BAGI pencinta hobi kuliner atau
makan-makan, tentunya sangat mengenal resep masakan ikan yang paling digemari
di Baubau yakni ikan parende. Hampir semua warga di Pulau Buton, Muna, hingga
Wakatobi menggemari masakan ikan ini. Buat yang belum paham tentang parende,
saya menginformasikan bahwa parende adalah jenis tumisan ikan yang berkuah.
Masakan ini amat populer. Sahabat saya
Sukri Grafis, menyebut bahwa parende adalah salah satu ikon masyarakat Buton.
Benarkah? Mungkin saja. Meskipun saya sendiri pernah mencicipi jenis masakan
yang mirip di Makassar. Di antara berbaga jenis masakan ikan, parende disebut
sebagai yang terenak, khususnya parende ikan tertentu. Seorang teman pernah
menjelaskan bahwa parende ikan merah adalah menu favorit bagi keluarga sultan
pada masa silam.
Di Kota Baubau, saya cukup rajin mencoba
berbagai masakan ikan parende di beberapa rumah makan. Masing-masing memiliki
kelebihan dan keunikan. Saat mencoba masakan ikan parende di dekat Bank BNI
Baubau, persisnya di belakang warung coto
La Guntu, saya menggemarinya. Istri saya juga amat menggemarinya
sampai-sampai ia menghirup sisa air parende yang tersisa di mangkuk ikan.
Kemarin, beberapa teman merekomendasikan
menu ikan parende di dekat Pasar Wameo. Katanya, ikan parende terenak ada di
warung Mama Jana. Saya pun langsung penasaran dan segera ke Pasar Wameo. Tak
jauh dari pasar ikan, saya melihat warung Mama Jana di dekat pesisir laut.
Warung ini terbilang warung sederhana. Dindingnya
terbuat dari anyaman bambu yang diiris tipis. Orang Buton menyebutnya jalaja. Orang Bugis menyebut dinding
bambu ini sebagai gamacca. Meskipun
warung ini sederhana, saya melihat antrian mobil di depannya. Ternyata, warung
ini cukup populer.
Saat di dalam warung, saya melihat banyak
perempuan-perempuan muda dan manis sedang mencicipi parende. Saya juga melihat
dua nelayan dengan pakaian sederhana di sudut sedang memakan ikan dalam keadaan
berkeringat. Setelah melihat sekeliling, saya pun mengambil tempat.
Di meja kasir, saya melihat perempuan
separuh baya sedang duduk dan menerima pesanan. Saya agak sok tahu saat
menyapa, “Mama Jana, saya pesan parende.”
Peremuan itu lalu mengiyakan. Ketika pengunjung lain juga memanggilnya Mama
Jana, artinya tebakan saya tepat juga.
Sebelum pesanan itu datang, saya melihat
ke dinding dekat kasir. Di situ ada foto Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri
Hukum dan HAM, yang diapit dua perempuan. Satu di antaranya adalah Mama Jana.
Ternyata sosok terkenal negeri ini pun pernah datang makan di tempat itu.
Ketika pesanan saya datang, saya
mencicipinya. Maknyuss! Ternyata
rasanya sangat nikmat. Saya memberinya point sembilan dari skala sepuluh point.
Saat itu saya paham mengapa orang-orang menggemari makan di tempat itu. Faktor
rasa menjadi magnet utama yang membuat orang-orang selalu datang.
Selama duduk, saya menemukan beberapa hal
yang menjadi kekuatan warung ini. Pertama,
suasananya yang akrab serta dialog-dialog antara Mama Jana dan pengunjung.
Ia tak canggung-canggung ketika menyapa orang-orang dalam bahasa Wolio.
Beberapa kali, ia memanggil nelayan yang memarkir koli-koli[1]
dengan teriakan “Maimo takandeaka” (mari
makan). Sikapnya yang ramah mengingatkan saya pada pemilik sebuah restoran
mediterannia di Ohio yang mengelilingi semua meja demi bertanya pada
pelanggannya, apakah makanannya enak ataukah tidak.
Kedua, ikan yang disajikan adalah ikan yang
sangat segar. Hal ini sangat wajar karena letak warung itu adalah di tepi laut,
hanya beberapa meter dari pasar ikan. Ini memudahkan Mama Jana memilih sendiri
jenis ikan yang hendak disajikan di warungnya. Menurut seorang pengunjung, ia
hanya memilih jenis ikan yang paling segar dan paling bagus. Lagi-lagi, ia
mengingatkan saya pada film dokumenter Sushi tentang seorang pemilik warung
makan di Jepang yang memilih sendiri semua menu yang disajikan di kedai
makannya.
Ketiga, letak warung itu yang dekat laut. Saat
makan di warung itu, angin sepoi-sepoi terasa di wajah yang kemudian memberikan
suasana sejuk. Saya menggemari posisi duduk yang tak jauh dari pohon kelapa.
Makanya, ketika makan ikan ini, saya merasakan suasana hati yang sangat adem, menyenangkan, serta sesaat membuat
saya lupa dengan semua masalah.
Nah, terkait ‘lupa masalah’ ini, saya
selalu teringat La Satar, sahabat ketika belajar di SMP 3 Baubau.
Ketika menikmati sebuah makanan enak, biasanya ia akan berteriak, “Enaknya juga dan.. Sampai-sampai saya lupa sama
semua utangku.”
Nah, pernahkah anda memakan sesuatu yang
sangat enak sampai-sampai melupakan semua utang? Hmm.... Saya pernah. Saya lupa
semua utang saat makan ikan parende di Mama Jana.
Baubau, 18 Agustus 2013
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar