salah satu masjid di Kabupaten Bone, Sulsel |
SETIAP kali singgah dan salat di masjid
kecil di Desa Bengo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, saya selalu saja
terkesima dengan para khatib dan pengurus masjid. Mereka memimpin jamaah dan
berpidato dengan bahasa Bugis. Saya tak paham bahasa Bugis. Akan tetapi saya
amat mengagumi pesan-pesan Ilahian yang disampaikan dalam kultur lokal. Kata
seorang jamaah, “Pesan kebaikan itu
menggema hingga sumsum.”
Hampir di semua desa-desa yang didiami
etnis Bugis, pesan langit selalu disampaikan dalam bahasa Bugis. Demikian pula
dengan daerah-daerah beretnis Makassar, khutbah juga disampaikan dalam bahasa
Makassar. Ketika mendengar khutbah yang disampaikan dalam bahasa lokal, saya menyaksikan
satu adaptasi kultural yang mengagumkan. Pesan-pesan itu jauh lebih meresap,
jauh lebih mengena bagi warga, jauh lebih menyentuh makna.
Dalam ranah kajian budaya, ini disebut akulturasi. Pesan-pesan agama yang diturunkan dalam bahasa Arab, kemudian dikemas ulang ke dalam bahasa Bugis. Ada proses adaptasi, serta pengayaan makna bahasa Bugis sehingga bahasa Bugis bisa menjadi lebih kaya kandungan bahasanya. Islam menjadi spirit yang kemudian mengisi wadah bahasa Bugis sehingga melahirkan perpaduan yang amat indah bagi yang memahami bahasa Bugis. Islam menopang tata nilai dan kebaikan yang sebelumnya telah hadir dalam ujar-ujaran dan kearifan lokal orang Bugis. Saya kagum.
Apakah di semua daerah ada khutbah dalam
bahasa lokal? Nampaknya tidak. Di kampung saya, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara,
saya tak pernah mendengar khutbah yang disampaikan dalam bahasa daerah.
Demikian pula dengan daerah-daerah di sektar Buton seperti Muna, Kulisusu,
ataupun wilayah daratan Sulawesi Tenggara seperti Kendari dan Kolaka.
Mengapa? Seorang warga di Buton pernah
menuturkan baha dahulu khutbah disampaikan dalam bahasa dareha, akan tetapi
sejak isu basis PKI mencuat dan banyak warga yang ditangkap, pemerintah
melarang penggunaan bahasa daerah untuk khutbah. Semuanya harus dalam bahasa
Indonesia, demi memudahkan proses pelaporan ke level pusat. Benarkah? Entah.
Sayang sekali karena kebijakan khutbah ini
akhirnya berdampak pada terpinggirnya bahasa daerah sebagai medium untuk
menyampaikan pesan agama di Buton. Bahasa daerah direduksi hanya sebagai bahasa
pergaulan yang secara perlahan jumlah pemakainya kian menciut. Di Kota Baubau
saja, jumlah generasi muda yang menguasai bahasa daerah semakin berkurang
drastis.
Sayang sekali karena generasi saya tak
sempat menyaksikan khutbah dalam bahasa daerah. Dugaan saya, penggunaan bahasa
daerah di Buton untuk pesan agama akan memuat pesan itu langsung menyusup ke
hati semua yang mendengar dan memahaminya. Hingga kini, saya selalu tersentuh
setiap kali mendengar syair tradisi lisan yang mengandung khasanah ajaran
tasawuf. Syair itu berbunyi lebih nyaring dan menikam-nikam hati yang dibasahi
kerinduan pada Sang Pencipta.
Akhirnya, saya hanya bisa iri dengan
masyarakat Bugis yang menjaga khasanah lokalnya. Mereka melestarikan bahasa
Bugis dan digunakan dalam percakapan sehari-hari serta pada khutbah di masjid.
Bahasa itu semakin indah karena dipakai untuk menyampaikan ajaran tentang
kebaikan.
Yup. Saya sangat iri. Meskipun ketika
mendengar khutbah itu, saya tak paham. Kepada seorang kawan saya berbisik bahwa
saya hanya paham dua kata; Allah Ta’ala dan Muhamma’. Itu saja.(*)
Makassar, 13 Agustus 2013
3 komentar:
yes...bangga jadi org bugiss
mantaplah.
hemmm
Posting Komentar