Politik yang Dibingkai Uang Miliaran




Ceritakan padaku tentang kesenjangan
 
USIANYA belum genap 30 tahun. Ia masih cukup muda. Namun, jangan pernah bertanya tentang berapa jumlah uang dalam tabungannya. Ia punya lebih dari angka 30 miliar rupiah. Maklumlah, ayahnya adalah pejabat selama dua periode. Melalui kuasa sang ayah, ia mendapat Kuasa Pertambangan (KP). Ia lalu menjual hasil tambang itu ke para investor. Maka kaya-rayalah dirinya.

Sejak otonomi daerah, banyak orang kaya baru di daerah. Sejak kiblat kuasa pindah ke daerah, tiba-tiba saja orang-orang daerah mrasa memiliki otoritas dan kuasa menambang duit. Dunia politik menjadi jalan mulus bagi mereka untuk memperkaya diri, memperbesar pundi-pundi keuangan, lalu memperkaya diri. Demi memenangkan semuanya, dipakailah retorika tentang kesejahteraan atau amanat penderitaan rakyat. Cita-cita tentang amanat rakyat adalah bullshit. Politik adalah jalan untuk kaya. Titik.

Saya selalu miris mendengar kisah-kisah seperti ini. Saya membayangkan Gandhi yang berkata bahwa dunia selalu cukup bagi kita, namun tak akan pernah cukup bagi keserakahan kita. Saya juga memikirkan bahwa di balik kekayaan miliaran itu, selalu ada harga yang harus dibayar yakni banyak orang lain mesti ikhlas untuk dimiskinkan. Mesti ada yang kaya-raya, dan mesti ada yang biasa-biasa, malah menjadi rakyat jelata. Bisakah kita menghapus jarak sosial yang demikian jauh? Mengapa harus ada istilah kaya dan miskin? Tak bisakah smeua orang menjadi kaya dan tak harus ada yang miskin?

Yah, kalimat-kalimat Marx masih selalu aktual. Ketika ada satu kelompok menjadi kelompok elite atau atas, maka mesti ada kelompok lain yang jadi kerak di dasar periuk. Saya langsung berpikir, mengapa tak sekalian saja dana miliaran itu di-share ke banyak orag sehingga banyak pihak yang bisa diuntungkan dan dibuat kaya?

Saya hanya bisa mencatat. Saya tak bisa berkata apa-apa ketika melihat para putra pejabat atau mantan pejabat itu bergelimang harta, lalu memasuki dunia politik dengan janji akan membawa amanat penderitaan rakyat. Inilah potret zaman kita. Politik hanyalah gerbang untuk menggapai sesuatu yang terkait kuasa dan kekayaan.

Dan akhirnya saya hanya bisa mengurut dada ketika melihat pemuda berdeposito miliaran dan selalu mabuk-mabukan untuk merayakan kekayaaannya, sedang di sebelah lain, ada seorang anak muda yang mengais-ngais rezeki di tengah panas terik yang setiap saat menjadi hujan badai, malah ada banyak orang yang mengemis demi uang seribu rupiah yang bakal habis dibelikan bahan makanan di hari itu.


Baubau, 27 Agustus 2013

0 komentar:

Posting Komentar