tumbuhan di Kebun Raya Bogor |
SEBULAN terakhir ini, ibukota negara telah
berpindah. Sejak Presiden Jokowi pindah ke Istana Bogor, kota ini menjadi
ibukota negara. Sebagai warga biasa, saya merasakan perubahan kota ini. Lalu
lintas menjadi lebih padat. Hotel-hotel penuh. Area sekitar Kebun Raya Bogor
dipenuhi polisi yang berjaga-jaga di setiap persimpangan jalan.
Barangkali ini adalah prosedur pengamanan
seorang kepala negara. Akan tetapi, sebagai warga biasa, prosedur ini
menimbulkan masalah. Keberadaan banyak polisi dan tentara tidak lantas membuat
lalu-lintas lancar. Yang muncul adalah kesemrawutan serta ketidakteraturan
dikarenakan semua orang diminta berjalan pelan.
Barangkali, pendiri Kota Bogor tidak
pernah meniatkan kota ini sebagai kota besar. Dahulu, Belanda menyebut Bogor
sebagai Buitezorg, yang artinya “tanpa kecemasan” atau “aman tenteram.” Dari
nama ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bogor adalah tempat
peristirahatan yang bisa menghadirkan rasa aman dan tenteram, bukan sebagai
kota besar yang menjadi pusat aktivitas.
Melalui Wikipedia, saya membaca bahwa
Bogor dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff pada tahun 1744. Ia terkesima
dengan kampung kecil di Bogor, yang kemudian memberikan inspirasi baginya untuk
membangun Istana Bogor sebagai tempat peristirahatan. Ia sendiri yang membuat
sketsa kota beserta istananya.
Sayang sekali, Van Imhoff tak cukup cakap
menerawang masa depan. Ia hanya melihat satu masa, ketika dirinya masih hidup
dan setiap saat bisa ke situ. Ia gagal memprediksi perubahan. Ia tak menghitung
bahwa ketika Batavia semakin besar, maka penduduk akan meluber hingga ke
Buitenzorg, tanah yang dahulu hanya diniatkan sebagai tempat beristirahat.
Kini, tanah yang dahulu dianggapnya asri
menjelma sebagai kota besar dengan persoalan menggunung. Mulai dari kemacetan,
kesemrawutan tata kota, hingga perumahan kumuh yang mulai menjamur di bantaran
sungai. Kota ini dituding pula sebagai penyebab banjir yang setiap tahun
mengunjungi Batavia.
Istana Bogor |
Kebun Raya Bogor menjadi area hijau yang
dikepung dengan wajah bengis bangunan-bangunan kota. Ia seperti sekerat permen
yang dikepung semut dari banyak sisi. Jelas, ia tak sanggup untuk menyuplai
oksigen dan mengalahkan deru knalpot serta dengus napas warga kota yang kian
hari kian beringas.
Sebagai warga baru di kota ini, saya hanya
bisa berkeluh kesah lewat catatan. Harusnya, kepindahan presiden ke kota ini
diikuti dengan langkah-langkah strategis penataan kota hingga menjadi lebih
manusiawi. Harusnya, kota dibuat lebih asri. Minimal kota ini bisa lebih nyaman
dan kembali pada jati dirinya sebagai kota tempat tetirah pada zaman kolonial.
Tentu saja, ada banyak kerja yang harus
dilakukan. Siapapun pemimpin Bogor mengemban tanggungjawab yang tidak kecil.
Sayangnya, saya belum melihat visi besar dan tindakan besar dari mereka yang
memimpin Bogor saat ini. Saya lebih suka melihat pemimpin saat ini menjadi
pengamat politik, ketimbang sebagai penata perkotaan. Ia lebih tampan ketika
muncul di televisi, ketimbang sebagai pembersih bantaran sungai dan penata
pemukiman warga.
Sejak Bogor menjadi ibukota, setiap hari
saya mendengar bunyi sirine dari kendaraan yang mengantar para pejabat. Ah,
ternyata banyak pula politisi yang berkeliaran di kota ini. Kota ini juga
menjadi lokasi dari banyak kegiatan politik yang menghamburkan uang. Beberapa
waktu lalu, ada organisasi pengusaha yang menggelar acara munas di sini. Saya
tahu persis bahwa para kandidat membawa pundi-pundi uang untuk membeli suara.
Yah, tempat yang dahulu asri dan menjadi
tempat beristirahat itu kini dipenuhi pula dengan manusia-manusia politik yang
kian memanaskan kota. Dan sebagai warga biasa, saya hanya bisa mengenang. Saya
hanya bisa bernostalgia ke masa silam saat menyaksikan kota ini kian sesak dan
penuh dengan aroma politik.
Bogor, 4 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar