rombongan Komunitas Historia Indonesia (KHI) saat jelajah Chinatown Journey |
SORE itu, di tepi kawasan Kota Tua Jakarta, seorang
perempuan sedang memandang lurus
beberapa bangunan tua yang mulai lapuk. Ia menyayangkan bangunan-bangunan tua
yang rusak dan hanya menjadi
saksi bisu dari zaman yang kian berganti. Di Jakarta, waktu berlalu dengan amat
bergegas. Masa kini menenggelamkan masa silam hingga nyaris tak berjejak.
Setidaknya, kawasan kota tua bisa
menjadi oase yang menjaga kenangan dari modernitas yang terus-menerus
memorak-porandakan wajah kota. Bangunan-bangunan tua di sebelah utara Jakarta
meruapkan bau pekat kolonialisme. Saya membayangkan saat-saat ketika berbagai
kapal dagang bangsa Eropa yang berduyun-duyun datang demi untuk menancapkan
kuku di bumi Nusantara.
Melihat kawasan itu, saya tiba-tiba
saja mengenang lelaki bernama Van Linschoten yang menulis risalah tentang peta negeri-negeri
di belahan angin timur pada akhir abad ke-16. Berkat peta yang dibuatnya,
berbondong-bondonglah para penjelajah Eropa demi menghirup wangi rempah-rempah.
Di antara mereka adalah si ceking Jan Pieterzoon Coen. Lelaki kelahiran Hoorn,
Belanda itu, adalah seorang lelaki pengecut yang wajahnya menjadi horor setelah
membantai ratusan penduduk Banda. Di Batavia, Coen bertahta dan mendiami gedung
yang kini mulai lapuk di makan usia.
Lewat kisah Coen terselip begitu
banyak hikmah. Kisah ini sejatinya memberikan pelajaran berharga bahwa zaman
boleh berganti, namun gerak manusia selalu saja memiliki kesamaan. Melalui
kisah-kisah itu, kita bisa membaca zaman, melihat koordinat berpijak kita,
sekaligus membaca keakanan. Namun, adakah yang masih mengingat sejarah panjang
itu di masa kini? Entahlah.
Beruntunglah Jakarta di masa kini
punya sosok seperti Asep Kambali. Ia bukan saja membangkitkan kesadaran kelas
menengah Jakarta bahwa masa silam selalu aktual dan menyimpan butiran-butiran
pengalaman berharga, tetapi ia juga membumikan sejarah melalui sejumlah metode
yang unik, kreatif, dan merangsang hasrat petualangan.
Asep Kambali saat memandu tur |
Asep bukanlah tipe seorang
peneliti sejarah yang berusaha memecahkan satu teka-teki tentang masa silam,
lalu membaca masa kini. Ia adalah seorang peminat sejarah yang mendirikan
Komunitas Historia Indonesia (KHI), kemudian mengajak warga Jakarta untuk
mencintai sejarah dengan cara-cara sederhana. Bagi Asep, sejarah bukanlah
sesuatu yang berdebu sebagaimana nasib arsip-arsip di museum sejarah Jakarta.
Ia mengubah sejarah menjadi gadis molek dengan parfum mewangi dengan tatap
genit ala remaja yang baru saja mengenal konsep pacaran.
Melalui KHI, ia merancang tur
yang mengasyikkan. Ia mengajak orang untuk menelusuri sejarah sebagaimana detektif yang memecahkan
teka-teki. Di ujung teka-teki itu terdapat hadiah besar yakni pengetahuan
tentang masa silam yang selalu membayang-bayangi masa kini. Ketika mengikuti
turnya, saya belajar satu hal: hanya mereka yang belajar dari masa silam-lah
yang bisa menguasai masa kini.
Beberapa waktu lalu, saya ikut
dalam perjalanan untuk menelusuri jejak Tionghoa di kota Jakarta. Dalam tur bertajuk
Chinatown Journey ini, saya bergabung dengan ratusan warga berbaju merah yang
hendak menelusuri sejarah kaum Tionghoa. Yang menarik, banyak dari peserta tur
adalah warga Tionghoa yang nampaknya disengat rasa penasaran untuk mengetahui
masa silam.
Pada saat itulah saya berpikir
bahwa sesungguhnya, tema-tema sejarah selalu menarik bagi sebagin orang.
Tantangan terbesar adalah bagaimana mengemas tema yang agak rumit itu ke dalam
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami siapa saja. Nampaknya, KHI sukses membumikan sekaligus mengemas sejarah
menjadi interaktif, menantang, serta penuh teka-teki.
Dengan semangat meluap-luap ala
Robert Langdon dan Sophie Neveu, tokoh dalam novel Da Vinci Code, kami bergerak menelusuri sejumlah situs seperti
Pasar Asemka, Pasar Patekoan, rumah keluarga Shouw, SMA 19 Cap Kau, Jalan Toko
Tiga, Kelenteng Toa Sai Bio, Kelenteng Jin De Juan, dan Pasar Pancoran. Rute
itu ditempuh selama empat jam, dan pada setiap situs, Asep akan menjelaskan
sejarah, hal-hal menarik, serta misteri-misteri.
peserta tur |
Saat singgah di SMA 19 Cap Kau di
tepi Jalan Perniagaan, saya terdiam lama saat mendengar uraian Asep. Dahulu,
bangunan itu adalah markas Tiong Hoa Hwe Koan, perhimpunan Tionghoa modern
pertama yang didirikan pada 17 Maret 1900. Pendiri organisasi itu adalah Lie
Kim Hok dan Phoa Keng Hek.
Barangkali, di sinilah
benih-benih nasionalisme Indonesia bersemi. Tak jauh dari situ, saya diajaknya mengunjungi
rumah keluarga Souw. Salah satu anggota keluarga itu, Souw Siauw Tjong dikenal
sebagai warga Batavia yang kaya-raya dan berjiwa sosial. Ia mendirikan sekolah
untuk anak-anak bumiputera di tanah miliknya, serta sering membantu orang
miskin.
Tur ini berakhir di satu
klenteng. Maka berpisahlah saya dengan Asep Kambali, yang di sepanjang jalan
telah membantu orang-orang untuk merunut ulang sejarah Tionghoa di Batavia.
***
SEKIAN tahun setelah mengikuti
tur tersebut, saya tiba-tiba saja berkeinginan untuk menemui Asep. Sayang
sekali, lelaki kelahiran Cianjur pada tahun 1980 itu tidak sedang berada di
kota tua. Tapi setidaknya saya bisa belajar banyak melalui beberapa kawan di
situ. Selama beberapa tahun saya meninggalkan Jakarta, paket wisata sejarah
yang digarap KHI kian komplit serta tetap berada dalam satu benang merah yakni
Jakarta Heritage Trails.
Selain Chinatown Journey, ada
pula paket Wisata Kota Tua, Jejak Arab di Batavia, Marunda Jejak si Pitung,
Independency Day Trip, Tour de Busway, Historical Island Adventure, dan Night
at The Museum. Di luar itu, tersedia paket khusus yang disesuaikan dengan
keinginan klien, biasanya kelompok atau perusahaan.
kota tua Jakarta |
Meskipun tak bertemu Asep, saya
masih bisa belajar banyak hal pada beberapa sahabat yang tetap setia untuk
merawat sejarah Jakarta. Saya membayangkan bahwa kelak saya bisa mengajak
beberapa sahabat untuk sama-sama membentuk satu komunitas pengkaji sejarah di
kawasan timur. Yup. Tanpa hendak menafikan wilayah lain, kawasan timur Indonesia
adalah wilayah paling eksotik, dipenuhi bau harum cengkeh dan pala, pemantik
kedatangan bangsa Eropa, serta kaya akan sejarah, khususnya perang di laut yang
memperhadapkan pihak kerajaan lokal, kompeni Belanda, dan para bajak laut yang
menguasai lautan.
Saya membayangkan diri saya
sedang mengisahkan betapa dahsyatnya perang Makassar pada tahun 1669 sembari
mengunjungi beberapa situs sejarah. Ingin rasanya menceritakan tentang sebuah
perang, yang dicatat oleh sejarawan Anthony Reid, sebagai perang terdahsyat
yang pernah dialami VOC di Nusantara. Perang Makassar bukan saja perang yang
mempertaruhkan harga diri dan kehormatan, namun juga menunjukkan tingkat
penguasaan bangsa Makassar atas sains dan teknologi, pada level yang tidak
digapai oleh bangsa manapun di Nusantara pada masa itu.
Semoga saja ide ini tak sekadar menggantang asap atau mengukir langit. Boleh jadi komunitas ini tak berbasis di Makassar, namun berbasis pada wilayah lain di kawasan timur. Saya masih memikirkan betapa menantangnya membangun koordinasi yang lintas kepulauan dan lintas suku bangsa. Akan tetapi saya menjadi sangat optimis saat menyadari betapa nikmatnya bekerja dengan pencinta sejarah sebagaimana Asep Kambali dan mereka yang mencintai masa silam demi untuk melihat cikal-bakal kejadian di masa kini.
Bagaimanapun juga, para perawat
sejarah adalah para pembeku waktu yang sesekali betualang ke masa silam demi
mengukuhkan jati diri kita sebagai bangsa. Mereka yang merawat sejarah adalah
mereka yang bekerja untuk menyapukan kuas kemanusiaan pada peradaban hari ini.
Mereka adalah para humanis yang mengambil semangat masa silam demi memperkaya
kemanusiaan kita hari ini.
Jakarta, Mei 2013
1 komentar:
Tulisannya keren.
Suka sama gaya bahasanya
Posting Komentar