saat memilih mainan di Walmart |
SETAHUN
lebih aku menyandang status sebagai seorang ayah, namun tak pernah kurasakan
bagaimana nikmat mengurusi keluarga kecil, bagaimana menggendong seorang anak,
hingga bagaimana mengganti popoknya ketika basah. Kubukakan sebuah rahasia. Aku
meninggalkan bayi kecil itu dan berangkat ke negeri asing ini pada saat usianya
dua minggu. Kini, bayi kecil itu berusia setahun lebih sebulan. Dan betapa
banyak hal yang berubah.
Beberapa
hari sebelum dirinya datang di kota kecil ini, perasaanku seakan galau. Aku ingin
mempersiapkan semuanya secara sempurna. Aku merasa nervous kalau-kalau dirinya
tak bisa menerimaku. Tapi seorang warga Arab Saudi, yang merupakan tetanggaku
di apartemen ini, membisikkan kalimat, “Kamu
hanya butuh seminggu untuk berkenalan.”
Dan
bayi kecil itu akhirnya tiba di sini. Ia datang bersama ibunya yang nampak lebih
kurus ketimbang terakhir kutinggalkan. Terhadap mereka, ada banyak sedih yang
terlukis di hati ini. Mungkin aku belum bisa menjadi ayah yang baik, yang bisa
mengisi hari-hari mereka dengan bahagia. Melihat mereka, ada sesal tertanam,
mengapa harus membiarkan mereka menjalani hari tanpa kehadiran seorang ayah.
Tapi
setidaknya mereka sudah di sini. Selama 22 jam perjalanan dari Jakarta, lalu ke
Singapura, lalu Jepang, kemudian Washington DC, hingga akhirnya tiba di kota
kecil ini. Mereka telah menempuh perjalanan ribuan mil demi menemui diriku yang
hanya bisa menunggu di sini. Istri dan bayiku adalah para pejuang yang rela
menempuh perjalanan lintas benua demi menegakkan kalimat sakti kebersamaan dan
kesucian sebuah keluarga.
Ini Ayah. Jangan nangis Nak! |
Ketika
bayi mungil itu melihat diriku, ia menangis sekeras-kerasnya. Bahkan ketika
ingin kugendong, ia menolakku. Ia histeris dan menangis. Mungkin ia sedang
protes karena diriku tak mendampingi hari-harinya. Mungkin ia sedang ingin
melampiaskan kekesalan karena ditinggalkan begitu lama. Terhadapnya aku
berbisik, “Ini ayahmu Nak. Ini ayah yang pernah mendampingi ibumu saat kamu
dilahirkan. Ini ayah yang membacakan iqamat di telingamu ketika kamu terlahir.”
Aku
paham jika dirinya terus-terusan menangis. Bukanlah sebuah perkara gampang jika
kemudian bertemu seorang asing yang tak pernah kau kenal dalam hidup. Bagiku,
tangisan bayi itu seakan mengiris-iris hati yang memang udah merasa bersalah
karena lama meninggalkannya. Apalah daya, garis kehidupan harus memaksaku untuk
memilih sebuah jalan pedang, hingga dirinya cukup usia untuk ikut bergabung di
tepi jalan ini. Mungkin aku butuh banyak waktu untuk akrab dengannya.
Di
sini, pada hari pertama kedatangan mereka, aku mengajak mereka berkeliling
kompleks. Aku harus mengajarinya beradaptasi. Bayi kecil itu masih tak terbiasa
menganakan car seat saat di dalam mobil, masih harus belajar duduk manis di
stroller dan membiarkan ibunya di samping, juga masih harus biasa dengan
pemandangan yang berbeda dengan pemandangan di kampung kecil kami.
bersama Erika dan putrinya Violeta |
pose bersama mama |
dekat lapangan |
Di
perjalanan, kami menyapa keluarga kecil asal Colombia yang dengan senang hati
memberikan banyak baju bayi untuk perlengkapan musim dingin. Kami bertemu
banyak orang yang dengan sukacita melambaikan tangan pada bayi kecilku.
Nampaknya, dunia ini sedemikian bersahabat untuk dirinya. Semoga saja, semesta
menyambut mereka dengan penuh cinta, sebagaimana cintanya matahari pada bumi.
Selamat
datang di Tanah Amerika …
Kali
ini ijinkan aku menjadi ayah yang yang membahagiakan kalian…
Athens, 6 September
2012
0 komentar:
Posting Komentar