Prasasti Abadi Seorang Polwan


Dewi Suryani di depan masjid yang dibangunnya sendiri di Darfur

Masjid itu berdiri kokoh di tengah gurun pasir yang tandus dan kering di tanah Sudan. Warnanya coklat kekuningan. Masjid itu menjadi tempat salat sekaligus tempat bertemu para warga.

Di samping masjid, terdapat plang berukuran cukup besar yang berisikan tulisan dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. Tulisan itu terbaca:

Dewi Suryani IPO Indonesia
This Al Rahman Mosque was constructed
By heartfelt female
Donation from female IPO Indonesia 1 Dewi Suryani

Semua orang yang tinggal di sekitarnya tahu kalau masjid itu didirikan oleh Bripka Dewi Suryani, seorang polisi wanita asal Indonesia yang bertugas sebagai Individual Police Officer.

Datang sebagai polisi yang bertugas untuk perdamaian, Dewi melakukan suatu hal yang monumental. Dia mendonasikan semua gajinya untuk membangun masjid yang diharapkan akan menjadi jembatan bagi warga untuk bertemu dan berdoa bersama.

“Niat saya sederhana. Saya ingin masjid ini bisa menimimalkan perselisihan. Biasanya perselisihan muncul karena kesalahpahaman. Semoga masjid ini membawa rahmat dan kasih sayang sehingga terwujud perdamaian,” kata Dewi Suryani melalui sambungan telepon.

Dia hanya orang biasa yang bertugas di misi perdamaian. Dia bukan orang kaya-raya yang punya harta berlimpah dan setiap saat bisa bangun masjid. Tapi Dewi bertindak luar biasa. Dewi menggunakan semua gajinya untuk masjid yang diharapkannya bisa menjadi kanal perdamaian.

Perempuan asal Sumatera Barat ini mulanya datang patroli di Shangil Tobaya. Dia terkejut melihat masjid milik warga yang dibangun dari alang-alang yang terlihat sangat sederhana. Saat hujan turun, air akan masuk ke dalam masjid sehingga mengganggu orang yang sedang salat.

"Suatu hari saya patroli, terus lihat kok masjidnya kayak gini. Hujan lagi. Kayak ranting yang disusun-susun. Saya berpikir kalau masjid ini diperbaiki, pasti akan sangat bagus buat masyarakat. Selama ini mereka mengeluh kalau hujan maka langsung banjir,” katanya.

Dewi gelisah melihat kondisi masjid yang terbuat dari alang-alang itu. Apalagi, masjid sederhana itu letaknya di kampung milik Hafiz, lelaki yang selama ini menjadi penerjemahnya. Hafiz membantu Dewi untuk berkomunikasi dan menjalin relasi dengan warga lokal.

Biarpun Hafiz menjadi asisten lapangan, Dewi memosisikannya sebagai orang tua yang harus dihormati. Dia memanggilnya Abah Hafiz sebagai bentuk penghormatan. Panggilan Abah di Indonesia menunjukkan kedekatan dengan seseorang yang dipandang sebagai bapak atau paman.

kondisi masjid sebelum dibangun
Setelah dibangun ulang

Sejak pertama tiba, Dewi terkejut melihat kondisi daerah itu yang mengenaskan. Dia tidak menyangka daerah konflik jauh lebih parah dari apa yang selama ini pernah disaksikannya.

“Kesan saya sedih di awal-awal. Saya hanya diam saja. Kok ternyata masih ada yang kayak gini yaa. Jangankan buat belanja, buat makan saja mereka susah. Air saja di tanah yang jorok itu diminum sama mereka,” katanya.

Dewi menyaksikan satu fragmen kehidupan yang dahulu tampak indah, namun dikoyak oleh konflik. Konflik telah membawa dampak bagi semua orang. Banyak jiwa yang hilang dan banyak sumber daya yang hancur. Banyak ibu-ibu yang harus banting tulang demi mencari makanan dan air untuk anaknya.

Dewi tahu kalau dia hanya orang luar yang datang dengan misi perdamaian. Dia menjadi saksi dari banyak peristiwa di situ yang belum menunjukkan tanda-tanda konflik akan berakhir. Dia sedih menyaksikan anak-anak yang kelaparan.

Sayangnya, dia tidak bisa memberikan makanan yang selalu dibawanya saat patroli pada anak-anak. Dia patuh pada arahan pihak PBB yang tidak menginginkan para anggota pasukan perdamaian memberikan makanan kepada masyarakat.

“Jika itu dilakukan, maka masyarakat bisa berkelahi. Dikasih satu orang, ratusan orang bisa mengejar dan meminta bagian yang sama,” katanya.

Akhirnya Dewi menemukan cara membantu masyarakat yakni dengan membangun masjid. Melalui penerjemahnya, Hafiz, dia berkomunikasi dengan warga sehingga rencana itu bisa terwujud.

Ketika masjid itu telah selesai, Dewi mendapat penugasan baru ke headquarter. Dia memang mengajukan lamaran agar bisa pindah ke situ. Saat ia menyampaikannya ke sejumlah warga, mereka langsung shock. Mereka bilang Dewi tidak boleh pergi sebelum ada satu seremoni yang menghadirkan semua warga desa agar mereka bisa berterimakasih langsung kepadanya.

Namun, Dewi tidak ingin melalaikan tugas. Dia tetap ingin pergi. Komandannya di desa itu mengirim surat ijin kepada pihak headquarter. Izin diberikan. Dewi bisa menunda keberangkatan demi menghadiri pertemuan bersama seluruh warga yang hendak menyampaikan ucapan terima kasih.

Akhirnya, pertemuan itu diadakan di dekat masjid. Semua warga desa berdatangan demi memberi ucapan terima kasih kepada Dewi, seorang polwan Indonesia yang telah membiayai pembangunan masjid dengan gajinya.

“Warga desa sangat terharu dan berharap saya bisa sering-sering datang untuk menengok mereka. Sebagai polisi, saya senang bisa berkontribusi. Tujuan saya bukanlah untuk popularitas. Saya hanya ingin membantu mereka sebisa yang saya lakukan. Saya bahagia jika mereka bahagia,” katanya.

Apresiasi terhadap Dewi tidak hanya diberikan oleh warga desa di Darfur. Apresiasi itu juga datang dari Jakarta. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo sangat kagum dengan langkah Bripka Dewi.

“Polri memberikan apresiasi terhadap langkah terpuji Bripka Dewi yang telah melakukan renovasi dan pembangunan masjid di Sudan,” katanya.

Kontribusi Polwan

Dewi Suryani telah dua kali menjadi anggota Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB atau "United Nations - African Union Hybrid Operation" di Darfur, Sudan. Sebelumnya, dia pernah terlibat penugasan mewakili anggota Polri yang bertugas sebagai penjaga misi perdamaian pada wilayah "sektor sentral" di Darfur pada tahun 2014.

Bersama polwan yang diterima dalam misi perdamaian, Dewi mendapatkan pembekalan "Pre Deployment Training" (PDT) selama tiga pekan yang diselenggarakan satuan kerja Polri Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) dikepalai Irjen Polisi HS Maltha.

Saat Dewi di Darfur, Sudan

Selanjutnya, Dewi bersama beberapa rekannya menjalankan kegiatan seperti pelatihan mengemudi, pengenalan misi PBB dan "United Nations Core Value", pemeriksaan kesehatan, vaksinasi, serta simulasi kerja.

Pembekalan itu digelar di ruangan "Command Post Exercise" (CPX) bertempat di Pusat Latihan Multi Fungsi (PLMF) Cikeas Bogor Jawa Barat. Bagi anggota Polri yang terpilih wajib mengikuti pelatihan itu sebagai bekal melaksanakan tugas pada misi pemeliharaan perdamaian PBB.

Pusat latihan ini memiliki berbagai fasilitas diantaranya ruang kelas, ruang makan, tempat ibadah, tempat pelatihan mengemudi, shooting range, Command Post Exercise, serta fasilitas akomodasi.

Jumlah polwan yang ikut dalam misi perdamaian terus bertambah. Tahun 1999, jumlah polwan yang menjadi Individual Police Officer (IPO) hanya 1 orang. Pada tahun 2019, jumlahnya telah mencapai 56 orang. Tahun 2019, ada 29 orang polwan yang terdaftar sebagai Formed Police Unit (FPU). Jumlah ini terus bertambah setiap tahunnya.

Berkat latihan, Dewi memiliki kapasitas untuk menjalankan misi perdamaian internasional. “Andaikan saya masih punya waktu lebih lama di Darfur, saya berencana untuk memfasilitasi pertemuan pihak-pihak yang bertikai di sana,” katanya.

Dewi telah menjalin komunikasi dengan semua pihak yang bertikai. Dia telah memetakan konflik itu hanya berkisar pada orang-orang tertentu saja. Andaikan punya waktu lebih, dia akan menuntaskan satu kerja besar yakni memfasilitasi dialog yang akan mempertemukan semua pihak pada posisi yang sama.

Langkah yang hendak dilakukan Dewi bukanlah hal baru. Bulan Mei 2019 lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat memimpin sidang Dewan Keamanan PBB, menyebut kisah seorang mayor dari Indonesia yang berhasil menjalankan misi fasilitasi perdamaian.

Retno menyebut keberhasilan personel asal Indonesia di MONUSCO, Republik Demokratik Kongo, yang berhasil mengupayakan rekonsiliasi antara komunitas lokal dengan mantan kombatan, sehingga memungkinkan reunifikasi keluarga.

“Mayor Gembong beserta tim-nya dari Indonesia berhasil memfasilitasi reunifikasi 422 mantan kombatan, sehingga semakin memperkuat perdamaian,” ujar Menlu Retno Mardusi kepada DK PBB.

Dia memuji pasukan penjaga perdamaian PBB atau Korps Baret Biru merupakan contoh nyata mengenai kemitraan global, kepemimpinan kolektif dan tanggung jawab bersama untuk perdamaian.

“Korps Baret Biru (Blue Helments) adalah penjaga perdamaian yang melindungi ratusan juta manusia di seluruh dunia. Mereka adalah wajah Dewan Keamanan PBB, dan salah satu potret kerja sama multilateral yang terbaik,” ungkapnya.

Warisan Berharga

Wajahnya terlihat gembira saat tiba di Padang, Sumatera Barat. Agustus 2019, Dewi telah kembali dari misi perdamaian di Darfur. Dia masih teringat bagaimana sambutan masyarakat desa di Darfur yang sangat besar pada kehadiran polwan.

“Saya masih teringat saat masih di sana. Kalau kami pergi patroli, kita sering dikejar anak-anak. Saya masih ingat sambutan masyarakat yang sangat besar pada keberadaan polwan Indonesia. Hati saya masih tersimpan separuh di sana,” katanya.

saat Dewi bertugas

Dewi telah meninggalkan Darfur. Tapi semangatnya yang selalu mendahulukan kepentingan warga desa akan selalu menjadi teladan bagi banyak orang. Dia telah meninggalkan warisan berharga, bukan hanya bagi masyarakat Darfur, tapi juga bagi polwan yang akan menjalankan misi perdamaian.

Dewi telah menjadi duta bangsa yang menampilkan keramahan dan kasih sayang bangsa ke panggung internasional. Dia meninggalkan banyak mutiara berharga sebagai anak bangsa yang selalu peduli pada kemanusiaan dan mewujudkannya di mana pun dirinya berada. Dia meninggalkan prasasti yang membekas di hati warga Darfur.

Masjid itu bukan sekadar fisik. Di situ ada ketulusan, keikhlasan, dan rasa cinta yang ditunjukkan seorang manusia dari seberang lautan. Di situ ada hati yang bening, yang melihat semua orang sebagai saudara.




1 komentar:

Posting Komentar