Cerita tentang Juara Kelas




Di satu kafe di Jakarta Timur, saya bertemu dengannya. Dia sahabat semasa SD hingga SMA di Pulau Buton. Dia masih ceria seperti dulu. Dalam satu perbincangan, dia cerita kalau dirinya sedang membangun rumah senilai miliaran rupiah di kampung kami.

Saya tahu dia tidak niat pamer. Saya pandangi kawan ini dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saya tidak sedang berhadapan dengan kawan saya yang dulu. Dia sudah berubah. Dia mengelola banyak usaha. Dia kini sukses, bahkan lebih dari semua teman-teman sekolahnya.

Saya membayangkan dirinya dahulu. Dia seorang siswa paling malas. Kadang sekolah dan kadang tidak. Dia bukan siswa yang masuk radar guru-guru. Bahkan dia nyaris tinggal kelas. Saya masih ingat ada guru yang menyuruhnya berhenti sekolah. Dia sudah dianggap gagal. Mungkin, alasan itu membuatnya tidak kuliah.

Seusai bertemu dengannya, saya ceritakan pada ibu di kampung melalui telepon. Ibu saya adalah guru SD yang cukup mengenal semua kawan saya. Dia nyaris tak percaya pada apa yang saya katakan. Seorang anak yang dahulu divonis gagal total di sekolah, ternyata bisa melejit dan melampaui semua teman-temannya.

Saya teringat buku Barking up the Wrong Tree yang ditulis Eric Barker. Ada uraian tentang riset yang dilakukan oleh Karen Arnold, periset di Boston College. Karen mengikuti 81 orang lulusan terbaik SMA untuk melihat seperti apa karier mereka.

Sebanyak 95 persen yang lanjut kuliah, rata-rata IPK mereka adalah 3.6. Keberhasilan di SMA menentukan keberhasilan di perguruan tinggi. Mereka bisa diandalkan, konsisten, dan punya kehidupan yang baik.

Tetapi adakah di antara mereka yang jadi pemimpin besar? Atau sosok inspiratif yang mengubah dunia? Atau minimal jadi sosok yang melampaui kebanyakan warga di kampung halamannya? Jawabannya nol.

Karen berkesimpulan: “Mereka adalah orang hebat di dunia kerja. Mereka jadi karyawan yang baik. Tapi mereka bukan orang visioner. Mereka tinggal dalam sistem, bukan mengubah sistem.”

Mengapa orang nomor satu di sekolah jarang menjadi orang nomor satu di kehidupan nyata? Dia punya dua jawaban.

Pertama, sekolah menghadiahi siswa yang secara konsisten melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Nilai akademis selalu berbanding lurus dengan nilai kedisiplinan. Nilai akademis adalah peramal yang bagus untuk kedisiplinan, kesungguhan, dan kemampuan mematuhi aturan.

“Pada dasarnya kita menghadiahi kepatuhan dan kemauan mengikuti sistem,” katanya. Banyak lulusan terbaik mengakui kalau mereka bukanlah yang tercerdas, tetapi mereka adalah pekerja keras. Ada yang bilang, ini hanya soal memberi apa yang diinginkan guru dan bukan benar-benar memahami pelajaran dengan lebih baik.

Kedua, sekolah hanya menghadiahi nilai tinggi pada kaum generalis. Tidak banyak pengakuan diberikan pada passion atau kemahiran siswa. “Para lulusan terbaik selalu sukses, secara pribadi dan profesional. Tapi mereka tidak pernah mengabdi total di satu arena di mana mereka menuangkan seluruh gairahnya. Biasanya itu bukan resep meraih kehebatan dan keunggulan” katanya.

Saya ingat anak saya Ara. Dia sangat bagus untuk pelajaran matematika, tapi dia sangat lemah untuk pelajaran bahasa Sunda. Hanya gara-gara itu dia tidak menjadi yang terbaik di kelasnya. Pendekatan generalis tidak membawa pada kemahiran.

Karen melihat semua lulusan terbaik selalu pragmatis. Mereka mengikuti aturan dan lebih menghargai nilai A ketimbang keterampilan serta pemahaman mendalam atas satu topik.

Sekolah memang punya aturan, tapi kehidupan tidak bekerja sebagaimana aturan di sekolah. Kehidupan punya struktur yang lebih rumit, sehingga pemenangnya adalah mereka yang kreatif dan jeli melihat di mana dirinya bisa mengembangkan potensi seluas-luasnya.

Karen menyebut beberapa nama yang gagal di sekolah kemudian jadi pemimpin dunia. Di antaranya adalah Winston Churcill, perdana menteri Inggris terhebat. Dia orang yang terbilang biasa-biasa saja di sekolah. Ketika jadi politisi pun, dia masih menjadi sosok yang biasa-biasa dan malah penakut. Dia sering dikontraskan dengan Neville Chamberlain, sosok jenius dan cemerlang yang diprediksi jadi pemimpin besar Inggris.

Tapi, justru ketakutan Churcill adalah sisi yang sangat dibutuhkan Inggris saat itu. Churcill adalah orang pertama yang memandang Hitler sebagai ancaman. Sementara saat itu banyak yang melihat Hitler sebagai kawan. Ketakutan Churcill ternyata menjadi penyelamat bagi Inggris sebelum Perang Dunia II. Dia pun dicatat sejarah.

Hari ini saya kembali bertemu kawan itu. Dia bercerita banyak mimpinya yang ingin digapai. Saya ingat dirinya yang dulu. Saya yakin, sejak dulu dia adalah orang hebat. Dia malas karena sekolah gagal menemukan potensi terbaiknya. Saat keluar sekolah, dia justru bisa melejit laksana roket.

Dia masih bercerita banyak hal. Saya pilih mendengarkan, sembari mencatat dalam hati. Dia keren.



1 komentar:

Wahyudin mengatakan...

Tulisannya menyadarkan dan mengingatkan masa lalu. Sangat menginspirasi yg selalu dapat nilai anjlok di sekolah.

Posting Komentar