Bersama Pemilik BlazBluz




Tidak jauh dari Stasiun Kiara Condong, Bandung, dia menyambut saya dengan senyum yang teramat lebar. Namanya La Tusu. Dia adalah teman sekelas semasa SMP dan SMA di Pulau Buton. Dia berasal dari Wakaokili, sekitar 26 kilometer dari Baubau.

Dia begitu gembira saat saya datang mengunjungi warkop yang dimilikinya. Dia panggil beberapa pelayan, terus bertanya saya hendak makan dan minum apa. Dia sangat senang karena teman kecilnya datang berkunjung.

Saat tanya harga, pelayannya minta saya tentukan harga. Saya kegeeran. Saya pikir karena saya teman dari pemilik warkop, maka saya bebas menentukan harga. Ternyata, semua orang diperlakukan sama di situ. Di warkop itu, pengunjung yang menentukan berapa harga kopi yang diminumnya.

Lantas, gimana mau untung? La Tusu tidak lantas menjawab.

Dia bercerita tentang persentuhannya dengan dunia digital. Dia mendirikan blazbluz.com, perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran online. Dia tahu kalau di antara teman sekolahnya, saya paling paham dunia startup. Aslinya sih, saya hanya sok tahu. Ilmu saya gak jauh2 dari melatih kucing.

Mulanya dia melakoni bisnis affiliated marketing. Dia bersama beberapa orang memasarkan satu bisnis secara online, kemudian mendapatkan fee atau komisi dari penjualan itu. La Tusu memahami bagaimana cara kerja big data. Dia tahu ada data tentang satu perusahaan yang mengeluarkan produk di Amerika Serikat.

Melalui analisis big data, dia juga tahu kalau produk itu sangat dibutuhkan banyak orang di Rusia. Dia pun memasarkan produk dari Amerika itu ke Rusia secara online. Dia mendapatkan komisi dari setiap penjualan. Ketika produk itu booming, mulailah dia meraup banyak dollar. Bisnisnya mencapai angka miliaran.

Kok bisa barang Amerika dijual di Rusia oleh pemasar asal Buton yang tinggal di Bandung? Gaes... ini era globalisasi. Ini era online. Kamu bisa duduk-duduk di satu warkop kemudian memasarkan barang dari satu lokasi ke lokasi lain. Kamu tak perlu berpindah. Duduk-duduk saja, eh tiba-tiba dollar masuk rekening.

Dia bercerita, pernah ada pengusaha dari Amerika datang ke Indonesia hanya untuk menemui dia dan timnya. Pengusaha itu terheran-heran dengan kemampuan La Tusu memasarkan produk. Rupanya, di negara seperti Amerika pun, tidak semua orang melek teknologi digital.

Dia mendidik anak-anak muda untuk memahami pemasaran digital. Malah dia mengajarkan anak SMK yang hanya tahu update status untuk jadi pemasar handal di era online. Dia pun merekrut anak SMK itu untuk jadi pasukan digitalnya.

Sahabat ini lalu mengajak saya melihat-lihat rumah besar, di mana ada warkop di situ. Di ruang depan, saya melihat ada galeri yang memajang banyak kaos, busana muslim dan hijab. Katanya, ini hanya sampel atau spesimen. Perusahaannya punya gudang di markas JNE yang kemudian dipakai menyimpan barang kemudian dikirim ke berbagai penjuru.

Di ruangan lain, saya melihat banyak anak-anak muda di depan laptop. Katanya, ini adalah ruangan para admin mengelola pemasaran melalui media sosial. Perusahaannya memasarkan banyak kaos dan produk fashion melalui fasilitas adsens di Facebook dan Google.

Kalau kamu sering temukan iklan kaos di Facebook, misalnya kaos bertema nasionalisme, tema kampus, atau kaos bertuliskan orang ganteng lahir tahun yang persis tahun lahirmu, bisa jadi itu adalah hasil kerja bagian promosinya.

Di satu ruangan lain, saya melihat studio foto. Katanya, di ruangan itu, semua produk yang dijual akan difoto, kemudian diteruskan ke tim marketing. Ada pula ruangan yang menjadi ruang pelatihan. Secara periodik, perusahaannya menggelar pelatihan untuk pemasaran di media sosial. “Algoritma Facebook itu selalu berubah. Makanya kami harus selalu update,” katanya.

“Sudah lama jualan kaos?” Saya bertanya.
“Kami tak jualan kaos. Yang kami jual adalah platform. Maksudnya, tiap orang bisa memasarkan produk melalui platform yang kami bikin,” katanya.

Jadi, perusahannya hanya menyiapkan kaos oblong, yang kemudian bisa didesain siapa saia. Skemanya adalah User Generated Content. Siapapun bisa buat desain, kemudian promosi, lalu mendapat hak paten. Saat ada order untuk kaos dan desain itu, pembuat desain akan dapat fee. Sistem yang mengatur semuanya. Mungkin ini yang disebut sharing economy.

“Makanya, kami mengajak anak muda untuk bisnis, tawarkan desain, dan dia bisa menjualnya. Di sini banyak pembuat desain kaos yang mendadak kaya gara-gara desainnya viral,” katanya.

Belakangan ini, dia sering menjalin kerjasama dengan kampus. Dia pun sering diundang jadi pembicara. Dia ingin memperluas ekosistem digital sehigga setiap orang bisa mereguk manisnya bisnis di era 4.0 ini.

Terakhir, tanpa dia jelaskan, saya paham sendiri mengapa kopi di situ gratis. Banyak orang yang belajar pada Google dan Facebook. Dua raksasa IT ini menggratiskan banyak layanan. Tak perlu bayar untuk pakai Google, juga Facebook. Tapi perlahan, mereka punya banyak skema lain untuk menjadi perusahaan kaya-raya.

Ketika Anda nyaman di warkop itu, Anda akan sering datang. Saat banyak komunitas bergabung dan berjaring, kolaborasi bisa terjalin. Di sinilah, peluang bisnis bermunculan.

Sayang, saya tak bisa lama di Bandung. Ketika pulang, dia menghadiahkan saya dua kaos Blazbluz. Saya pakai ke stasiun. Seorang pramugari kereta yang secantik Syahrini, mengajak selfie. Dia berbisik, “Akang kasep, saya suka kaosnya. Akang yang punya blazbluz yaa?” Dalam bahasa Sunda, kasep artinya ganteng.

Mendengar suara renyahnya, insting petualangan saya bekerja. Saya mengiyakan. Dia tidak tahu kalau saya mantan penjual obat di Pasar Baubau dengan keahlian retorika hingga level dewa. Cewek Bandung ini tersenyum. Duh, geulis pisan! Saatnya memasang perangkap.



0 komentar:

Posting Komentar