jalan-jalan yang biasanya ramai, tiba-tiba sepi |
JALAN-jalan
ini biasanya ramai. Di sini selalu ada mobil-mobil berlalu-lalang dengan deru
yang riuh. Di sini selalu saja ada mahasiswa yang beramai-ramai dan bergerombol
demi berpindah dari satu gedung ke gedung yang lain. Tapi hari ini, semuanya
kosomg-melompong. Tak ada satupun yang lalu lalang. Tak ada keriuhan. Sepi.
Warga
Amerika Serikat (AS) sedang merayakan thanksgiving. Inilah satu-satunya
kegiatan yang membuat mereka mudik demi makan kalkun bersama seluruh keluarga.
Dampaknya sangat terasa di kota kecil seperti Athens, yang jantungnya adalah
aktivitas perkuliahan. Ribuan mahasiswa yang pulang kampung itu menyisakan sepi
yang menari-nari di siang hari. Tak ada aktivitas. Tak ada bunyi.
Kali
ini aku memilih tak ke mana-mana. Setahun silam, aku berkunjung ke desa kecil
di dekat Cincinnati. Di sana aku mengunjungi sebuah ranch atau peternakan kuda
yang amat besar. Tahun ini aku memilih tak ke mana-mana. Aku menikmati suasana
kota yang sepi dan mengalirkan sungai-sungai refleksi dalam diriku.
Apakah
gerangan makna sepi? Entah. Aku seolah terlontar ke dalam kisah The Sleeping Beauty. Ketika seorang
pangeran memasuki kota yang semua penduduknya tertidur. Kota itu berbalut sepi.
Jalan-jalan lebar serta rumah-rumah besar, namun tak ada orang di situ. Ia lalu
mencari-cari di manakah denyut nadi rasa sepi itu hingga menuntunnya ke menara
tempat sang putri tertidur.
Tentu
saja, aku bukanlah pangeran itu. Aku hanyalah seorang biasa dari negeri jauh
yang terdampar di kota serba asing ini. Aku hanya bisa mengabadikan sepi ini
satu demi satu. Kucatat satu kalimat dalam buku diary bahwa sepi adalah spasi
yang menyediakan ruang untuk interpretasi. Sepi adalah kondisi ketika manusia
berada dalam kondisi tak berbunyi, kondisi reflektif yang dicapai ketika udara
dan semesta sesaat tak mengalir. Sepi adalah kesunyian di luar sana yang
kemudian meniupkan tanda tanya dalam batinmu.
Tiba-tiba saja aku terkenang puisi Chairil Anwar berjudul Hampa.
Tiba-tiba saja aku terkenang puisi Chairil Anwar berjudul Hampa.
Sepi di luar.Sepi menekan mendesak.Lurus kaku pohonan. Tak bergerakSampai ke puncak.Sepi memagut,Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
Sebagaimana
Chairil, di tengah sunyi ini, kita tiba-tiba saja mempertanyakan banyak hal. Tanda tanya itu lalu memenuhi benak ini, berseliweran, dan menikam-nikam diri dengan jumawanya. Aku tiba-tiba dikejutkan dengan stau tanya, selepas halte ini, hendak ke manakah
diriku?
Athens, 23 November
2012
0 komentar:
Posting Komentar