Berjuang Melawan Lupa di Amerika

peringatan tragedi 9/11 di kampus OU

-->
DI dekat Templeton Memorial, kampus Ohio University, anak-anak muda itu tengah memasang bendera-bendera kecil. Lapangan rumput itu penuh dengan bendera Amerika Serikat, bendera yang berkibar di banyak peperangan, dan kembali dengan penuh kejayaan. Saat aku mendekat dan bertanya, seorang anak muda berambut keemasan itu mengatakan kalau mereka sedang mengenang peristiwa rubuhnya menara kembar. “Kami tak ingin lupa pada satu kepingan sejarah,” katanya dengan penuh semangat.

Bangsa Amerika sedang memperingati peristiwa runtuhnya menara WTC. Media setempat menyebut peringatan itu sebagai upaya untuk melawan lupa. Mereka tak ingin lupa. Mereka ingin selalu mengingat satu masa kelam ketika sekitar 3.000 nyawa terbang ke udara, saat sebuah pesawat menghantam dua gedung kembar.

Di kota New York, peringatan itu ditandai dengan ziarah ke lokasi tempat menara kembar. Di situ taka da bangunan. Hanya ada satu bekas bangunan ketika bumi membentuk kotak persegi, seolah ada bangunan yang amblas. Air mancur memenuhi segi empat itu dan masuk ke lubang persegi di tengahnya. Seolah ada pesan; di sini pernah ada gedung yang kemudian ditelan bumi dan menjelma sebagai air yang membawa kehidupan.

bendera-bendera
proyek melawan lupa

-->
Anak muda di kampus Ohio University itu tak ingin jauh-jauh ke New York. Mereka mengingat peristiwa itu dengan caranya sendiri. Mereka menanam beberapa bendera, lalu menyalakan lilin di malam hari. Mereka membisikkan doa agar jiwa-jiwa yang tewas di hari itu bisa diterima dengan senyum mengembang. Mereka membaca refleksi di tengah gelap dan cahaya redup satu-satu.

Sejarah seringkali tak ingin mencatat kemenangan. Berbagai kemenangan dan kejayaan tempur Amerika tak banyak tercatat di ingatan kolektif bangsanya sendiri. Sementara sebuah kisah kelam, terus-menerus diingat. Bangsa Amerika tak ingin melupakan. Sebab peristiwa itu dianggap sebagai satu alarm yang mengingatkan semua orang untuk terus waspada dan menjagai agar tak ada kemungkinan serupa di masa mendatang. Peristiwa itu cukup sekali saja.

Namun, apakah ingatan memang harus dipertahankan terus? Sampai kapankah mereka akan mengenang? Bisakah mereka juga mengingat bahwa akibat peristiwa itu, kenderaan tempur berangkat ke Taliban, lalu membunuh ribuan orang dalam berbagai operasi yang kemudian dirahasiakan oleh sejarah? Bisakah mereka juga mengingat betapa menderitanya menjadi imigran yang masuk negeri itu, dicurigai sebagai bagian dari kelompok sesat, diawasi di bandara, lalu dipersempit ruang gerak.

Kita memang sedang menyaksikan satu patahan sejarah ketika agama dituding sebagai sebab. Sering aku tak habis pikir. Mengapa tindakan seorang sesat tiba-tiba harus ditimpakan pada banyak orang yang sedang berusaha untuk meniti di jalan yang lurus. Di negeri itu, aku kerap melihat bagaimana diskriminasi serta stereotype ditimpakan pada satu kelompok. Lewat itu, kebenaran seakan diteguhkan.

Namun, benarkah Islam dituding sebagai penyebabnya? Tak semua berpikir demikian. Tepat tanggal 11 September, para pemeluk agama Kristen, Islam, dan Yahudi, bersama-sama melakukan long march di kota Athens, Ohio. Mereka bersama-sama hendak menyatakan ada dunia bahwa sebab tewasnya ribuan orang itu bukanlah karena agama. Terorisme yang jadi sebab. Terorisme yang bisa muncul di mana saja, tak peduli apapun agamanya.

Peace Walk di kota Athens, Ohio
Dwi dan Ara juga ikut peace walk

-->
Bersama keluarga kecilku, aku bergabung dalam aksi itu. Lewat jalan damai itu (mereka menyebutnya peace walk), aku ingin menyatakan bahwa pada dasarnya semua agama datang membawa spirit kemanusiaan. Agama hanyalah sebuah petunjuk, dan semuanya akan dimaknai oleh manusianya. Ketika manusia dikuasai sifat-sifat yang dibenci agama, maka ia akan menjelma menjadi neraka bagi manusia lain. Mungkin filsuf Thomas Hobbes benar saat menyatakan bahwa manusia bisa saling memangsa.

Bagiku, agama ibarat setetes embun. Agama hadir untuk membekukan keindahan di pagi hari, tatkala matahari mulai bersinar, dan bunga-bunga mulai bermekaran. Setetes embun di dedaunan itu tak hanya menghadirkan keindahan, ia juga memadamkan rasa haus manusia yang merindukan satu titik terang dalam kehidupan. Tanpa embun itu, kehidupan serasa hampa.

renungan dengan cahaya lilin
saat berefleksi

-->
Bagiku, agama adalah setetes air. Ia bisa mengatasi dahaga atas perjalanan yang demikian jauh demi menelusuri gurun raya permenungan dan perjalanan manusia. Lewat setetes air itu, manusia akhirnya menyadari bahwa hidup tidak melulu soal menjawab tantangan dengan rasio dan nalar ilmiah. Hidup juga berisikan teka-teki besar yang bisa disempurnakan oleh iman dan keyakinan. Tentu saja, nalar dan iman ibarat dua kepak sayap yang akan menerbangkan seseorang menuju ke puncak-puncak pengetahuan dan kearifan.

Lewat aksi jalan damai itu, aku belajar bahwa agama hanyalah sebuah jalan. Dan momentum untuk mengenang tragedi WTC bisa menjadi momentum untuk menyatakan sebuah proklamasi bahwa yang membedakan manusia hanyalah ras dan suku bangsa. Di luar itu, manusia adalah sama-sama berdiam di tubuh yang fana, sama-sama memiliki darah merah.(*)



Athens, 11 September 2012

0 komentar:

Posting Komentar