DI antara banyak buku-buku yang berisikan
catatan perjalanan, saya menyukai catatan yang dibuat oleh Ary Amhir. Jika
penulis catatan perjalanan lain menulis tentang tempat dalam perspektif seorang
pelancong atau turis yang datang melihat keindahan, Ary Amhir lebih dari itu.
Ia tak sekadar berkisah tentang apa yang
nampak, namun juga perjumpaannya dengan banyak manusia dengan segala getirnya
masing-masing, tragedi atau nestapa di sebuah tempat, serta menjelajah masa
silam demi memahami dinamika dan hubungan suatu tempat dan manusia di masa
kini. Ia tak hanya menulis dengan mata dan telinga. Ia juga menggunakan hati,
sesuatu yang nyaris hilang di catatan kebanyakan penulis perjalanan.
***
BEBERAPA tahun silam, saya sudah pernah
mendengar tentang buku 30 Hari Keliling Sumatra yang
ditulis blogger dan Kompasioner Ary Amhir. Sayangnya, saat itu saya belum
berkesempatan untuk membacanya. Dua hari lalu, saat singgah ke toko buku
Gramedia di Makassar, saya melihat buku itu. Ternyata, buku itu telah diterbitkan
ulang oleh satu penerbit besar.
Buku ini berisikan catatan perjalanan. Ary
memulai perjalanan di Pariaman ketika menghadiri perkawinan seorang sahabatnya.
Ia lalu mencatat tentang tradisi, posisi perempuan, serta bagaimana masyarakat
melihat tradisi. Setelah itu, ia kemudian berkelana dan mengunjungi banyak
tempat di Sumatra selama 30 hari.
Saya menyenangi gaya menulis Ary yang
mengalir serupa anak sungai. Ia punya kemampuan untuk menjalin kata dengan
memikat demi untuk menyampaikan banyak makna. Saya serasa membaca satu novel
dengan narasi maju namun pada beberapa bagian ada flashback untuk mengetahui suatu tempat dengan lebih mendalam.
Gaya menulis seperti ini mengingatkan saya
pada cara menulis catatan lapangan (fieldnote) sebagaimana diajarkan di
kelas-kelas etnografi. Seorang antropolog atau peneliti sosial amat akrab
dengan gaya menulis yang mengisahkan sesuatu dari perspektif orang pertama.
Mereka menulis segala sesuatu yang disaksikannya, segala yang didengarkan,
hingga semua yang dirasakan masyarakat. Cara menulis ini menuntut proses
keterlibatan atau kedekatan dengan satu masyarakat demi memudahkan proses interview
atau wawancara mendalam.
Bedanya dengan para peneliti, Ary tidak
menghabiskan waktu berlama-lama di satu tempat. Akan tetapi, a menyiasatinya
dengan melakukan wawancara, kemudian studi pustaka. Dugaan saya, ia terlebih
dahulu membaca pustaka sebelum ke satu tempat. Jika tidak, ia melakukan telaah
pustaka ketika kembali dari satu lokasi. Itu terlihat ketika ia menulis tentang
Mentawai. Ia membaca catatan sahabat saya antropolog Bambang Rudito. Entah,
apakah ia membaca pustaka sebelum atau sesudah dari lapangan.
Yang paling saya sukai adalah catatannya
tentang pengalaman orang-orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan. Berbeda
dengan para jurnalis, yang sering terjebak pada konsep magnitude yakni hanya orang besar yang diceritakan, Ary menulis tentang
pengalaman orang-orang biasa atau masyarakat awam yang tinggal di kota-kota
atau tempat bersejarah.
Ia menulis tentang kearifan seorang nenek
di lokasi gempa Padang, perbincangannya dengan seorang bapak di bus malam,
pemanggil roh di Toba, tukang becak di Medan, ataupun tentang anak-anak muda
yang hendak melestarikan kesenian tradisional Batak. Ia juga menulis tentang
seksinya lelaki Gayo di Takengon, perempuan penyapu jalan, para petani tembakau
Deli, atau orang-orang Aceh yang suka ke warung kopi.
Bagi saya, tulisan-tulisan itu menunjukkan
bahwa di semua tempat, selalu ada kisah-kisah universal tentang pergulatan
manusia dengan zaman. Meskipun tempat yang dikunjungi berbeda-beda, namun
sejatinya manusia selalu bergulat pada persoalan yang sama dan seringkali
berhadapan dengan kemajuan yang serupa buldoser atas sesuatu yang dianggap
terbelakang.
Apalagi, banyak dari manusia yang ditulis
Ary Amhir adalah mereka yang hendak dienyahkan oleh kemajuan. Yang menarik, Ary
memosisikan dirinya sebagai seorang pembelajar atas banyak hal. Ia bisa menarik
banyak pelajaran berharga pada manusia-manusia yang ditemuinya. Bahkan terhadap
lelaki di sebuah bus malam pun, ia bisa menyerap pengetahuan. Ia serupa seorang
intelektual yang humble dan down to earth mau berkubang dalam
realitas sosial demi menemukan lapis-lapis hikmah.
Atas dasar ini, saya menganggap catatan
ini penting untuk mengetahui dinamika dan bagaimana warga biasa menjalani hari.
Selama ini, kita hanya mengetahui identitas suatu tempat, tanpa mengetahui
cerita atau kenyataan di baliknya. Kita hanya tahu bahwa Medan adalah kota
besar, Berastagi kota wisata, atau Aceh sebagai wilayah yang menerapkan syarat
Islam. Namun, kita tak banyak tahu tentang bagaimana manusia-manusia di tempat
itu menjalani hari yang terus berubah. Kita sering alpa bahwa di balik satu
kemajuan, seringkali ada tragedi yang getir.
Nampaknya, Ary sering mengambil posisi
kritis. Ketika melihat tradisi pernikahan, ia lalu mempertanyakan secara kritis
tentang adat seperti uang jemputan dan adat membeli lelaki. Ketika melihat
bangunan megah atau istana, ia lalu menelusuri sejarah masa silam demi memahami
kejayaan yang hilang di masa kini.
Demikian pula ketika melihat tembakau, ia
menjelaskan tentang kejayaan tembakau Deli di masa silam lalu membandingkannya
dengan masa kini yang miris. Saat tiba di Aceh, ia lalu mempertanyakan tentang
penerapan syariat Islam yang disebutnya hanya fokus pada perempuan, tanpa
menukik pada isu-isu substansial seperti korupsi, kolusi, atau nepotisme.
Mengapa ia mengambil posisi kritis? Bagi
saya, ini menunjukkan pemihakannya pada nilai kemanusiaan. Ini mengingatkan
saya pada tuturan Bill Kovach bahwa seorang penulis memang tidak sekadar
mereportase suatu keadaan. Ia harus berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan yang
kemudian menjadi napas dari setiap tulisan-tulisannya. Ia bisa merasakan nurani
publik dan menjadikan setiap tulisannya sebagai cermin untuk membaca kenyataan.
Pada titik ini, Ary telah menemukan posisi berpijaknya di ranah kemanusiaan.
Beberapa Masukan
Saya mencatat beberapa masukan untuk
penyempurnaan buku. Pertama, ada baiknya setiap artikel dilengkapi tanggal
penulisan. Sebagai pembaca, saya ingin mengetahui tanggal penulisan artikel
demi memahami konteks dari setiap artikel. Jika suatu saat saya berkunjung ke
tempat itu, saya juga bisa membandingkannya dengan apa yang ditulis dalam buku
ini, aakah ada sesuatu yang berubah ataukah tidak.
Kedua, bagi pembaca yang belum pernah
berkunjung ke Sumatra, saya berharap ada peta yang menunjukkan secara detail
letak setiap tempat. Memang, di bagian awal ada peta Sumatra, namun peta itu
tidak memadai untuk menjelaskan setiap tempat-tempat dan lokasi. Ketiga, saya
lebih suka dengan sampul buku yang diterbitkan secara indi. Sampul sekarang
kurang menggambarkan isi buku yakni catatan tentang manusia, kebudayaan, dan
dinamika satu kawasan. Namun, semuanya kembali berpulang pada tafsir pihak
penerbit yang boleh jadi berbeda dengan saya sebagai pembaca.
***
Pada akhirnya, buku ini adalah catatan
perjalanan yang tujuannya bukan sekadar melihat tempat-tempat baru. Catatan ini
bertujuan untuk memperkaya aspek batin sang pengarang. Saya teringat jawaban
seorang pendaki gunung ketika saya tanya apa tujuannya mendaki puncak-puncak
yang tinggi. Katanya, ia tidak bermaksud melihat tempat indah. Ia bermaksud
menemukan dirinya sendiri. Sebab pendakian itu mengajarkannya untuk menemukan
diri, memahami sisi lain dirinya, serta menemukan ruang di mana dirinya bisa
merenungi tentang hidup dan kehidupan.
Selama 30 hari Ary berkelana, apa gerangan
yang dicarinya? Saya rasa ia telah menebalkan rasa cinta pada kemanusiaan pada
setiap tulisannya. Ia menjadi lebih peka serta lebih kritis dalam melihat
apapun. Setidaknya, itu yang saya rasakan usai membaca buku ini.(*)
Bone, Sulsel, 6 Agustus 2013
0 komentar:
Posting Komentar