Seribu Topeng di Kota Solo



KESAN kuat yang tertanam seusai mengunjungi Solo adalah banyaknya topeng yang saya saksikan di sana. Di beberapa ruas jalan kota Solo, saya menyaksikan banyak topeng-topeng yang dibuat dalam versi besar. Topeng-topeng itu kerap saya lihat dalam beberapa tarian Jawa. Saya hanya menduga-duga bahwa topeng-topeng itu adalah simbol dari setiap karakter. Ada karakter baik dan karakter jahat yang bisa dilihat pada setiap topeng.

Topeng-topeng itu mengingatkan saya pada teori dramaturgi dari Erving Goffman yang mengatakan bahwa manusia memiliki topeng karakter yang berbeda saat ditampilkan di panggung depan dan panggung belakang kehidupannya. Kehidupan ibarat panggung besar, dan kita adalah para aktor yang memakai beberapa topeng sekaligus. Ada saat di mana kita memakai topeng baik, namun ada pula saat kita memakai topeng jahat. Kesemuanya adalah saksi atas pertumbuhan karakter seseorang.

Saya selalu menyenangi ekspresi dan identitas kultural yang diartikulasikan di hadapan publik. Pemerintah Kota Solo sadar benar tentang pentingnya menampilkan identitas lokal. Jalan-jalan di Kota Solo penuh dengan beringin. Suasananya rimbun. Di beberapa kelokan jalan, beberapa topeng sengaja diletakkan sebagai penghias. Bagi pengunjung seperti saya, keberadaan topeng itu sangatlah penting sebagai identitas dan penanda budaya kota yang mudah dilihat siapa saja.

Setahun silam, sebuah festival internasional berlangsung di Solo. Namanya adalah International Mask Festival yang dipusatkan di Benteng Vastenburg. Beberapa seniman topeng dari dalam negeri maupun manca-negara ikut berpartisipasi. Lewat satu media, saya membaca bahwa seniman yang hadir dari berbagai negara. Ada yang dari Kamboja, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Singapura. Satu per satu delegasi menampilkan tarian topeng tradisional maupun kontemporer. Tak pelak lagi, aksi mereka mendapat sambutan meriah dari penonton.

Artinya, topeng menjadi salah satu ikon budaya yang dilestarikan di Solo. Topeng-topeng itu adalah khasanah tradisi yang menjadi penanda kota. Topeng-topeng itu menjadi satu kesan yang tertanam kuat bagi setiap pelancong, sekaligus sebagai souvernir yang bisa dibawa ke manapun.



Saya teringat dialog dengan Nordin, jurnalis senior di Seruyan, Kalimantan Tengah. Katanya, dari banyak kota yang dikunjunginya, hanya Toraja dan Bali yang unik. Mengapa? “Sebab begitu masuk di dua wilayah itu, kita langsung tahu bahwa kita erada di satu daerah yang unik. Saya suka melihat ornamen budaya di rumah-rumah. Identitas kota langsung kental terasa,” katanya.

Nordin benar. Sayang sekali, ia tidak menyaksikan Solo hari ini. Kesan saya, identitas kultural Jawa nampak jelas di mana-mana. Bahkan di depan satu mal besar, saya menyaksikan hiasan dinding berupa layar putih, tempat pagelaran wayang. Di situ, terdapat semua karakter dalam wayang kulit. Kembali, saya merasakan pesan kuat tentang filosofi kehidupan yang serupa panggung.

Sejak kapan topeng menjadi tradisi warga Solo? Seorang kawan menjelaskan bahwa seni topeng telah hadir di jawa sejak tahun 840 masehi, atau pada masa Mataram kuno. Namun, seni topeng pada masa Jawa Kuno itu tak semata pertunjukan, tetapi lebih berkaitan dengan ritual, juga menjadi bagian dari acara-acara penting dan sakral. Itu bisa disaksikan pada peresmian Sima, yaitu daerah perdikan yang dibebaskan dari pungutan pajak.

Sedangkan untuk dokumentasi awal dan terhitung lengkap tentang cerita Panji, yang merupakan kisah percintaan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, ada dalam kitab Smaradahana karangan Mpu Dharmaja, yang ditulis pada zaman Kerajaan Kediri. Kisah Panji ini menjadi inspirasi bagi munculnya berbagai topeng di Solo.

Pada zaman perunggu, telah muncul topeng-topeng perunggu untuk ritual pemujaan. Kemudian di zaman Hindu, Majapahit, kesenian topeng mulai populer. Konon, raja besar Hayam Wuruk pun pernah menarikan tari topeng dalam sebuah perayaan kerajaan.

***

Saya singgah di Pasar Triwindu, sebagai salah satu sentra barang antik di Solo. Kembali, saya menemukan banyak topeng yang dijual di situ. Saat berbincang dengan seorang warga, saya belajar banyak tentang tiga karakter yang bisa ditemukan di setiap topeng.

Pertama, topeng Panji, yang menggambarkan topeng halus seorang raja dengan kehalusan dan kecantikannya. Kedua, topeng Kelana yaitu topeng yang menggambarkan kesatria atau raksasa yang menggambarkan amarah dan kemarahan dalam pertempuran. Ketiga, topeng Gecul yaitu topeng yang menggambarkan punakawan (abdi dalem) yang dengan tingkah lucunya dan wajah komedi.




Saya lalu mengambil kesimpulan sederhana bahwa tiga karakter itu yang sejatinya harus ada pada diri seseorang untuk mencapai taraf yang disebut sempurna. Ada saat di mana seseorang menampilkan karakter bijak, karakter berani dalam setiap keputusan, serta karakter komedi, yang memungkinkan seseorang untuk melihat kehidupan dari sisi yang menyenangkan.

Nah, ini cuma kesimpulan sederhana. Sebagai pengkaji budaya, saya sadar benar bahwa seharusnya saya lebih lama di situ untuk belajar banyak tentang topeng dan segala makna-maknanya.

Sungguh disayangkan, kunjungan di Solo terbilang singkat. Saya hanya singgah selama tiga hari. Padahal, saya ingin sekali mengunjungi sosok seniman topeng yang terkenal di Solo. Kalau tak salah, namanya adalah Narimo. Dirinyalah sosok yang membuat berbagai topeng raksasa di jalan-jalan kota Solo.

Mudah-mudahan saya bisa menemuinya pada kesempatan lain. Amin.



0 komentar:

Posting Komentar