kue Kolombia bernama Espanada |
Makna Kue dalam Dinamika Kultural
INI kue khas Kolombia. Camilo, seorang sahabat asal Kolombia, sengaja membawanya ke kampus dan meminta saya untuk mencicipinya. Rasanya mirip dengan makanan khas Makassar yang bernama Panada. Mirip juga dengan kue bernama jalangkote. Cara makannya pun sama yakni ujungnya dimakan dahulu sehingga isinya nampak, kemudian ditetesi larutan cabe. Saat saya bertanya apa namanya, ia lalu menjawab enpanada. What? Mengapa nama dan rasanya nyaris sama?
INI kue khas Kolombia. Camilo, seorang sahabat asal Kolombia, sengaja membawanya ke kampus dan meminta saya untuk mencicipinya. Rasanya mirip dengan makanan khas Makassar yang bernama Panada. Mirip juga dengan kue bernama jalangkote. Cara makannya pun sama yakni ujungnya dimakan dahulu sehingga isinya nampak, kemudian ditetesi larutan cabe. Saat saya bertanya apa namanya, ia lalu menjawab enpanada. What? Mengapa nama dan rasanya nyaris sama?
Mungkin jika ditelusuri lebih jauh, nama kue dan mengapa berbentuk demikian selalu terkait dengan kebudayaan. Bisa pula kita mengatakan bahwa inspirasi nama kue datang begitu saja. Tapi saya tidak ingin berpikir demikian. Sebab pandangan ini tidak memadai untuk menjelaskan mengapa nama kue di Indonesia dan Kolombia bisa sama persis. Sungguh aneh jika itu hanyalah kebetulan belaka. Di balik kesamaan nama tersebut, tentunya terselip sejarah, serta dialog antara dua kebudayaan.
Tentu saja, kita bisa berdiskusi tentang kebudayaan dengan menjadikan makanan sebagai pintu masuk. Jika kita sepakat bahwa kebudayaan sebagai jejaring makna yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, maka tentunya terdapat latar historis serta social kultural mengapa satu bangsa membuat kue dari bahan tertentu, menyajikannya dnegan tradisi tertentu, atau memilih nama tertentu untuk kuenya.
Saya pernah iseng, menanyakan makna kue yang diisi dalam talang orang Buton saat haroa atau upacara adat untuk memperingati hari besar Islam di rumah-rumah. Seorang lebe (pembaca doa dalam bahasa Arab) lalu menjelaskan dalam bahasa yang sangat filosofis. Katanya, kue-kue dalam talang itu melambangkan filosofi tubuh manusia. Ia lalu menujuk kue yang berbentuk jantung, hati, empedu, hingga organ seperti hidung, hingga otak. Ia menjelaskan tentang tubuh, filosofi, serta pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam kue-kue tersebut.
Artinya, kue bisa menjadi pintu masuk untuk menjelaskan makna dalam kebudayaan. Sahabat saya, Bondan Winarno, yang kini jadi presenter acara kuliner di televisi, adalah salah satu orang yang getol mempromosikan perlunya belajar kebudayaan melalui nama-nama kue dan makanan. Dalam beberapa kali kesempatan, ia pernah menjelaskan pada saya tentang khasanah sejarah, serta rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik sebuah kuliner atau masakan.
kue-kue dalam talang Haroa di Buton |
saat bersama Bondan di Bali |
Kesamaan nama ini menjadi pertanda tentang dialog-dialog kebudayaan di masa silam, pertanda proses belajar dan saling silang pengetahuan antar bangsa, pertanda kalau pengetahuan bukanlah sesuatu yang beku dan statis, melainkan senantiasa disebarkan dalam dialog-dialog yang saling memperkaya.
Melalui kata-kata dan istilah ini, kita bisa merekonstruksi atau menyusun ulang bangunan pengetahuan kita tentang sejarah. Itu dilakukan sahabat peneliti berkebangsaan Jerman bernama Horst Liebner. Ia banyak meneliti tentang kesamaan-kesamaan istilah yang digunakan di dunia maritim. Saya sering tercengang saat membaca uraiannya. Sebab lautan menjadi tempat di mana kebudayaan tumbuh dan berkembang lewat mekanisme dialog sehingga terjadi pertukaran-pertukaran istilah. Lewat laut, dalam hal ini pelabuhan, bangsa-bangsa bisa saling belajar dan menyebarkan informasi sehingga terjadi proses interaksi yang kian memperkaya. Dalam satu edisi khusus Kompas, Liebner menulis tentang Perahu Phinisi dan Kearifan Tradisi, sebuah tulisan yang mengejutkan karena ia berasumsi bahwa a phinisi justru berasal dari bahasa Portugis.
Liebner menulis, phinisi masuk dalam kosa kata bahasa Perancis atau Jerman sebagai kata pinasse yang artinya sejenis kapal layar berukuran sedang. Menurut Liebner, layar dan perahu jenis phinisi meniru jenis scooner ketch asal eropa. Kapal ini mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Menurutnya, pertama kali kapal ini dibuat Martin Perrot di Kuala Trengganu, yang mengacu pada sejumlah desain kapal eropa. Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru kata pinasse, yang dalam bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang.
Perahu Phinisi khas Bugis-Makassar |
Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu phinisi-nya, tetapi sejak awal abad ke-19 semakin banyak pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang partikuler Belanda di Indonesia mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya.
Nah, kembali ke kue Panada. Saya amat tertarik untuk menelaah kue ini lebih jauh. Mungkin ada kisah-kisah yang tersembunyi di balik kue sederhana ini. Mungkin ada hikayat yang selama ini tak beredar luas di public tentang kue ini. Tapi, biarlah saya menyimpan dahulu pertanyaan tentang makna kue ini. Sekarang, saatnya untuk mencicipi kue nikmat ini. Saya menikmati aroma dan kepedasannya. Hmm.. Nyam.. Nyam…..
Athens, Ohio, 15 Januari 2012
www.timurangin.blogspot.com
www.timurangin.blogspot.com
BACA JUGA:
3 komentar:
tak hanya dalam menulis, ternyata kanda yusran pakar kuliner...mantep
salam hangat
bung patta bisa aja nih. hehehe. saya sih jagonya kalo soal mencicipi dan menentukan enak atau tidak enak. itupun sesuai selera. hehehe
superr kanda
Posting Komentar