salah satu taman kota di Mataram |
Jika Bali terkenal dengan sebutan “Seribu
Pura”, Lombok justru memiliki sebutan “Seribu Masjid.” Tadinya, saya menganggap
bahwa sebutan Seribu Masjid muncul secara spontan. Namun beberapa kawan di
Lombok menuturkan kisah-kisah resistensi atau perlawanan wacana terhadap Bali.
Di balik istilah itu ada positioning
dan proses pembedaan, yang hendak menegaskan bahwa Lombok bukanlah dengan Bali.
Meskipun keduanya nampak sama.
***
SEPINTAS, Lombok serupa copy-paste dari Bali. Apa-apa yang bisa
dilihat di Bali, bisa disaksikan di Lombok. Di tanah ini, ada banyak pura,
tempat-tempat pemujaan Hindu, serta pantai-pantai yang sedemikian eksotik. Ritual budayanya juga sangat kaya dan menawan mata.
Laksana Bali, Lombok adalah destinasi
wisata yang cukup kondang. Saat memasuki Bandara Lombok Praya, suasana wisata
itu sudah terlihat. Saya melihat banyak ornamen dan foto-foto yang unik. Banyak
pula turis-turis asing yang datang untuk menikmati pemandangan Lombok yang
indah. Suasananya serupa Bali.
Saat bertemu dengan beberapa kawan di
Lombok, saya kembali merasakan suasana yang serupa Bali. Aksen bicara warga
Lombok sama persis dengan akses bicara orang Bali. Kalau mereka menyebut kata
yang di dalamnya terdapat huruf “t”, mereka mengucapkannya seperti cara
pengucapan orang Bali. Sangat khas.
Dari aspek fisik, Lombok serupa dengan
Bali. Bedanya adalah di Lombok terdapat banyak masjid. Inilah sisi yang
membedakannya dengan Bali. Masjid-masjid itu dibuat megah dan mentereng sebab
merupakan ikon yang menjadi kebanggaan warga setempat.
Seorang sahabat memberikan ilustrasi.
Katanya, luas Lombok adalah 4.000 kilometer persegi. Jumlah masjid sekitar
3.500-an. Artinya, di mana-mana bisa ditemukan masjid. “Bagi kami orang Sasak,
masjid adalah simbol kebanggaan. Makanya, masing-masing desa akan membangun
masjid yang megah dan indah,” katanya.
Yang menakjubkan, masjid-masjid itu
dibangun dengan mengandalkan swadaya masyarakat. Warga tak menunggu bantuan
pemerintah. Mereka saling mengumpulkan uang untuk membiayai pembangunan masjid.
Mengapa? Sebab masjid adalah ikon kultural di tanah itu.
Sisi Lain Lombok
TADINYA, saya mengira bahwa keberadaan
masjid adalah penanda dari religiusitas.
Namun alasan ini tak terlampau memadai ketika harus menjelaskan
bagaimana identitas orang Sasak dikonstruksi. Sebab identitas bisa dilihat
sebagai sesuatu yang datang dari luar, ataupun sesuatu yang muncul dari dalam
sebagai bagian dari sesuatu yang dipilih secara sadar oleh satu penganut
budaya.
Saya teringat teori yang membahas tentang
Hindu Bali yang penuh dengan ritual. Teori itu menyebutkan bahwa pada mulanya
ritual di Bali tidak sebanyak sekarang. Namun pada satu periode sejarah, Islam
mencapai Banyuwangi dan hendak disebarkan ke Bali. Warga pulau dewata itu lalu
membentengi diri mereka dengan ritual. Mereka memperbanyak ritual sehingga alur
kehidupan seorang warga dipenuhi oleh disiplin dan spiritualitas, sehingga tak
menyisakan tempat bagi keyakinan baru untuk berdialog dan masuk.
Apakah gerangan yang terjadi di Lombok di masa silam?
Seorang peneliti yang saya temui di Lombok
memiliki teori lain. Katanya, wacana “Seribu Masjid” muncul sebagai bentuk
perlawanan atas posisi budaya Bali yang pernah berkuasa di Lombok. Peneliti itu
menguraikan fakta-fakta sejarah bahwa Lombok pernah dikuasai Kerajaan
Karangasem dari Bali selama sekian waktu.
Katanya, dahulu orang Sasak pernah
dikalahkan dan dikuasai oleh orang Bali. Makanya, terdapat migrasi dan perpindahan
orang-orang Bali ke Sasak. Bali menjadi sentrum identitas yang kemudian
mewarnai identitas orang Sasak. Beberapa tempat memiliki identitas yang sama
dnegan Bali, salah satunya adalah Istana Cakranegara di Ampenan.
“Nanti tahun 1894, Lombok bebas dari
pengaruh politik Bali. Itupun terjadi setelah campur tangan Belanda yang
membebaskan orang Lombok,” kata sahabat itu. Pendapat ini membantu saya untuk
memahami banyak aspek penting tentang Lombok.
Bahwa wacana keberislaman serta
bangunan-bangunan masjid adalah satu bentuk peneguhan identitas yang membedakan
dirinya dengan Bali. Kita bisa menyebutkan sebagai semacam counter-discourse atas satu wacana yang mendominasi satu tempat.
Islam membantu orang Sasak untuk merekonstruksi ulang identitasnya, sekaligus
menjadi kompas yang menuntun nilai-nilai kehidupan masyarakatnya.
Masjid besar di tengah kota Mataram |
Hal lain yang juga menarik adalah wacana
tentang Belanda. Nampaknya, orang Sasak tak punya memori kelam atas penjajahan
Belanda. Bagi mereka, Belanda adalah hero yang membebaskan mereka dari tekanan
Bali. Posisi Belanda bukan sebagai penjajah, melainkan sebagai pembebas dari
tatanan yang represif.
Pandangan ini tak hanya ditemukan di
Lombok. Saya juga menemukannya di Buton, Ternate, Tidore, Ambon, hingga tanah
Papua. Kesimpulan saya, sudah saatnya melihat Indonesia sebagai satu wacana
besar yang di dalamnya terdapat keanekaragaman wacana. Tak adil menyamaratakan
kondisi semua daerah. Faktanya, sejarah ibarat narasi besar yang dibangun dari
serpihan pengalaman banyak narasi kecil yang justru menunjukkan keragaman serta
kekayaan perspektif. Tak adil jika melihatnya secara tunggal.
Yup, Islam memang cukup kuat di sini.
Sayangnya, banyak masjid-masjid itu tak berkorelasi dengan banyak jamaah.
Malah, saat di Lombok, beberapa orang bercerita tentang pemimpin daerah yang
terindikasi kasus korupsi. Beberapa teman juga bercerita tentang korupsi berjamaah serta
kolusi para pemimpin lokal. “Bang, di sini banyak yang kaya. Tapi jauh lebih
banyak yang miskin. Sebab yang kaya itu sibuk memperkaya diri sendiri dengan
uang rakyat. Mereka korup,” kata sahabat itu.
Sayup-sayup saya teringat kalimat seorang
pemikir tentang Islam yang hanya nampak di mata, namun tak tampak di hati.
Entahlah.
Lombok, 28 Februari 2015
1 komentar:
-aksen bicara warga asli lombok (sasak) tidak sama dengan bali. kalau yang sama itu pasti warga keturunan bali
Posting Komentar