Mendobrak Mitos dalam Sejarah Buton


Benteng Keraton Buton

SEMALAM saya diundang pihak Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi) Kota Baubau untuk diskusi tentang pengalaman mencari beasiswa luar negeri. Diskusinya cukup menarik, sebab para mahasiswa itu sangatlah antusias. Seusai diskusi tentang beasiswa, mereka yang hadir lalu mengajak diskusi tentang sejarah Buton.

Para mahasiswa itu bertanya banyak hal tentang sejarah. Saya meladeni mereka berdasarkan pengetahuan saya pada bacaan teks-teks sejarah sebagaimana pernah dibentangkan oleh para peneliti sejarah. Pada setiap diskusi, saya menilai bahwa tidak semua orang mau berpayah-payah membaca teks-teks sebagaimana dibentangkan para peneliti. Makanya, pengetahuan tentang sejarah Buton hanya dimiliki sejumlah orang, sementara kebanyakan orang justru terjebak pada mitos.

Sebenarnya, mitos penting bagi sejarah. Mitos menjadi peta awal untuk menjelaskan banyak hal. Di Buton, mitos seringkali dianggap sebagai sejarah. Mereka yang mempercayai mitos seringkali kelabakan ketika diajak diskusi tentang berbagai literatur yang membahas satu mitos, serta melihat mitos itu dari banyak sisi. Pada titik ini, saya akan mengamini kalimat pendiri sejarah Lord Acton bahwa metodologi amatlah penting agar sejarah tidak terjebak pada subyektivitas mereka yang hendak menuturkannya.

Saya mencatat beberapa masalah yang mendera masyarakat Buton saat membahas sejarah. Di antaranya adalah logika yang selalu melingkar. Dalam banyak kesempatan diskusi tentang sejarah Buton, saya melihat bahwa banyak orang selalu terjebak pada logika yang sama. Banyak orang yang kemudian tidak bisa keluar dari satu informasi. Maksud saya, setiap informasi mesti ditelaah, dianalisis, lalu dibuat penilaian tentang kebenaran informasi tersebut.

Ini adalah proses ilmiah yang seyogyanya dijalani. Di Buton, orang-orang hanya berhenti pada satu pernyataan, tanpa menelusurinya lebih jauh. Idealnya, setiap informasi harus selalu dikonfirmasi, dicarikan bukti-bukti sejarah yang kuat, demi membuat judgement atau penilaian. Dikarenakan

Saya beri contoh. Dalam banyak diskusi, saya selalu mendengar cerita tentang Soekarno yang berasal dari Buton. Sebenarnya, tak masalah dengan informasi apapun. Hanya saja, ketika didesak tentang aspek pembuktian atas informasi tersebut, mereka yang meyakini bahwa Sekarno dari Buton itu tak akan bisa menyodorkan satu keping bukti.

Padahal, pembuktiannya mudah saja. Silakan telusuri dokumen tentang Soekarno, baik yang berasal dari pernyataannnya sendiri, maupun sebagaimana yang ditulis oleh peneliti. Dalam dunia riset sejarah, dokumen memegang peranan sentral sebab menjadi sumber tertulis yang mengkonfirmasikan kebenaran informasi tentang sejarah. Jika tak ada dokumen atas informasi itu, pertanyaannya, kenapa masih meyakini hal yang sama?

Hal yang sama bisa kita terapkan pada isu tentang Ratu Belanda, Wilhelmina, yang katanya berasal dari Buton, serta isu tentang Gajah Mada yang berasal dari Wanci. Ketika ditanya tentang sumber informasinya, rata-rata tidak bisa memberikan data yang kuat. Banyak yang hanya berkata bahwa itu berdasarkan telaah spiritual atau perjumpaan dengan roh. Nah, ini mulai masuk dalam ranah subyektif yang tertutup. Padahal, pengetahuan harus selalu terbuka dan bisa dikritisi dari berbagai sisi.

Pengetahuan dimulai dari satu realitas, baik itu subyektif dan obyektif, yang kemudian mesti danalisis secara terus-menerus demi mengetahui sejauh mana akurasi dari informasi tersebut.

Di akhir diskusi, saya selalu menekankan perlunya untuk belajar metodologi sejarah. Metodologi amatlah penting untuk bisa mengurai mana hal yang faktual, dan mana hal yang fiksional. Memang, metode punya banyak varian, serta bisa menggiring kita pada kesalahan, akan tetapi, metodologi menjaga agar seseorang tetap dalam koridor yang obyektif dan hati-hati dalam membahas sejarah. Melalui metode yang benar, seseorang akan bisa meminimimalisir bias subyektif, demi untuk melahirkan analisis yang lebih jernih dan kuat kebenarannya.

Selain itu, generasi muda Buton untuk menelaah Buton tidak hanya dari tula-tula atau cerita dari masa silam. Mereka harus berani untuk mengurai sejarah dari banyak aspek, termasuk dari literatur yang bersumber di tempat-tempat lain. Mereka yang muda mesti berani melihat Buton dari literatur Bugis, Makassar, ataupun Gowa. Kalau perlu harus berani melihatnya dari naskah-naskah Belanda. Dengan cara melihat dari banyak sisi, maka sejarah itu bisa menjadi lebih obyektif, dan tidak terjebak pada mitos.

Ini hanya telaah awal dari saya yang ditulis sebagai respon usai diskusi sejarah dnegan banyak orang. Mudah-mudahan saya bisa mengurai hal lain pada kesempatan lainnya.(*)


Baubau, 30 Juni 2013


0 komentar:

Posting Komentar