sore hari di Pantai Natsepa, Ambon |
KETIKA singgah ke Pantai Natsepa di Ambon,
Maluku, saya tak sedang beruntung. Mendung tengah menggelayut. Cahaya keemasan
sunset terhalang awan. Saya tak sempat menyaksikan keindahan sore yang
sedemikian memukau di pantai ini. Tapi saya cukup terhibur melihat suasana
pantai yang adem, serta melihat tongkah polah para pengunjung.
Setiap kali berkunjung ke salah satu
daerah di kawasan timur, saya selalu ingin ke pantai. Meskipun yang dikenali
publik hanya sedikit, akan tetapi ada banyak pantai-pantai yang memukau di
timur. Anda bisa bayangkan, sebanyak 17 ribu lebih pulau-pulau, dengan bentang
pantai kedua terpanjang di dunia, serta taman bawah laut terindah yang disinari
matahari sepanjang tahun. Negeri ini sungguh berlimpah sumberdaya.
Pantai-pantai di timur memang punya pesona
hebat. Sekali anda melihat pantai di Indonesia timur, pantai di daerah wisata
terkenal lain menjadi tak begitu indah. Itu komentar yang saya terima dari
seorang warga Maluku Barat Daya di Bali. Dalam pertemuan dan diskusi, bapak asal
Maluku itu berkata kalau Bali hanya menang nama. Tapi sial keindahan, Pantai
Kuta tak mungkin bisa menandingi pantai di daerahnya yang memiliki pasir
sehalus tepung.
Di Ambon, saya singgah ke Natsepa.
Retribusi masuk hanya dua ribu rupiah. Langit sedang tak bersahabat. Tapi saya
masih bisa menyaksikan pantai luas serta banyak orang singgah. Sayang, saya tak
seberapa menikmati rujak. Padahal di Natsepa, ada rujak khas yang digemari
warga Ambon. Di pantai ini, saya merenungi banyak hal. Saya merenungi keindahan
Ambon, ikhtiar warganya untuk bangkit pasca kerusuhan, serta interaksi yang
menyenangkan dengan beberapa warga.
Ambon is the city of music. Demikian
tulisan besar yang tertera saat hendak memasuki kota Ambon. Saya rasa, musik
yang dimaksudkan bukanlah sekadar instrumen suara yang dimainkan bersama. Yang
dimaksudkan adalah harmoni dan suara-suara semesta yang saling bersahutan.
0 komentar:
Posting Komentar