Nikmat Solo, Nikmat Soto Gading


soto gading

TAK lengkap berkunjung ke satu tempat tanpa mencoba kuliner khas. Beberapa waktu lalu, saya membaca berita tentang Presiden Joko Widodo yang mengajak beberapa petinggi parpol untuk makan siang di soto gading, Solo. Didorong oleh rasa penasaran, saya pun mengunjungi soto gading. Tak disangka, saya tak hanya mencicipi soto yang rasanya sungguh nikmat, batin saya tersentuh dibasahi oleh filosofi Jawa yang indah nian.

***

DI lihat dari luar, tak ada yang istimewa pada bangunan itu. Bangunannya biasa saja, khas bangunan ala Jawa. Rumah makan kecil itu terbuat dari kayu. Luasnya hanya seukuran ruang tamu rumah, yakni sekitar lima kali lima meter. Yang mengejutkan, saya menyaksikan antrian di rumah makan itu. Warga Solo, Jawa Tengah, sama paham bahwa rumah makan itu disebut sebagai soto gading, salah satu rumah makan paling laris di wilayah yang punya motto The Spirit of Java itu.

Sejak pertama menginjakkan kaki di tanah Solo, saya memang ingin mengunjungi soto gading. Saya penasaran dengan rumah makan itu saat diberitakan banyak media sebagai warung yang selalu direkomendasikan oleh Presiden Jokowi. Beberapa waktu lalu, sang presiden pernah mengundang sejumlah petinggi parpol untuk makan di situ. Saya pikir, jika seorang kepala negara menyukai kuliner di satu warung, pastilah ada sesuatu yang unik dan menarik di situ.

Meskipun ramai, saya beruntung sebab mendapatkan kursi untuk duduk. Beberapa pelayan mendekati saya. Mereka memakai seragam berwarna merah dan terdapat logo produk tulis-menulis. Saya lalu memesan seporsi soto. Tak butuh waktu lama, pelayan datang membawakan pesanan. Sepintas, kuliner ini sama saja dengan kuliner soto di tempat lain. Bentuknya adalah kuah ayam, mie, dan nasi. Namun saat dicicipi saya menemukan rasa yang tak biasa. Ada rasa nikmat yang perlahan membasahi lidah, lalu menjalar hingga kerongkongan. Saya terus mencicipi, hingga tak sadar kalau soto itu telah habis.

Kembali saya panggil pelayan. Saya memesan satu porsi lagi. Di meja tempat saya makan, terdapat beberapa gorengan seperti tempe, tahu, dan juga beberapa tusuk sate. Saya mengambil satu tusuk buntut ayam. Eh, baru beberapa kali suap, soto itu sudah habis. Saya sukar menjelaskan seperti apa rasanya. Akan tetapi saya sepakat dengan kesaksian banyak orang bahwa rasanya memang beda. Rasanya memang nikmat dan memaksa kita untuk selalu mengunjungi tempat itu.

Istri saya pun mengakui rasa nikmat itu. Sayang, dia tak beruntung. Saat hendak memesan lagi satu porsi, pelayan memberi tahu kalau sotonya telah habis. Hah? Padahal saat itu baru pukul tiga sore. Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa pihak rumah makan tak menyediakan banyak stok makanan? Mengapa tak sekalian membuka warung hingga malam ketika pengunjung malah berjubel dan tak berkesudahan?

Saya menyimpan pertanyaan itu. Di hadapan saya ada tiga porsi soto yang telah kosong, beberapa tusuk sate, serta beberapa gelas teh hangat. Saya lalu memanggil pelayan dan bersiap untuk membayar. Biasanya, saya selalu deg-degan ketika membayar. Hukum ekonomi mengatakan bahwa ketika penawaran tinggi, maka harga akan selangit. Hukum itu berlaku di mana-mana.

“Berapa harga semua pesanan saya?” tanya saya.
“Semuanya seharga dua puluh ribu rupiah,” kata pelayan itu sembari tersenyum.
“Hah? Kok murah sekali?”

Baru tahu saya kalau harga soto di situ adalah tujuh ribu rupiah. Di kampung saya, harga sepiring bakso rata-rata 15 ribu rupiah. Padahal, itu harga bakso di warung tak terkenal di pinggir jalan kecil. Di sini, harga soto senikmat dan seterkenal ini hanya tujuh ribu. Aneh.

Padahal, dengan rasa senikmat itu, bayaran di atas seratus ribu rupiah adalah harga yang pantas. Apalagi, warung ini meang laris, Orang-orang berjubel dan antri untuk sekadar mendapatkan kursi dan mengajukan pesanan. Semua yang datang itu pasti membawa uang dan siap membayar berapa pun. Apalagi, warung ini mendapatkan popularitas dan publikasi yang tinggi sebab menjadi tempat favorit seorang kepala negara.


suasana rumah makan

Belakangan, saya banyak membaca buku tentang pemasaran. Salah satu kaidah yang saya baca adalah orang siap membayar berapapun ketika mendapatkan customer satisfaction atau kepuasan saat berbelanja. Dalam hal kuliner, ketika terjadi pertautan antara pengharapan dan rasa, maka harga menjadi nomor dua. Sebab sang konsumer merasakan kepuasan berlebih saat berbelanja.

Dilihat dari sisi pemasaran, warung ini bisa menjadi tambang uang yang terus-menerus menghasilkan devisa besar bagi pemiliknya. Jika saja warung ini dikelola oleh grup seperti Agung Podomoro Group, barangkali warung ini akan dibuat franchise dan dipasarkan ke mana-mana. Barangkali, rasa khas soto gading akan dipatenkan, lalu dijual ke mana-mana dnegan harga tinggi.  

Lantas mengapa pula harga soto gading ditawarkan sangat murah? Apakah pemiliknya tak tergiur untuk meraup materi sebanyak mungkin? Mengapa tak membenahi warung itu menjadi lebih luas dan bangunannya lebih megah?

Di perjalanan ke hotel, saya menanyakan hal ini pada sopir taksi. Jawabannya bikin saya tercenung. “Orang Solo memang gak semua mencari kekayaan. Kebanyakan justru mencari bahagia yang terwujud dari hasrat berbagi dengan orang lain,” katanya.

Ia lalu menyebut filosofi Ana Sethithik Didum Sethithik, Ana Akeh Didum Akeh, yang artinya ada sedikit dibagikan sedikit, ada banyak dibagikan banyak. Filosofi ini mengandung pesan bahwa rejeki harus dinikmati bersama. Jika rejeki hanya sedikit, maka masing-masing akan mendapatkan bagian sedikit. Jika rejeki itu banyak, maka yang dibagikan pun akan banyak.

Di mata saya, filosofi ini sangat indah. Inilah prinsip keadilan sosial yang harusnya menjadi norma dan pegangan bersama. Bahwa hidup bukanlah sekadar urusan mencari kekayaan, namun soal bagaimana bisa berbagi rejeki dan kebahagiaan dengan orang lain. Dalam konteks soto gading, jika pemiliknya hendak mengejar kekayaan, maka ia akan menaikkan harga dan membukanya di mana-mana.

Rupanya, ia bukan seorang kapitalis. Ia memiliki prinsip untuk mencari rejeki secukupnya, serta membagikan kenikmatan soto itu sebagai sesuatu yang bisa diakses siapapun. Tak hanya seorang presiden yang bisa merasakannya, namun semua orang yang bersedia untuk antri dalam suasana egaliter lalu memesan soto. Rasa nikmat itu menjadi open access, bisa dinikmati siapapun tanpa harus memandang berapa isi dompet.

Barangkali inilah rahasia mengapa soto gading sangat laris. Rahasianya berakar pada kesederhanaan dan filosofi untuk tak mengejar apa yang disebut Marx sebagai surplus of value atau nilai lebih. Rahasianya terletak pada pandangan hidup manusia Jawa yang melihat semuanya secara seimbang, mencari hidup secukupnya, serta hasrat kuat untuk membagikan kebahagiaan kepada siapa saja. 

Rahasianya ada pada semangat untuk menerima kehidupan apa adanya, pada sikap nrimo, pada prinsip ‘makan gak makan asal cukup,’  dan pada sikap pasrah atas bandul kehidupan yang sedang mengayun. Kadang mengarah ke kanan dan kadang ke kiri, namun rasa bahagia harus terus mekar dan semerbak dalam situasi apapun.


Bogor, 20 Maret 2015


0 komentar:

Posting Komentar