Cinderella: Kisah Glamour, Tapi Hampa


poster film Cinderella

SEJAK kemarin, film Cinderella (2015) produksi Disney mulai tayang di semua bioskop kita. Film ini memikat warga dunia yang rindu menyaksikan kisah romansa dan dongeng glamour bertabur bintang. Namun, jangan berharap ada kejutan di film terbaru Disney ini. Semua alur dan kisah amat setia dengan versi dongeng, demi mengubah nostalgia tentang kisah tentang kerajaan menjadi dongeng ala kapitalisme yang malu-malu. Apa yang bisa didapatkan dari kisah ini?

***

DI acara pesta dansa kerajaan, semua perempuan datang dengan mengenakan pakaian terbaik. Semua berharap agar dilirik oleh sang pangeran yang saat itu mencari jodoh. Di desa kecil pinggiran istana, seorang perempuan muda terisak-isak. Ia ingin ikut pesta dansa itu, namun apa daya sang ibu tiri menghardiknya agar tak ikut. Tak disangka, ibu peri hadir dan menjentikkan keajaiban-keajaiban.

Ibu peri mengubah labu menjadi kereta kencana. Ia juga mengubah kadal menjadi para pengawal, angsa menjadi sais kereta, serta tikus menjadi kuda-kuda perkasa. Puncaknya, ibu peri mengubah perempuan biasa, yang dipaksa menjadi pelayan itu, sebagai putri yang kecantikannya semerbak merona. Gaunnya menjelma jadi gaun biru yang berkilauan.

Dengan anggunnya, putri bergaun biru datang ke pesta dansa. Saat memasuki ruangan, semua orang berdesir kagum menyaksikannya. Tak terkecuali, sang pangeran yang lalu datang untuk mengajaknya berdansa. Ruangan menjadi hening saat keduanya mendekat. Sayup-sayup suara biola mengalun. Keduanya lalu berdansa diiringi tatap semua orang. Keduanya adalah sepasang merpati yang menjadi magnit acara itu.

Tepat tengah malam, perempuan bergaun biru itu gelisah. Ia lalu berlari dan meninggalkan sang pangeran yang ikut mengejarnya. Sepatu kaca yang dikenakan perempuan itu tertinggal. Ia terus berlari, masuk ke dalam kereta yang segera dipacu selekas mungkin.

Kisah ini adalah satu adegan dalam film Cinderella (2015) produksi Disney. Tak ada yang berubah dari versi dongeng. Yang dilakukan sutradara Kenneth Branagh adalah sekadar memindahkan versi dongeng dalam versi layar lebar. Tanpa dituturkan pun, publik tahu lanjutan dari kisah ini. Pangeran akan mencari putri pemilik sepatu kaca, lalu menikah, dan bahagia selama-lamanya.

Di mata saya, film ini agak berbeda dengan adaptasi dari beberapa kisah dongeng. Kita bisa membandingkan dengan kisah Snow White and The Huntsman (2012) yang dikembangkan dari kisah dongeng Snow White, namun hadir dalam versi baru yang berbeda dengan dongeng. Sang putri menjadi lebih manusiawi, lebih cerdas, serta lebih realistis ketimbang versi fairytale. Kita pula bisa membandingkannya dengan film Ever After (1998) yang juga merupakan adaptasi kisah Cinderella. Bedanya Ever After tak menampilkan sihir. Tak ada tongkat sulap yang mengubah labu menjadi kereta kencana.

Dalam Ever After, aktris Drew Barrymore menghadirkan sosok Cinderella yang mandiri dan penuh keberanian. Ia juga sosok cerdas. Ia bisa menjadi partner diskusi dari intelektual abad ini Leonardo Da Vinci. Dalam kisah ini, peran Leonardo Da Vinci adalah serupa ibu peri yang mengubah putri biasa menjadi putri menakjubkan. Hingga akhirnya Cinderella menjadi perempuan yang punya andil besar pada hadirnya perpustakaan besar bagi publik, serta kelak akan memantik revolusi Perancis.

saat Cinderella turun ke lantai dansa
sepatu kaca

Berbeda dengan adaptasi dongeng lainnya, Cinderella versi terbaru ini justru amat setia dengan dongeng. Lantas bagaimanakah tanggapan publik atas kisah ini? Ternyata hasilnya memang mengejutkan. Di Amerika Serikat (AS), film ini sukses membukukan pendapatan hingga 832 miliar rupiah di hari perdana pemutarannya. Beberapa situs memperkirakan jumlah penonton akan semakin membeludak pada hari-hari mendatang. Film ini akan laris manis di mata banyak orang, tak hanya bagi penggemar dongeng, namun juga bagi para kelas menengah perkotaan yang membutuhkan tontonan penuh sihir yang memanjakan mata.

Bahkan anak saya sendiri telah lama menantikan film ini. Sebagai seorang bapak, saya agak terkejut sebab anak saya paham kisah Cinderella. Rupanya, berita tentang film ini terus-menerus ditayangkan melalui saluran televisi Disney Junior. Pantas saja jika anak saya menjadi satu dari jutaan anak yang terkena virus iklan hingga tak sabar menyaksikan film ini.

Bagaimanakah menjelaskan fenomena kegandrungan pada Cinderella?

Pertama, pada dasarnya manusia modern memang membutuhkan dongeng. Melalui dongeng, kisah tentang kebaikan yang akan selalu menang melawan kejahatan semakin bergema. Di alam bawah sadar kita, tema ini adalah tema abadi yang ditanamkan setiap saat melalui nilai-nilai keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dongeng menanamkan kembali nilai-nilai klasik itu lalu mengemasnya menjadi kisah penuh keajaiban.

Yang penting di sini bukanlah sosok Cinderella, Putri Salju, Raounzel, ataupun Belle, melainkan kemenangan atas kejahatan dan iri dengki. Sosok-sosok putri itu akan menjadi representasi dari nilai-nilai baik yang tumbuh dan hidup di dalam satu masyarakat.

Memang, kita bisa berdebat tentang apa yang disebut baik dan buruk yang selalu memiliki basis pada budaya. Akan tetapi, kisah dongeng selalu memiliki sisi-sisi universal yang bisa diterima di semua kebudayaan. Bahwa kebaikan adalah representasi dari ketulusan hati, serta beningnya sikap sehingga menghadirkan kasih di mana-mana.

Kedua, kisah-kisah seperti Cinderella adalah kisah tentang bagaimana merawat harapan hingga ahirnya tumbuh dan berbuah. Kisahnya adalah kisah “From Zero to Hero” yang mengantarkan seorang bisa menjadi para pahlawan. Kisah ini perlambang harapan dan keyakinan banyak orang yang mendambakan keajaiban. Di lubuk hati banyak orang, terselip harapan agar bernasib seperti Cinderella.

Tentu saja, untuk menggapai keajaiban itu, setiap orang harus bekerja keras dan tahan banting. Setiap orang harus sebagaimana Cinderella yang melalui setiap hari dengan penuh kerja keras sembari menganyam harapan tentang masa depan yang jauh lebih indah. Kisah ini bisa membawa efek positif ketika nilai-nilai kebaikan dan ketulusan menjadi DNA yang mengaliri kehidupan seseorang.

Hampa Makna

Terlepas dari berbagai efek positif yang dibawa film ini, kita tetap saja harus waspada efek negatif yang bisa dibawa film. Kebaikan memang sesuatu yang amat positif, namun jika dikemas dalam kisah-kisah kerajaan dan bangsawan kaya-raya, tema kebaikan itu menjadi hampa makna. Anak-anak bisa terlanjur mendefinisikan kebahagiaan itu sebagai saat-saat ketika berhasil kaya-raya, sebagaimana para putri yang tinggal di istana. Pertanyaannya, apakah seseorang harus tinggal di istana-istana hebat dan menjadi bangsawan kaya-raya demi menjadi seseorang yang ‘happily ever after’?

Cinderella dan Pangeran

Kisah-kisah tentang kebaikan memang sangat positif. Namun kisah kebaikan yang dikemas dalam sosok-sosok jelita dan rupawan bisa membuat anak-anak kehilangan makna. Hidup bisa diarahkan pada segala upaya untuk menggapai kesempurnaan fisik, lalu mengabaikan hal-hal yang substansial seperti kebaikan itu sendiri. Kebaikan seolah bermakna ketika berada di tubuh yang cantik. Inilah gambaran yang bisa muncul seusai menonton film Disney.

Jika diteliti lebih jauh, gambaran cantik dalam kisah yang diproduksi Disney kebanyakan menggambarkan kecantikan ala Eropa, yakni berambut pirang, pipi merah merona, tubuh yang tinggi dan langsing, serta mata biru. Gambaran kecantikan ala Disney inilah yang menyebabkan kota-kota kita dipenuhi dengan salon kecantikan, televisi kita penuh iklan bertabur model cantik yang menawarkan aneka produk seperti pemutih, pelurus rambut, ataupun perawatan tubuh.

Yah, Cinderella memang bagian dari produk kapitalisme yang mencari untung sebanyak mungkin. Walt Disney Company berharap bisa meraup dollar sebanyak mungkin melalui penjualan pernak-pernik bagi penonton dewasa. Itu terlihat dari munculnya produk sepatu high hells yang terinspirasi dari sepatu kaca.

Demi film ini, Disney menggandeng nama-nama top dalam dunia retail, desain, dan make-up dalam pernak-pernik film ini. Sepatu kaca Cinderella yang tertinggal pada tengah malam ketika akan meninggalkan istana didesain Jerome C. Rousseau dan dibanderol seharga US$ 795. Sedangkan high heel bertabur kristal rancangan Jimmy Choo berharga US$ 4.595.

Tak hanya itu, MAC Cosmetics mengembangkan edisi terbatas koleksi Cinderella dalam bentuk eyeshadow, bedak tabur, dan lipstik seharga US$ 17-44. Kosmetik ini terjual laris secara online dalam hitungan jam. Ini belum termasuk koleksi-koleksi gaun yang dirancang para desainer terkenal, koleksi perhiasan, serta parade tata rias khas kerajaan yang akan meraup demikian banyak pendapatan bagi perusahaan sekelas Disney.

Di manakah posisi nilai-nilai seperti kebaikan dan ketulusan? Tentu saja, posisinya hanya sebagai lipstick dari industri dan perdagangan global yang menjadikan Cinderella sebagai ikon. Iya khan?


Bogor, 13 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar