Jurnalisme Makna ala Pepih Nugraha


Pepih Nugraha (empat dari kanan) saat diskusi di Makassar

TAK banyak buku yang berkisah tentang inspirasi dan hikmah di balik sebuah naskah. Di jagad sastra, penulis Pamusuk Eneste pernah mengeditori buku berjudul Proses Kreatif yang mengisahkan perjalanan kreativitas para pengarang hingga konteks lahirnya sebuah karya sastra.

Di ranah jurnalistik, Pepih Nugraha, jurnalis senior Kompas, mengisahkan pengalamannya menuliskan beragam sosok yang menginspirasi di harian Kompas. Ia mencatat kesaksian, proses kreatif, gagasan, serta pelajaran berharga bagi siapapun agar bisa menulis tentang sosok manusia dengan lebih berwarna.

Pepih menuliskan itu pada buku Menulis Sosok secara Inspiratif, Menarik, Unik yang diterbitkan oleh Kompas, tahun 2013. Ia bercerita tentang gagasan-gagasan yang memenuhi benaknya serta tahap demi tahap ketika dirinya menulis satu sosok yang unik dan menginspirasi. Sebagai jurnalis, Pepih tak hendak terjebak pada konsep ketokohan seseorang untuk dihadirkan di media massa. Ia banyak menulis tentang orang-orang biasa yang memiliki kisah-kisah unik untuk dituliskan. Melalui kisah itu, Pepih menyelipkan berbagai cerita dan proses yang kemudian mempengaruhi proses penulisannya.

Saya sangat menikmati proses kreatif di balik kisah-kisah orang biasa yang ditulis dalam buku ini. Beberapa kisah yang dituliskan Pepih membuat saya termenung selama beberapa saat, khususnya kisah tentang tragedi manusia biasa. Pada kisah-kisah itu, saya menemukan kepedihan, serta kegetiran manusia yang menghadapinya. Saya juga menemukan kisah tentang dilema moral, serta situasi yang memaksa seseorang untuk membuat pilihan tertentu dalam kehidupannya.

Salah satu kisah yang membuat saya terhenyak adalah kisah Djamhari, seorang pegawai Perumka (sekarang PT KAI), yang dituduh bertanggungjawab atas Tragedi Bintaro, tragedi kecelakaan kereta yang menewaskan ratusan orang. Djamhari adalah petugas biasa yang dituduh lalai mengatur perjalanan kereta. Padahal, sebelum kejadian itu, ia sempat mengejar kereta dan mengibarkan bendera merah sebagai tanda bahaya.

Dalam banyak tragedi, petinggi negeri kita seringkali terjebak pada pemikiran yang selalu hendak mencari kambing hitam. Delapan tahun setelah tragedi itu, hidup Djamhari kian merana. Setelah mendekam di penjara selama 10 bulan, ia tak lagi menerima hak-haknya secara jelas. Pepih menuliskan bahwa Djamhari telah divonis dua kali, yakni ketika dikurung 10 bulan, dan saat ditelantarkan begitu saja.

Kisah lain yang membuat saya tersentak adalah seorang nelayan Aceh bernama Usman. Di tengah tsunami dashyat yang menerjang Aceh, ia tengah berada di laut dan menghadapi dilema; apakah menyelamatkan puluhan nelayan lain ataukah menyelamatkan keluarganya yang diterjang tsunami di daratan. Di tengah dilema itu, ia lalu memutuskan untuk menyelamatkan mereka yang sedang melawan maut di hadapannya. Ia bahagia karena menyelamatkan puluhan nyawa, namun sesaat kemudian dicekam kesedihan ketika mendapat informasi bahwa istri dan anak-anaknya raib dan tak kunjung ditemukan.

Kisah lain yang juga menarik buat saya adalah pribadi unik seperti ulama kharismatis KH Ali Yafie, kisah Ryaas Rasyid sang lurah yang kemudian jadi profesor, Sarwoto sang ilmuwan peluncur satelit, ataupun Endri Rachman yang pernah jadi teknisi IPTN dan kemudian karyanya hendak dijiplak ilmuwan Malaysia. Semua kisah-kisah itu sangat menarik dan menunjukkan bagaimana pengalaman seorang individu dalam berbagai situasi yang kemudian menempa mereka menjadi pribadi unggul.

Yang menjadi kekuatan buku ini adalah Pepih tidak berbicara tentang tahap-tahap dalam penulisan sosok, sebagaimana halnya buku-buku panduan dalam menulis jurnalistik atau biografi. Dalam beberapa buku tentang penulis sosok yang pernah saya baca, hal-hal yang didiskusikan adalah tentang bagaimana mengumpulkan informasi, kemudian menuliskannya. Buku-buku tersebut telah memosisikan menulis sebagai aktivitas yang mengikuti prosedur, tahapan, serta asas-asas tertentu.

Memang, prosedur itu penting adanya. Namun yang jauh lebih penting adalah gagasan serta kepekaan seseorang untuk melihat sesuatu tidak dengan mata lahir, namun melalui mata batin. Teknik dan prosedur kepenulisan bisa dilatih. Akan tetapi, kemampuan melihat dengan mata batin ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibentuk. Ini sama halnya dengan butir-butir berlian yang tidak muncul begitu saja di depan mata. Ia mesti digali dan diangkat ke permukaan hingga kemilaunya terlihat banyak orang.

Tugas seorang penulis adalah menemukan berlian kehidupan, kemudian membaginya kepada banyak orang sehingga kehidupan menjadi lebih bermakna.


Pada titik ini, Pepih bisa menghadirkan kisah-kisah yang didalamnya terdapat berlian inspirasi yang kemilaunya menyimpan banyak pelajaran. Beberapa tulisan sosok yang dihadirkan dalam buku ini bukan sekadar karya jurnalistik yang mewartakan sesuatu, melainkan karya jurnalistik yang hendak membingkai makna demi untuk mengayakan ladang kehidupan.

Beberapa pribadi seperti nelayan Usman, akademisi Prof Harun Al Rasyid, ataupun Matt Wullenbeg (pencipta Wordpress), bahkan pemulung sampah bernama Ajie, bukanlah tipe orang-orang yang membanggakan dirinya sebagai orang-orang hebat atau unik. Mereka tak pernah agresif untuk mengenalkan dirinya dan memilih untuk menanam kebaikan secara diam-diam, namun tindakan serta karyanya terus menjadi inspirasi.

Bahkan tokoh sekelas Sir Berners-Lee, sang pencipta internet, tidak memamerkan teknologi canggih ketika memberikan presentasi. Ia hanya menyiapkan bahan-bahan melalui sebuah kertas lusuh. Mungkin ia hendak menitip pesan bahwa kecanggihan sebuah pesan tidak terletak pada cara sesuatu dikemas, namun terletak pada substansi serta gagasan yang dikandungnya. Pribadi seperti Berners-Lee laksana pendekar sakti yang tak pernah bawa pedang ke mana-mana. Namun ketika pendekar itu harus berduel, ia cukup memetik ranting kecil demi menjadi pedang berbahaya.

Saya menyukai detail-detail yang dituturkan dalam buku ini. Sebagai seorang yang masih hijau di ranah kepenulisan, saya belajar banyak tentang bagaimana mengasah gagasan serta sudut pandang dalam kepenulisan. Saat membaca buku ini, saya serasa diajak bertualang ke dalam dunia pemikiran seorang jurnalis yang sedang membaca aksara kehidupan, lalu mengemasnya menjadi satu sajian menarik yang bergizi bagi para pembaca. Di ujung petualangan itu, saya tiba-tiba saja melihat kenyataan dengan lebih jernih.

Saya mengamini kalimat seorang bijak bahwa inspirasi itu ada di mana-mana. Kita hanya butuh menajamkan mata dan melihat hal-hal sederhana di sekitar kita. Kita hanya butuh sikap rendah hati untuk selalu membuka mata dan belajar pada orang lain. Buku ini mengajarkan saya bahwa pada diri setiap orang terdapat keunikan yang bisa menjadi inspirasi dan pelajaran bagi manusia lainnya. Tugas para jurnalis adalah membingkai makna demi untuk membuat banyak orang lebih jernih membaca aksara kehidupan.

Saya melihat buku ini tak sekadar panduan untuk menulis sosok secara inspiratif. Saya melihatnya lebih dari itu. Buku ini bisa menjadi masukan berharga bagi ranah ilmu sosial dan ilmu sejarah, khususnya tentang bagaimana merekam suara-suara berbeda, bagaimana memahami konteks sosial, serta dinamika yang dihadapi banyak manusia. Pelajaran paling berharga adalah bagaimana memahami kehidupan sebagai sesuatu yang mengalir dan kita semua berutang inspirasi pada sejumlah manusia-manusia hebat yang justru tak ingin dicatat sejarah.


Baubau, 28 Agustus 2013

0 komentar:

Posting Komentar