Hisanori Sato saat peluncuran buku |
SEMALAM saya membaca buku berjudul Kangen
Indonesia: Indonesia di Mata
Orang Jepang yang ditulis Hisanori Sato. Buku ini berisikan catatan harian
seorang peneliti Jepang yang tinggal cukup lama di Indonesia. Ia menulis
tentang kesan serta pengalaman batinnya tentang Indonesia. Di awal kedatangan,
ia senantiasa mengkritik situasi dan merasa tidak nyaman. Namun setelah
beberapa waktu, ia belajar banyak dan menemukan tetes-tetes pencerahan.
Ternyata, ada banyak pelajaran besar di sekitar
kita yang seringkali luput dari pengamatan. Kehadiran orang asing seperti Sato
telah membantu kita untuk menemukan mutiara yang tersimpan di sekitar kita. Mutiara
itu mencakup pandangan hidup, filosofi, serta cara manusia Indonesia merespon
semua persoalan. Sato mengaku belajar banyak. Ia akhirnya menemukan kekuatan
tersembunyi manusia Indonesia yang bisa menginspirasi bangsa lain. Kekuatan itu
terletak pada kearifan warga untuk menyikapi masalah.
Sato agak beda dengan sejumlah peneliti
asing yang terbiasa dengan kenyamanan. Sato justru mencari ketidanyamanan. Ke
mana-mana ia menggunakan bis kota atau fasilitas angkutan umum. Ia bersahabat
dengan banyak kalangan. Mulai dari Gus Dur hingga seorang pemilik warung kaki
lima. Malah, ia juga belajar menjadi warga kelas bawah. Suatu hari ia mencoba
menjadi pengamen di bis kota. Tujuannya adalah mengetahui bagaimana daya tahan
serta kemampuan warga kelas bawah untuk menghadapi dunia sosialnya.
Saya sangat menikmati tulisan-tulisannya
tentang benturan budaya. Ia besar dalam
budaya Jepang yang sangat menghargai efisiensi, ketepatan waktu, dan kerja
keras. Ketika di Indonesia, ia terperangah melihat waktu yang serupa karet
gelang dan bisa diatur. Ia juga kaget dengan pandangan hidup yang tidak terlalu
peduli dengan efisiensi, serta pandangan yang selalu merasa cukup.
Sato adalah seorang Jepang yang mulanya shock melihat kultur Indonesia.
Hebatnya, ia tak hendak larut dan bersikap sinis sebagaimana para bule atau
ekspatriat yang melihat Indonesia. Ia malah belajar banyak, dan mulai melihat
sisi lain kebudayaan Indonesia yang berbeda dengan kebudayaan barat.
Sebagaimana dikatakannya, budaya barat selalu menuntut efisiensi serta kerja
keras. Waktu menjadi amat singkat sebab semua orang bergegas.
Sato kemudian mengkritik budaya barat yang
seolah tidak memberikan ruang bagi manusia untuk sekadar rehat atau menarik
nafas. Di Indonesia, warganya bisa menyisihkan waktu untuk melihat kemajuan
tidak sebagai sesuatu hal yang harus dikejar membabi-buta, melainkan dijalani
secara apa adanya dan tak banyak menuntut. Dengan demikian, manusia Indonesia
punya kendali besar atas waktu. Mereka bebas menentukan waktu dan tidak
dikendalikan.
Saya juga suka uraiannya tentang para
tokoh yang suka pidato di Indonesia. Mulanya ia suka terheran-heran melihat
seorang tokoh berpidato dengan tanpa teks, serta gerak tangan dan retorika yang
membuat semua hadirin terpingkal-pingkal. Katanya, di Jepang semuanya serba
rinci. Ia jarang melihat spontanitas.
Ketika diminta pemerintahnya menjadi
penerjemah dialog antara pejabat Jepang dan Idonesia, ia merasa kesal dengan
pejabat Jepang, yang membaca konsep pidato agar waktu berbicaranya efisien
yakni 10 menit. Sato memprotes, apakah tak bisa pejabat itu berpidato dengan
santai dan spontan sebagaimana orang di Indonesia? Nah, pada titik ini ia sudah
menjadi orang Indonesia.
Saya sangat menikmati
pandangan-pandangannya tentang orang Indonesia. Ia mengingatkan saya pada
seorang sahabat Shino yang juga tekun, disiplin, serta sangat efisien menata
waktu. Saya membayangkan, apakah Shino akan seperti Sato ketika ke Indonesia?
Saya yakin tidak. Tak semua orang bisa belajar banyak dari ketidaknyamanan, dan
kemudian bisa memahami filosofi besar di balik itu. Tidak semua orang bersedia
untuk berempati yakni menjadi gelas kosong, kemudian mengisi berbagai
pengetahuan yang di dapatkan ke gelas itu. Lebih banyak orang yang menilai
sesuatu dengan titik pandangnya. Tanpa berniat memahami yang lain.
Sato bisa belajar banyak hal, mulai dari
keramahan, kebaikan, rasa pemaaf, toleransi, hingga indahnya Ramadhan di
Indonesia. Pada akhirnya, ia sangat rindu dengan Indonesia. Ia rindu dengan
sesuatu yang tidak terjadwal. Ia suka naik bis yang ketika jarak tujuan dekat,
maka bisa membayar separuh ke sopir. Ia juga suka dengan kehangatan
persahabatan yang ditemuinya di mana-mana.
Ia juga suka dengan semua kuliner khas
Indonesia, yang menurutnya mencerminkan budaya. Ia suka dengan cara makan pakai
tangan, yang menurutnya menunjukkan penghormatan pada alam dengan cara menyentuhnya.
Sungguh beda dengan masyarakat Barat yang tak mau menyentuh alam, malah ingin
menaklukannya dengan sendok dan garpu.
Saya menggemari catatan yang ringan dan
penuh makna ini. Meskipun dirinya profesor, ia tidak menulis dengan gaya
akademik yang kaku itu. Ia menuli dengan gaya bahasa yang ringan dan renyah
untuk dibaca. Catatannya telah membantu kita untuk memahami negeri sendiri dari
sudut yang berbeda, dari satu sudut yang selama ini diabaikan.
Membaca tulisannya, saya tiba-tiba
bercermin, dan melihat ulang diri saya sebagaimana dilihat orang lain. Pada
akhirnya saya sadar bahwa selalu ada berlian di balik setiap kenyataan. Hanya
saja, hanya mereka yang mau membuka diri serta belajar yang akan menemukan
berlian itu. Dan Sato adalah satu dari sedikit penemu berlian kehidupan itu.
Makassar, 3 Agustus 2013
5 komentar:
Ass... dimana bisa dapatkan bukunya prof? Tertarik membacanya..
Ohh... maaf, saya kira ini tulisan Prof Darmawan Salman. Rupanya sy salah melihat nama, faktor usia kali yah...mata mulai rabun. Tapi... tulisannya bagus, menarik dan inspiratif. Good share. Thanks
Ohh... maaf, saya kira ini tulisan Prof Darmawan Salman. Rupanya sy salah melihat nama, faktor usia kali yah...mata mulai rabun. Tapi... tulisannya bagus, menarik dan inspiratif. Good share. Thanks
banyak di toko buku. bisa pula dibeli online.
hahaha. tersanjung jg sy disamakan dgn prof darmawan salman.
Posting Komentar