PADA
awalnya, diriku yang sakit demam. Tapi aku menganggapnya angin lalu. Namun
ketika anakku Ara yang sakit, dunia ini tiba-tiba berubah. Berbagai rasa
bercampur aduk di kepalaku. Mulai dari panik, bingung, gelisah, serta sedih
melihat tubuh kecil itu harus demam dan sering menangis. Akan tetapi, ini
menjadi momen emas bagiku untuk belajar menjadi seorang ayah.
Kemarin,
Ara terserang demam. Suhu tubuhnya terus meninggi. Ia seolah kehilangan
keceriaan. Biasanya, hari-harinya adalah tertawa dan bermain. Kemarin, ia lebih
banyak diam. Ia juga jadi mudah sensitif. Ia mudah menangis. Bahkan ketika
ibunya hendak ke toilet, ia akan menangis tersedu-sedu, hinggaakhirnya aku
menggendong dan berusaha menenangkannya.
Benar
kata banyak orang, ketika dirimu punya anak, maka kamu tidak akan memikirkan
dirimu lagi. Kamu akan jauh lebih peduli pada dirinya. Aku tak peduli dengan
kondisiku yang juga tengah drop. Aku tak peduli dengan diriku yang melemah. Aku
hanya memikirkan Ara. Aku lebih sedih ketika melihatnya kehilangan keceriaan,
sesuatu yang selama dua bulan ini ikut mewarnai hari-hariku.
Selama
seharian aku tak ke mana-mana. Bersama ibunya, aku berusaha untuk menghiburnya.
Sakit demam tak mudah bagi bayi. Jika diriku yang terkena, biasanya aku hanya
membutuhkan tidur selama beberapa jam, setelah itu akan kembali sehat dan kuat.
Aku hanya butuh istirahat. Namun, sakit ini jelas tak mudah bagi bayi. Ia akan
gelisah dan sering menangis. Andai saja aku bisa mengambil deritanya, sudah lama
kulakukan. Seberat apapun sakitnya, aku ikhlas untuk memanggulnya, demi untuk
senyum ceria serta raut bahagia yang terpancar di wajahnya.
Semalam,
sakit itu tak kunjung sembuh. Untungnya, aku punya banyak sahabat serta saudara
di Athens yang bersedia untuk ditelepon di tengah malam buta. Mereka adalah
saudara-saudara yang hadir di saat aku membutuhkan seseorang untuk mengatasi pedih yang
dirasakan Ara.
Tengah
malam, kami menuju O’bleness Memorial Hospital. Dokter lalu memeriksanya,
kemudian menjelaskan sakit yang dideritanya. Syukurlah, ia tak harus nginap di
rumah sakit. Jika itu terjadi, tak kubayangkan berapa biaya yang mesti
dikeluarkan untuk meng-cover-nya. Untuk perawatan dan obat itu, aku masih harus
selalu berhubungan dengan pihak asuransi kesehatan.
Sepulang
dari rumah sakit, aku lalu merenung sambil melihat Ara yang masih sesunggukan jelang tidur.
Bagiku, menjadi seorang ayah tidak semudah membalik telapak tangan. Menjadi
seorang ayah adalah mengikhlasan dirimu untuk melakukan segala yang terbaik
demi kembang senyum dan ceria anakmu. Menjadi ayah tidak sesimpel ikrar yang
kamu ucapkan ketika ijab kabul. Namun di situ ada tanggungjawab, keikhlasan,
serta keberanian untuk meleburkan dirimu demi kebahagiaan istri dan anakmu.
Sungguh amat tepat kata Rasul bahwa “siapkan dirimu selama dua puluh lima tahun
sebelum anakmu lahir.”
Di
saat mencatat ini, tiba-tiba saja terlintas berlian kasih dan cinta kedua
orangtuaku di belahan bumi sana. Sewaktu kecil, aku seorang anak yang
sakit-sakitan. Mereka telah mendedikasikan dirinya demi membesarkan diriku, merawatku ketika sakit, mengatasi segala tangis dan sedihku. Diriku yang biasa ini mesti banyak menyerap semua hikmah dan
kebijaksaan mereka ketika menghantarkan diriku mulai dari buaian, hingga saat
diriku mengantar anakku sendiri di tanah Amerika. Orangtuaku adalah
manusia-manusia terbaik. Mereka adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk
menerbangkan diriku ke mega-mega pengharapan.
Di
sini, aku sedang belajar untuk menjadi mereka. Belajar untuk menjadi malaikat. Setidaknya menjadi malaikat untuk Ara.
Athens, Ohio, 1
Desember 2012
“Nak, sakit itu adalah
isyarat untuk tumbuh.
Tanpa sakit, kamu tak
akan pernah kuat”
6 komentar:
semoga ara cepat sehat kak, kembali ceria, bermain, dan "menghidupkan" rumah.
salam untuk ara dn dwi :)
salam kenal buat kak yusran jg ara, moga cepat sembuh..
Araaaa, cepat sembuh :')
makasih bro..
salam kenal juga
makasih widya...
Posting Komentar