Penulis Korea yang Berbisik "Follow Your Passion"


ilustrasi

TIGA bulan silam, saat menjalani acara wisuda di kampus Ohio University, saya tertegun ketika mengikuti kuliah umum dari seorang penulis Korea. Saya lupa namanya. Saya hanya ingat persis beberapa kata-kata bijak yang dikemukakannya di hadapan ratusan wisudawan program magister dan doktor.

Mulanya ia bercerita tentang pemuda sebuah sekolah bela diri yang mendaki sebuah gunung. Setiap kali anak muda itu mengira telah tiba di puncak, ia akan berhadapan dengan puncak-puncak baru. Pendakian itu tak pernah final. Kata penulis Korea itu, demikianlah kehidupan. Setiap kali kita sukses menggapai satu puncak, maka akan terbentang satu puncak lain yang harus ditaklukan.

Saya merenungi butiran mutiara penulis Korea itu. Kita semua adalah serupa anak muda yang sedang mendaki gunung. Ketika kita sukses pada satu tahap kehidupan, akan terbentang tahapan dan tantangan lain yang harus dilewati. Mungkin, penulis itu hendak menyindir para wisudawan. Banyak yang mungkin mengira bahwa ketika lulus, maka kisah kehidupan akan menjelma serupa sinetron. Pekerjaan langsung tersedia, kekayaan langsung hinggap di tangan. Kenyataannya tidak selalu demikian.

Ia mengatakan, “Ketika kamu keluar dari kampus ini, kamu akan berhadapan dengan dunia yang sesungguhnya. Jangan berpikir bahwa mereka yang memiliki GPA (di Indonesia disebut IPK) tinggi yang akan sukses. Itu kebodohan yang diajarkan di perguruan tinggi. Mereka yang sukses adalah mereka yang mengikuti passion, sesuatu yang disenangi dan dikejar dengan sepenuh hati. Izinkan saya mengulanginya; passion, passion, and passion!”

Kalimat ini membuat saya tertegun. Dunia sosial kita cenderung hanya melihat aspek material sebagai tolok ukur kesuksesan. Seseorang dianggap hebat ketika bisa menjadi orang kaya atau terkenal. Demi menjadi kaya itu, seorang anak selalu diarahkan untuk menggapai bidang-bidang tertentu. Jika kita melihat statistik pendaftar di perguruan tinggi, bisa dipastikan pendaftar di fakultas teknik dan kedokteran menjadi yang terbanyak.



Sebenarnya tak masalah jika itu menjadi passion si calon mahasiswa? Namun bagaimana halnya jika passion-nya bukan itu? Bisa ditebak, si anak akan menjalani kuliah dengan penuh tekanan. Mungkin ia lulus dengan nilai baik, akan tetapi jiwanya tidak di situ. Jiwanya ada pada bidang lain, yang seringkali dirahasiakannya, hanya karena takut untuk mengungkapkannya.

Saya mengenal seorang mahasiswa kedokteran yang justru menemukan passion-nya pada fotografi. Kuliahnya sukses. Ia berhasil menjadi dokter. Dua tahun setelah menjadi dokter, ia meninggalkan semuanya. Ia kemudian memilih menjadi fotografer, yang meskipun penghasilannya pas-pasan, akan tetapi memberikan kebahagiaan baginya. “Dahulu, saya tertekan ketika harus belajar di kelas. Saya juga tertekan saat harus kerja di rumah sakit. Sekarang saya menemukan kebebasan. Saya bahagia dengan pekerjaan ini, meskipun hasilnya tak seberapa. Bisakah kita mengukur rasa bahagia dengan materi?” katanya.

Mereka yang melakukan sesuatu dengan penuh passion serupa anak kecil yang diajak ke toko mainan, kemudian diberikan kebebasan untuk memilih dan bermain dengan mainan apapun. Alangkah menyenangkannya jika passion itu adalah sebuah pekerjaan, sebab akan diperlakukan seperti hobi yang amat menyenangkan dan menantang.

Life is messy! Demikian kata penulis Korea itu. Hidup memang tidak seindah imajinasi kita. Dalam proses mendaki kehidupan, kita seringkali merasa lelah dan penat luar biasa. Kita sering merasa jenuh dan bosan mengikuti kehidupan yang menjadi rutinitas. “Ketika kamu merasa jenuh dan bosan, ikuti hal-hal yang membuatmu bahagia. Passion adalah satu-satunya hal yang akan membuatmu gembira! Follow your passion!”

kata Oprah tentang passion

Kini, tiga bulan setelah penulis itu berbisik, saya bertanya pada diri sendiri, apakah gerangan yang menjadi passion saya? Rasanya, hal-hal yang saya senangi adalah jalan-jalan, memotret (meskipun kemampuan masih amatir), berbagi pengalaman, serta menulis. Jika dikerucutkan, passion saya yang terbesar adalah menulis, khususnya artikel pendek untuk blog. Tapi, ada pertanyaan lain muncul, apakah dengan menulis saya bisa hidup dengan layak? Entah. Yang pasti, saya bahagia saat melakukannya. Saya menemukan passion saya.

Buat kamu yang sedang membaca tulisan ini, saya menitipkan pertanyaan serupa, apakah hal-hal yang menjadi passion anda? Apakah hal-hal yang ketika dikerjakan akan membuatmu bahagia?



5 komentar:

anugerah waty mengatakan...

Passion saya, sama dengan kak yusran menulis, memeotret, dan jalan-jalan.

Berharap suatu saat mempunyai buku, tulisan sendiri, insya Allah sedang mengupayakannya.

Saya sering bertentangan dengan orang tua, khususnya mama, katanya menulis itu tidak punya uang. Iya, kalau itu diukur dengan materi berupa uang itu. Bagi saya, menuliskan sesuatu dengan satu kalimat saja, itu sudah cukup. Seperti mengeluarkan 'benalu' dalam kepala.

Enteng rasanya kepala ini, jika mengeluarkannya lewat kata-kata. Semoga semangat ini tidak pernah padam. Aamiin...

Unknown mengatakan...

Artikel2nya penuh inspirasi dan motivasi kanda.. Gaya bahasa menurut sy ngalir.. JD ingat gaya menulis bang tere liye..#maaf bukan bermaksud menyamakan.. Tapi terlintas bgitu saja di pikiranku

Anonim mengatakan...

Passion saya menulis dan banyak hal lagi. Tapi, yang utama adalah menulis.

Rasa bahagia tercipta walau hanya sekedar menulis sebuah cerpen sederhana yang tak bagus-bagus amat. Namun, itulah passion... :D

Nyoman mengatakan...

sangat menginspirasi terutama untuk kaum muda untuk berani melakukan sesuatu sesuai dengan "passion-nya"

Mus Aceh mengatakan...

apa ya?

Posting Komentar