Tulisan ini terpilih sebagai juara pertama
lomba menulis esai tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diadakan oleh Sekretariat Kabinet RI. Pengumumannya bisa dilihat DI SINI.
-------------------------------------
seorang nelayan kecil di Buton |
DUA tahun silam,
lelaki bernama La Udi (35) itu hanyalah seorang sawi, nelayan kecil yang sesekali menjadi buruh di sebuah kapal
penangkap ikan di pesisir Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ia seorang
biasa yang sering hanya membawa sekantong ikan sebagai upah atas kerja keras
melaut selama semalam suntuk.
Kemarin, saya berjumpa dengannya. Ia telah
menjadi seorang pemilik kapal yang juga mengelola beberapa bisnis di pasar.
Sungguh ajaib.
Selama beberapa
waktu meninggalkan kampung, saya tak mengikuti perkembangan tentang keluarga
nelayan di sana. Ketika kembali, betapa terkejutnya saya melihat banyak
nelayan kecil seperti La Udi telah bersalinrupa menjadi pemilik kapal. Mereka
bukan lagi sawi, melainkan menjadi punggawa atau juragan. Malah, mereka
mulai merambah bisnis penjualan ikan ke beberapa pengusaha di Surabaya atau
Jakarta. Bukankah ini menakjubkan?
La Udi memang
inspiratif. Di satu sore, di tengah hembusan angin sepoi-sepoi di sekitar
Pantai Nirwana di Buton, ia menerima ajakan saya untuk berkisah banyak hal. Di
tengah hembusan asap dari rokok kretek yang di jemarinya, ia berbagi informasi.
Ia mengatakan bahwa siapa pun bisa seperti dirinya, sepanjang ada semangat dan
keinginan untuk berubah.
Rahasia lain yang juga dibaginya adalah pada dua tahun
silam, ia mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Ketika duit di tangan, mulailah ia membuka usaha dan melangkah
setapak demi setapak ke tangga kesuksesan. What? Apakah semudah itu mendapatkan
kredit? Bagaimanakah dengan risikonya? Mengapa bank semudah itu mempercayainya?
Bagi para nelayan di
sepanjang desa-desa pesisir Pulau Buton, bank adalah tempat yang jarang
dikunjungi. Meskipun para nelayan itu terbiasa dengan ganasnya ombak lautan
serta tantangan saat mengayuh dayung di laut ganas, ketika harus ke bank,
mereka serba kikuk dan tidak tahu hendak memulai dari mana.
Tingkat pendidikan
yang rendah menyebabkan rasa minder serta keengganan untuk memasuki bank.
Mereka memelihara persepsi bahwa bank adalah tempat bagi mereka yang kaya untuk
bertransaksi, sementara mereka yang miskin tak punya akses ke bank.
Tak hanya itu, bank
seringkali tak ramah bagi para nelayan. Beberapa nelayan menuturkan bahwa
mengajukan kredit ke bank tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
Seringkali bank meminta persyaratan administrasi serta bukti agunan kepada
nelayan. Inilah yang menjadi beban bagi nelayan. Tidak semua nelayan Buton
memiliki pemahaman atas syarat administrasi.
Meskipun di satu sisi pemerintah
mengatakan bahwa kredit KUR tak perlu agunan, informasi ini tidak
tersosialisasi dengan baik. Pihak bank juga seringkali tidak paham dan tetap
saja meminta agunan kepada rakyat kecil.
Di tengah akses yang
lemah serta kondisi perbankan, para nelayan kemudian berpaling pada tengkulak.
Memang, bunga pinjaman pada tengkulak jauh lebih tinggi, akan tetapi para
nelayan itu mendapatkan kemudahan berupa akses yang cepat serta tidak ada
administrasi yang berbelit-belit. Di sisi lain, para tengkulak sukses
memanfaatkan jejaring kekerabatan yang kuat di masyarakat.
Pantas saja jika
nelayan berpikir bahwa meskipun bunga mahal, jika tak perlu mengurus
administrasi dan menyerahkan dokumen agunan, mereka akan memilih bekerjasama
dengan para tengkulak, ketimbang bank.
La Udi tahu kondisi
yang menjerat para nelayan kecil. Ia punya sedikit keberanian serta visi untuk
keluar dari mata rantai kemiskinan yang menjerat para nelayan. Ia meyakini
bahwa keberanian sangat dibutuhkan untuk menerobos rasa takut serta minder
untuk berbuat lebih. Ia tak mau dicekam rasa takut.
Ketakutan adalah belenggu
yang harus diatasi demi kehidupan yang lebih baik. Ia mendatangi bank,
menyelesaikan semua syarat administrasi, kemudian mendapatkan pinjaman.
Keberanian itu
membersitkan pengetahuan yang menerangi hatinya. Ia akhirnya paham bahwa syarat
administrasi memang penting bagi bank demi memastikan bahwa seseorang bisa mengembalikan
pinjaman. Namun syarat itu bukanlah harga mati.
Sejak tahun 2007, pemerintah
telah memberikan jaminan bagi semua rakyat untuk mendapatkan KUR. Seyogyanya,
bank tidak perlu mempersulit rakyat, sebab pemerintah bersedia menjadi
penjamin. Ketika mengetahui hal ini, ada sejumpah pertanyaan yang mencuat, mengapa tak banyak nelayan yang tahu bahwa
segala persyaratan telah dipermudah demi mendapatkan KUR?
Mengapa para nelayan
tak berbondong-bondong mendatangi bank untuk mengajukan pinjaman? Bagaimanakah
memperluas akses informasi pada semua rakyat kecil lainnya?
Mengurai Persoalan
La Udi adalah satu
kisah sukses tentang mereka yang berhasil memanfaatkan dana kredit KUR. Ia
adalah contoh kasus dari sedikit orang yang akhirnya sukses berwirausaha. Ia
adalah anomali dari sebahagian besar nelayan Pulau Buton yang merasa tak perlu
mengajukan pinjaman ke bank.
Mengapa anomali? Sebab banyak di antara mereka
yang merasa nyaman dengan keadaannya sebagai penangkap ikan di malam hari, dan
di siang hari menjajakan ikan tersebut. Mereka tidak tertarik untuk mencoba
sektor usaha lain demi meningkatkan pendapatan. Sejauh ini, mayoritas
nelayan hanya fokus pada aspek produksi yakni penangkapan ikan saja.
Sejatinya, tak
mengapa jika mereka memilih hidup hanya sebagai nelayan biasa yang hidup
pas-pasan. Namun masalah akan mencuat ketika banyak di antara mereka yang
kemudian memiliki kebutuhan seperti menyekolahkan anak ke luar daerah, biaya
kesehatan, hingga keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah demikian
banyak kebutuhan, banyak yang kemudian mengambil jalan pintas untuk meminjam
dana pada sejumlah tengkulak atau rentenir.
Ada aspek yang jauh
lebih penting dan seakan lenyap di benak para nelayan yakni aspek kewirausahaan
serta keberanian untuk mencoba peluang baru. Ketimbang terjerat oleh tengkulak
atau rentenir, akan sangat berguna jika mereka mengajukan pinjaman kredit ke
bank, yang kemudian digunakan sebagai modal untuk usaha tertentu.
Namun, memperkenalkan
spirit kewirausahaan jelas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Para
nelayan mesti diperkenalkan wawasan baru tentang kehidupan yang tidak hanya
berkutat di area yang sama. Mereka mesti diperkenalkan dengan cara-cara baru
untuk meningkatkan pendapatan. Mereka mesti beradaptasi dengan kultur baru yang
tidak hanya berkutat dengan aspek produksi.
Nah, ini menjadi
tantangan yang harus dipecahkan. Sebab meskipun pemerintah mengucurkan dana 20
hingga 30 triliun, namun jika tidak diiringi dengan kesiapan –dalam artian penguatan kapasitas-- rakyat
kecil, maka upaya itu akan menjadi sia-sia.
Yang pasti,
pembenahan atas semua persoalan ini mutlak harus menjadi prioritas bersama.
Fakta menunjukkan bahwa usaha kecil menengah (UKM), sebagaimana usaha yang
dikerjakan La Udi, berjumlah sekitar 55,8 juta di seluruh tanah air, yang
merupakan 98,79 persen dari total usaha yang ada di Indonesia.
Penting pula
dicatat bahwa usaha mikro berhasil menyerap tenaga kerja hingga lebih seratus
juta, atau setara dengan 90,12 persen dari semua usaha di tanah air. Dengan
demikian, pembenahan atas masalah ini akan menyentuh hajat hidup jutaan orang,
yang merupakan lapis terbesar dari piramida sistem sosial kita hari ini.
Apa yang Harus Dilakukan?
Selain semangat kewirausahaan yang lemah, masalah lain yang
mencuat adalah minimnya akses kredit perbankan, serta ketidakmampuan nelayan
kecil, atau pemilik UKM, untuk
menyediakan agunan. Semua permasalahan di atas berkutat pada aspek kultural
yang bermuara pada lemahnya kapasitas atau sumberdaya manusia (SDM).
Penyelesaian masalah
ini bisa ditempuh dengan cara kultural yakni memosisikan semua nelayan sebagai
subyek utama yang melakukan segala upaya demi memberdayakan sektor UKM. Mereka
mesti dilihat sebagai individu bebas yang mesti didengarkan permasalahannya,
kemudian sama-sama diajak untuk merumuskan langkah-langkah penyelesaian.
Mereka
mesti diajak berdialog, didengarkan semua aspirasinya, kemudian diajak untuk
sama-sama menyelesaikan masalah yang menderanya. Awalnya pasti tak mudah, namun
seringkali akan lahir langkah-langkah ajaib yang sering tak terduga namun
efektif dalam menyelesaikan berbagai hal.
Selain aspek
kultural, hal penting yang harus tetap mempertimbangkan aspek lainnya seperti kesiapan
pasar, perluasan akses informasi, serta dukungan yang terus-menerus kepada
nelayan kecil yang berikhtiar untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Belajar pada
pengalaman La Udi, ada tiga kebijakan yang bisa ditempuh demi memberdayakan masyarakat
nelayan yakni (1) pengembangan kewirausahaan, (2) perluasan pasar produk, serta
(3) peningkatan akses atas kredit di bank. Nah, aspek yang ketiga inilah yang
menjadi tantangan. Sebab kebijakan ini sering berhadapan dengan ketidaksiapan
masyarakat untuk menyerap hal-hal baru. Bagaimanakah memperluas akses atas
kredit?
***
DI tepi pantai itu,
saya berbincang dengan La Udi. Selama setahun lebih, ia mencoba membantu
sejumlah nelayan untuk mendapatkan kredit. Ketka membahas tentang akses, ia
tiba-tiba melontarkan satu gagasan yang brilian di mata saya. Ia menyarankan
agar semua bank memiliki agen di desa-desa yang memiliki pemahaman yang baik
tentang jaringan sosial masyarakat desa.
Agen-agen itu lalu membuka akses
kredit, tanpa mempersulit administrasi, dan di saat bersamaan akan menghubungi
jaringan sosial atau jaringan kekerabatan masyarakat desa untuk membantu
menyiapkan sejumlah prasyarat administrasi. “Para
nelayan bisa dibuatkan kelompok, kemudian masing-masing kelompok menjaminkan
anggotanya. Kelompok ini pula yang bisa menjamin agar anggotanya bisa membayar
angsuran,” katanya seusai menghembuskan asap kretek.
Saya tercenung mendengar penjelasan La Udi.
Saya teringat lelaki bernama Muhammad Yunus di Bangladesh sana. Ia mengenali
jaringan-jaringan yang bekerja di masyarakat, kemudian menggerakkannya untuk
mengatasi kemiskinan. Ia bisa membangun bank untuk rakyat, yang memperluas
akses kredit pada warga biasa, melakukan ‘jemput bola’ lalu memastikan agar
semua orang bisa maksimal menggunakan dananya.
perahu nelayan |
Memang, solusi itu
boleh jadi hanya efektif di satu negeri seperti Bangladesh. Akan tetapi, nelayan
La Udi mengemukakan satu solusi yang mengingatkan saya pada upaya Muhammad
Yunus untuk mengatasi kemiskinan. Hebatnya, La Udi tak pernah tahu tentang
Yunus. Ia belajar dari pengalamannya selama beberapa tahun ketika berusaha
memutus mata rantai kemiskinan.
Ia mengajukan tesis tentang pentingnya menjaga
jejaring sosial dan kultural. Memang, solusinya masih bersifat praktis, namun
kita bisa mengembangkannya menjadi kebijakan yang bermakna. Ia memberikan satu
inspirasi yang selanutnya mesti diformulasi menjadi kebijakan.
Pria ini membuat
saya berpikir bahwa bahwa negeri ini memiliki banyak sosok-sosok inspiratif
yang tinggal di sekitar kita, dan memiliki kisah-kisah sukses yang layak untuk
diadaptasi menjadi kebijakan. Pengetahuan yang dimiliki oleh pria seperti La
Udi ini bisa menjadi cahaya yang menerangi gelapnya pemikiran banyak orang yang
terjebak pada kemiskinan.
Boleh jadi, dengan cara menyerap pengetahuan dan
solusi praktis La Udi, maka di masa depan, senyum para nelayan Buton akan tetap
merona seiring dengan kesejahteraan yang semakin meningkat.
Semoga.
2 komentar:
sukses buat Yusran Darmawan, tulisan yg begitu mengalir dan enak untuk dibaca. Semoga ini bisa menginspirasi kita semua bahwa menulis itu memang bukan sesuatu yang sulit dilakukan, melainkan sesuatu yang menyenangkan dan pastinya bisa menghasilkan karya bagus untuk perubahan. sekali lagi selamat dan sukses
Keren Ode, terus menginspirasi.
Posting Komentar