Hari-Hari Terakhir Sang Imam


JIKA ada buku yang ingin saya baca belakangan ini, maka itu adalah buku karya Fadli Zon yang berjudul “Hari Terakhir Kartosoewirjo.” Menurut, informasi yang saya baca di media online, buku ini memuat berbagai foto yang sama sekali baru dan tidak diketahui publik, termasuk hari-hari terakhir pria yang kemudian menjadi imam dari pemberonakan yang mengatasnamakan Islam.

Saya sendiri tersentak dengan beberapa fakta. Mulai dari jam tangan rolex yang selalu dikenakan sang imam, foto-foto ketika ia dieksekusi di satu pulau kecil di Kepulauan Seribu, jenazah yang dimandikan dengan air laut, sang imam yang tak pernah naik haji, foto makan malam terakhir dengan keluarga, hingga salat tobat terakhir yang sempat dilakukannya. Sang imam itu menghadapi kematian dengan tak berkedip.

detik-detik jelang eksekusi. Jam tangan Rolex dilepas
melaksanakan salat tobat
posisi saat eksekusi
dokter memastikan bahwa sang imam telah tewas
usai dimandikan dengan air laut, kemudian disalatkan

Hal lain yang menarik buat saya adalah fakta tentang kehidupan Kartosoewirjo yang unik. Selama ini, para peneliti dengan gampangnya menyebut ideologi Islam yang dianutnya sebagai  energi utama yang menggerakkan segala pemberontakannya.

Namun, saya meragukan alasan itu. Saya masih percaya dengan analisis yang lebih menyoroti pada aspek ekonomi politik, fenomena keseharian sang imam, serta proses berpikir yang merupakan hasil dari pergulatannya dengan kenyataan. Saya juga meyakini bahwa pemetaan politik pada masa itu, tidak serta-merta dipilah dalam kategori sederhana yakni Islam, nasionalis, dan komunis. Sayang, Fadli Zon hanya menyajikan 81 buah foto, tanpa analisis mendalam. Mungkin tujuannya hanyalah mengungkap teka-teki sejarah tentang sang imam DI/TII.

Strategi memilah-milah dalam kategori Islam, nasionalis, dan komunis ini mungkin banyak berhutang pada pemikir Herbert Feith. Ilmuwan politik asal Australia, Herbert Feith, dianggap berjasa besar atas semakin digunakannya kategori politik aliran ini dalam menjelaskan tentang tokoh pergerakan di Indonesia. Feith (1970) mengungkap lima kutub aliran, yaitu, Islam, Nasionalisme Radikal, Sosialisme, Komunisme, dan Tradisionalisme Jawa. Tumbuhnya kelima aliran itu dipengaruhi oleh dua sumber utama, yakni: khasanah Barat (modern) dan domestik (Hindu-Budha dan Islam). Dari situlah muncul teori heterogenitas partai. Feith melihat kelima aliran itu saling terkait (cross-cutting).

Nampaknya, Feith memaksa kita semua untuk berpikir dalam kota-kotak yang disebutnya mewakili aliran-aliran. Sejarawan Yale, Harry J Benda, mengkritik pandangan Feith ini. Ia menganggap bahwa upaya untuk mengamati Indonesia sering terjebak dengan cara pandang barat sehingga semua kategori dan pembagian itu dianggap operasional di lapangan. Benda mengatakan:

“Perhaps our basic error all along has been to examine Indonesia with Western eyes; or, to be more precise and more generous, with eyes that, though increasingly trained to see things Indonesian have continued to look at them selectively in accordance with preconceived Western models.”

Saya setuju dengan pandangan Benda. Bingkai ideologi itu terlampau menyederhanakan kenyataan dan memosisikan seorang peneliti sebagai pihak yang dominan. Seorang individu (atau aktor sejarah) akan diposisikan sebagai obyek yang pasif. Ia tak berdaya dan ditentukan kategori serta posisinya oleh seorang peneliti yang dominan. Lagipula, asumsi yang mengatakan bahwa seorang individu akan tunduk mengikuti ideologi yang dipilihnya adalah sesuatu yang mustahil. Setiap manusia selalu memiliki pilihan, apakah pada satu titik mengikuti ideologi yang sering diucapkannya, ataukah di sisi lain mengikuti kehendak bebasnya.

Dalam pahaman saya, Benda menginginkan agar ada upaya untuk menemukan upaya untuk memahami Indonesia melalui perspektif orang Indonesia sendiri. Dalam artian, kenyataan social mesti dipahami sebagaimana cara pandang subyek yang akan dituliskan. Dalam hal tokoh sejarah, maka semestinya, para peneliti harus bisa memahami zaman di mana tokoh tersebut berasal, serta bagaimana tokoh tersebut melihat diri dan masyarakat di zaman itu.

Dalam ranah antropologi, ini sering disebut native point of view, yakni bagaimana subyek memandang dirinya, serta bagaimana subyek memandang dunia di sekitarnya. Pada titik ini, pandangan yang melihat bahwa seorang manusia sejarah akan bertindak sesuai pilihan ideologi tidak selalu benar.

Sekarang, marilah kita simak fenomena Kartosoewirjo. Benarkah perjalanan hidup dan kisahnya semata-mata karena dilatari oleh Islam? Saya yakin buku Fadli Zon bersikan banyak data dan fakta, namun tak banyak analisis. Hmmm. Marilah kita coba pahami konteks searah masa itu.

Kartosoewirjo berguru pada salah satu tokoh nasionalis terbesar negeri ini; H.O.S. Tjokroaminoto, atau yang disapa Tjokro. Pada masa itu, Tjokro adalah panutan banyak orang, termasuk Soekarno, Semaun, hingga Kartosoewirjo. Malah, bersama Soekarno, Kartosoewirjo diadopsi sebagai anak oleh Tjokro. Kartosoewirjo juga adalah bagian dari kelas menengah perkotaan yang belajar di Stovia, sekolah Belanda yang diperuntukkan bagi para bangsawan Jawa yang ingin mendalami kedokteran. Pertanyaannya, apa pengalamannya bersama Tjokro? Mengapa ia menempuh jalan berbeda dengan Soekarno sebagai saudara seideologisnya?

Pertanyaan berikutnya, Dari manakah Kartosoewirjo belajar? Ternyata, di masa muda ia belajar langsung pada Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis hebat pada masa itu yang seangkatan dengan Tirto Adhi Soerjo. Mas Marco adalah paman langsung Kartosoewirjo. Mas Marco kemudian menjadi salah satu tokoh penting bagi berdirinya Partai Komunis Indonesia. Jika Kartosoewirjo belajar dari pamannya, mengapa tak sedikitpun ia berkomentar atas pilihan politik sang paman?

Terakhir, mungkin dibutuhkan satu analisis yang menyangkut life history atau keseharian Kartosoewirjo. Saya sendiri tak terlalu yakin dengan analisis yang dengan mudahnya menuding factor ideologi sebagai penyebab sebuah perlawanan. Mungkin, pendekatan etnografi yang dikaji dengan metode sejarah, bisa menjadi alternatif yang bisa menguak sisi lain seorang tokoh secara lebih detail. Jika punya data yang kaya, mengapa Fadli Zon tak menuntaskan tulisan tentang sang imam?


Athens, 7 September 2012



0 komentar:

Posting Komentar