BALI adalah gudangnya kreativitas. Setiap
kali ke Bali, saya senantiasa mengagumi aliran daya kreasi serta kemampuan
warga Bali untuk mengolah kebudayaan sebagai industri kreatif. Di Bali,
kreativitas bisa jadi mesin uang bagi para seniman. Saya melihat itu pada
lukisan, hiasan dinding, mainan, serta desain kaos-kaos. Mengapa daya kreasi
itu berdenyut teratur di Bali? Mengapa bukan pulau lain?
Kita bisa menelaahnya dari banyak aspek.
Namun, saya melihat tumbuhnya kreativitas di Bali sebagai hasil dari proses
sejarah yang panjang. Sejak masa kolonial, Bali adalah pulau yang sudah
didatangi para turis. Dalam buku yang ditulis Robert Cribb, saya melihat foto
iklan pariwisata di Bali yang terbit di negeri Belanda pada akhir tahun
1800-an.
Sejak masa kolonial, banyak oang telah
berdatangan ke pulau ini lalu mempromosikannya. Bahkan beberapa antropolog
hebat juga menjadikan pulau ini sebagai lokasi riset. Proses panjang perjumpaan
dengan berbagai budaya itu telah mengasah daya kreasi serta semangat orang Bali
untuk menjaga budaya, sekaligus melestarikannya dalam tradisi.
Hari ini, saya kembali mengunjungi Bali.
Dan sebagaimana biasa, saya kembali terkagum-kagum dengan daya dan kreasi seni
itu. Saya juga bertemu seorang teman asal Bali. Ia membisikkan sesuatu yang
membuat saya terhenyak. Bahwa di balik kreasi itu terdapat bom waktu yang
setiap saat meledak.
Para turis itu tak hanya pengagum
sekaligus berpotensi sebagai perusak Bali. Banyak warga lokal yang
terpinggiirkan dan hanya menjadi penonton pada industri pariwisata di sana.
Banyak warga lokal yang hanya bisa gigit jari dan menunggu-nunggu kapan saat
tepat untuk membakar semua modernitas di tanah itu. What?
Denpasar, Juni 2013
Saat menunggu penerbangan Garuda
0 komentar:
Posting Komentar