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Itu terlihat pada
kemenangan di Golkar melalui skema janji dan bagi-bagi angpao pada peserta
kongres, (2) sektor bisnis yang mengandalkan rekanan pada pemerintah melalui
skema utang serta modal asing.
Seorang sahabat peneliti mencatat bahwa titik
lemahnya sudah mulai terbaca sejak hengkangnya konsorsium Yahudi Nat
Rotshchild. Hengkangnya kelompok ini telah melemahkan sendi-sendi ekonomi
kelompok Aburizal. Laksana efek domino, bisnis Ical mulai terpuruk di
mana-mana. Dalam situasi ini, sejatinya ia membutuhkan sokongan pemerintah. Apa
daya, ia berada di pihak KMP yang sempat menjadi oposisi. Ia kemudian digempur
dengan isu mafia pajak, serta pencekalan. Puncaknya adalah ketika utang Lapindo
diambil alih oleh pemerintah dengan sejumlah konsesi. Ini adalah tikaman besar
sekaligus pernyataan loyalitas pada pemerintah.
***
SEMALAM ia tampil di televisi. Ia sedang berusaha
mempertahankan Partai Golkar sebagai the
last bastion di panggung politik. Secara cerdik, ia memakai bahasa hukum
dan keadilan demi menguatkan posisinya. Sayangnya, ibarat permainan catur,
posisinya mudah ditebak hendak ke mana. Yang sedang dihadapinya justru lebih
cerdik sebab bisa mengendalikan skenario yang dahulu smepat dikendalikannya.
Ia tidak lagi jumawa mengarahkan bidak
caturnya untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan. Lewat Azis Syamsuddin, ia
menyatakan partainya sebagai pendukung pemerintah. Sayang sekali, ia berhadapan
dengan pemain catur yang dingin dan paham betul hendak ke mana bidak catur
diarahkan. Skenario Aburizal tinggal dua, yakni: (1) Memenangkan proses hukum
di pengadilan sebelum batas pemberian rekomendasi pilkada di daerah-daerah, (2)
Segera menyatakan diri sebagai pendukung pemerintah, yang bisa dimaknai sebagai
jalan lapang untuk menjaga irama bisnis dan kuasanya di panggung politik.
Pernyataan dukungan secara terbuka juga penting untuk menjaga pihak-pihak yang
dianggap berpotensi untuk “mengganggu” proses hukum yang sedang berjalan.
Yah, niat Aburizal Bakrie memasuki
gelanggang politik adalah untuk merebut posisi penting di pemerintahan demi
mengamankan bisnisnya. Apa daya, ia justru terpental. Model berpolitiknya yang
pragmatis justru perlahan menjadi senjata makan tuan. Aburizal tidak dikalahkan
oleh penguasa. Ia dikalahkan oleh pragmatisme di tubuh partainya sendiri.
Lantas, apakah masih ada kartu yang bisa
dimainkannya untuk memenangkan posisinya?
Kita akan menunggu jawabannya dalam waktu
dekat. Yang pasti, dunia politik kita laksana telaga tenang yang seolah mudah
ditebak kedalamannya. Secara teoritik, politik kita amatlah simpel dan mudah
untuk ditaklukan. Namun siapapun yang memasukinya akan paham bahwa politik kita
penuh dengan kejutan-kejutan yang bisa menghempaskan para politisi. Aburizal
Bakrie adalah salah satu contohnya. Sayonara!
Bogor, 23 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar