Pengantar untuk Bupati INDAH




Sahabat keren dan ganteng Rizal Muthahhari menulis buku mengenai bupati di Luwu Utara. Pihak penerbit yakni Isnul Ar Ridha memberi saya kehormatan untuk menulis kata pengantar. Saya sudah menerima bukunya. Menurut saya, bukunya sangat keren. Tulisannya mengalir.

Penulisnya bilang sejak lama dia ingin meminta saya menulis pengantar, tapi dia agak malu dan sungkan. Saya tidak paham mengapa dia sungkan. Dia pikir saya seorang penulis sekelas dewa sehingga bisa membuat orang lain keder. Padahal saya hanya warga biasa yang suka jalan-jalan, melukis, bermain biola, juga membelai kucing.

Menurut saya, semua kerja-kerja pemerintahan dan capaian seorang kepala daerah harus dicatat. Jika tidak, maka semua kerja-kerjanya seakan tidak terlihat. Kerjanya bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja. Apalagi jika lawan politik gencar mendelegitimasi kerjanya.

Saya ingat seorang pejabat yang merasa risih jika biografinya selama memimpin ditulis. Dia tidak tahu kalau ingatan orang-orang sangat pendek. Ketika kisah-kisah perjalanannya memimpin tidak dicatat, maka semua kenangan tentang dirinya akan segera berlalu dan tersaput angin.

Saya ingat ketika membuka-buka arsip kolonial, saya sering menemukan ada dokumen mengenai memori gubernur atau bupati. Rupanya, pada masa kolonial, seorang pejabat rutin menulis buku yang isinya catatan perjalanan, apa saja yang sudah dibuat, apa saja yang belum dan apa-apa saja yang menjadi rekomendasi.

Saya pikir ini adalah tradisi yang sangat baik. Dengan dituliskan, semua capaian akan terekam abadi dalam sejarah, juga bisa disebarkan ke publik, sehingga mereka tahu apa saja yang sudah dicapai dan apa yang belum.

Bagaimana jika biografi pejabat isinya hanya hal baik? Menurut saya tak masalah. Sebab dia sedang memaparkan satu sketsa kenyataan yang dilihatnya. Kalau ada yang tak sepakat dengan itu, biarlah sejarah yang kelak akan menentukan sejauh mana klaim itu benar ataukah tidak.

Namun, seperti kata Will Durant: “Kata-kata tertulis abadi, kata-kata terucap lenyap.” Apa yang dicatat, itulah yang abadi.

Sepekan ini, seseorang mengajak saya berdiskusi tentang penulisan biografi seorang kepala daerah. Saya katakan, biografi itu sekadar membahas tentang perjalanan seseorang, tapi juga apa saja kebijakan dan warisannya di satu wilayah. Pendekatannya adalah mikro-makro. Kala dalam riset, gunakan kombinasi antara pengalaman dekat (emic point of view) dan pengalaman jauh.

Ada saat kita memantau sisi kemanusiaan seorang pemimpin, ada juga saat memantau semua data-data makro mengenai capaian-capaian. Dengan demikian buku menjadi lebih humanis. Data-data disajikan renyah dan ada sentuhan rasa dan sisi kemanusiaan.

Di akhir diskusi, teman itu bertanya: “Bagaimana jika kamu yang menulisnya?”

Saya tidak segera menjawab

0 komentar:

Posting Komentar