Membaca Jurnalisme Sindhunata




Saya mengikuti tulisan Sindhunata di harian Kompas. Saya suka tulisannya tentang orang-orang biasa yang sering terabaikan. Saya pun suka tulisannya tentang bola yang sangat menggetarkan. Dia selalu mengangkat sisi yang sangat manusiawi.

Di goresan Sindhunata, bola bukan sekadar skor, bukan pula menang kalah, tetapi ada kisah pergulatan manusia yang berusaha menggapai kemenangan. Saya pernah kliping tulisannya tentang Roberto Baggio yang memilih Budha, Alessandro del Piero yang bermain bola demi mengenang kakeknya, Michel Platini yang menonton konser di malam sebelum tragedi Heysel, Ronaldinho yang bermain bola sebagaimana anak kecil di Rio de Janeiro, hingga Patrick Berger yang membawa novel utk dibaca di euro 1996.

Dalam buku barunya ini dia menjelaskan sisi humanisme dan jurnalisme di harian Kompas, yang menjadi energi tulisan2nya. Kalau dilihat dari konteks kekinian, banyak hal yang sudah berubah. Dia bilang, jurnalis adalah pekerjaan kaki. Jurnalis harus rajin bergerak, rajin melihat, rajin mencatat, setelah itu berpikir.

Kini, para jurnalis harus rajin juga berselancar di web dan medsos, juga memahami big data untuk membantunya memahami kenyataan. Jurnalis harus sedalam Google, dan sehangat Facebook.

Membaca catatannya di sini, saya tiba pada satu hipotesis sederhana. Kekuatan Sindhunata bukan pada angel liputan yang bisa memotret sisi humanis, tetapi ada pada kontemplasi atau renungan2nya atas setiap keping kenyataan. Dia seorang filosof yang sering merenung, menelusuri relung pemikiran kemudian mencarinya dalam setiap fragmen kenyataan yang ditemuinya untuk dikemas dalam karya jurnalistik.

Pemikiran filosofis itu tidak membuatnya melangit, melainkan tetap berpijak di bumi. Jurnalisme menarik pikiran kembaranya agar tidak selalu terbang tinggi di atas punggung filosof, tetapi tetap membumi dan mencari kearifan dalam sosok manusia biasa.

Makanya, dia bisa menulis tentang para filosof Mazhab Frankfrut, tetapi dia pun bisa cerita tentang Mbah Wagiyem di Pasar Beringharjo. Dia bisa menulis Zinedine Zidane sebagai seorang dewa bola, tetapi dia bisa menjelaskan lingkungan masa kecil ZIdane yang keras sebagai anak migran di Perancis.

Anehnya, saya bisa menyebutkan nama-nama jurnalis dan penulis inspiratif yang kajiannya dalam di era Sindhunata. Tapi jika ditanya, siapa jurnalis Kompas kekinian yang seperti Sindhunata, saya malah tidak tahu. Padahal saya masih langganan kompas. Jauh lebih mudah buat saya menyebutkan siapa penulis di jagad maya yang selalu saya ikuti catatan-catatannya.

Bisa jadi, saya adalah pelanggan koran yang lebih suka selancar di jagad maya. Entahlah.

Apa Anda bisa bantu saya menyebutkan satu saja?


0 komentar:

Posting Komentar