Diplomasi Senyum Polwan Indonesia


Saat AKBP Yuli Cahyanti tugas di Darfur

Tak sedikit pun ada rasa terkejut saat mendengar dirinya akan ditugaskan dalam misi perdamaian di Darfur, Sudan. Perempuan itu, AKBP (setara Letnan Kolonel) Yuli Cahyanti, adalah polisi yang tidak mengenal rasa gentar. Dia percaya pada kekuatan budaya Indonesia yang bisa mendamaikan dunia.

***

Suasana di One Bellpark Mall di Jalan Fatmawati, Jakarta, terlihat ramai saat perempuan itu singgah ke Kafe Starbuck, akhir Agustus 2019. Dia datang mengenakan baju lengan panjang berwarna hitam, serta celana jeans. Dia duduk di situ setelah sebelumnya memesan kopi. Dia lalu mengambil ponsel dan menatap beberapa pesan di situ.

Orang-orang di dalam kafe itu tidak menyadari kalau sosok yang duduk itu adalah seorang polisi wanita yang telah terjun dalam berbagai penugasan. Dia tidak hanya bertugas di Indonesia, melainkan telah menjalankan tugas sebagai anggota pasukan perdamaian di beberapa negara konflik.

Yuli Cahyanti, perempuan asal Jawa Timur yang pernah betugas di Darfur, Sudan pada tahun 2012-2013. Dia pun pernah menjadi Director for Plan and Programs, ASEANAPOL Secretariat at Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 2015 – 2017. Dia pun sosok yang menerima banyak penghargaan. Di antaranya adalah satyalencana dari Presiden RI.

Dia tersenyum ramah saat disapa. Dia bersikap hangat kepada siapa pun yang mengajaknya berbincang. Dia sangat jauh dari kesan kaku. Dengan senyum dan keramahan seperti itu, dia menjadi sosok yang bisa diterima siapa saja.

Hari itu, Yuli bercerita tentang pengalamannya menjadi peace-keeper di Darfur, Sudan. Mendengar kata konflik, banyak orang yang gentar. Yuli tak sedikut pun gentar. “Sejak menjadi polisi, saya siap ditugaskan ke wilayah konflik mana pun. Saya siap menerima semua risiko yang akan dihadapinya, bahkan kematian sekali pun,” katanya.

Darfur menjadi sorotan dunia ketika konflik pecah pada 2003, saat pemberontak mengangkat senjata melawan rezim pemerintahan Khartoum yang dianggap diskriminatif. Misi Uni Afrika dan PBB (UNAMID) mulai dijalankan sejak 2007 hingga kini.



Sejak konflik pecah, warga sipil menjadi korban. Mereka tidak saja kehilangan anggota keluarga, tapi juga terusir dari tanahnya sendiri sehingga hidup di kamp pengungsian. Beberapa negara lalu mengirimkan misi perdamaian untuk meringankan beban masyarakat di sana. Indonesia pun terpanggil untuk mengirim misi perdamaian.

Niat menjadi anggota pasukan perdamaian sudah lama membara dalam diri Yuli. Beberapa tahun sebelum mendaftar sebagai pasukan perdamaian, dia pernah mengikuti acara International Police Woman di Afganistan. Saat itu dia terkesan dengan beberapa pasukan perdamaian PBB yang bertugas untuk mengawal semua peserta.

Dia membayangkan betapa bahagianya jika dia kelak bisa berperan untuk menghadirkan rasa aman bagi orang lain. Dia bertekad agar kelak bisa bergabung dalam misi perdamaian. Cita-citanya terkabul di tahun 2012 saat menjadi bagian dari pasukan perdamaian yang bertugas di Darfur.

Saat itu, Yuli hanya punya sedikit pengetahuan tentang Darfur. Dia tahu bahwa Darfur sedang dilanda konflik yang bisa mengancam jiwanya. Darfur adalah wilayah yang juga rawan bencana.

Yuli mendengar berita bahwa penyakit malaria di tempat itu adalah malaria paling berbahaya sedunia. Tapi semua hal itu tidak membuatnya gentar. Dia tetap ingin datang ke sana. Dia siap meninggalkan keluarganya selama setahun demi menjawab panggilan kemanusiaan dalam dirinya.

Mulanya terasa berat untuk meninggalkan anak tunggalnya yang saat itu berusia 7 tahun. Ada panggilan nurani seorang ibu yang sempat menghentikan langkahnya. Tapi di sisi lain, ada pula panggilan kemanusiaan saat membayangkan nasib anak-anak dan perempuan di daerah pengungsi. Suami dan anaknya ikhlas melepas dirinya yang berbagi untuk kemanusiaan.

Saat tiba di Darfur, Yuli terkejut melihat situasi yang lebih buruk dari apa yang dibayangkannya. Dia melihat daratan luas yang tandus serta kering. Dia tidak menyangka, di dataran tandus ini konflik terjadi sehingga masyarakat merasakan dampaknya.

BACA: Prasasti Abadi Seorang Polwan

Dia sangat sedih saat melihat kondisi perempuan dan anak-anak yang sangat memprihatinkan. Seorang ibu harus mencari air di lokasi yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Ibu itu membawa tujuh jergen air. Dia dibantu anak-anaknya, sementara suaminya hanya bermalas-malasan di rumah.

“Kebanyakan korban konflik adalah perempuan dan anak-anak. Mereka yang merasakan dampak konflik. Untuk itu, kehadiran polwan sangat dibutuhkan sebab punya sisi keibuan yang membantu mereka untuk berempati dengan korban,” katanya.

Yuli menceritakan satu kenyataan yang dilihatnya. Suatu hari, dia berpatroli dan menemukan ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual hingga trauma. Perempuan itu menolak untuk ditemui siapa pun. Perempuan itu hanya bisa menangis dan mengunci diri di rumah.

Saat Yuli datang dan menyapa “Assalamualaikum”, perempuan itu mau menerimanya. Dia lalu bercerita tentang apa yang dialami. Mata Yuli berkaca-kaca saat mendengar kisah perempuan itu. Dia adalah korban dari konflik antar warga yang terus bertikai. Perempuan itu diperkosa oleh sejumlah orang yang datang menjarah.

“Jika saja bukan perempuan yang datang, dia akan menolak siapa pun yang hendak memberikan bantuan. Dia merasa nyaman ketika bicara dengan sesama perempuan,” katanya.

Sebagai perempuan, Yuli bisa melakukan pendekatan personal kepada banyak orang. Saat sedang melakukan patroli, dia akan ikut berbincang dengan perempuan yang sedang antri mendapatkan air bersih. Dia berbaur dengan siapa saja, serta mendengarkan apa saja pengalaman yang dirasakan oleh penduduk lokal.

Dia melihat budaya poligami yang masih marak di Darfur. Seorang laki-laki bisa memiliki empat istri yang ditempatkan di rumah terpisah. Dia mendengar sering kali ada masalah serta konflik yang menyebabkan hak-hak seorang perempuan terabaikan.

“Sebagai seorang perempuan dan juga seorang ibu, hati saya selalu tersentuh mendengar kasus seperti ini. Saya selalu tergerak untuk membantu. Hanya saja, saya tidak boleh terlalu jauh mengintervensi. Saya hanya bisa merekomendasikan ke polisi setempat,” katanya.

Polisi Perdamaian

Sejak tahun 2008, Polri telah mengirimkan personelnya untuk mengikuti misi perdamaian di African Union - United Nations Hybrid Operation in Darfur (UNAMID), Sudan. UNAMID berdiri sejak 31 Juli 2007 yang bertujuan untuk melindungi warga sipil serta berkontribusi pada keamanan untuk bantuan kemanusiaan, serta membantu proses politik agar berjalan lancar.

Data yang dihimpun United Nation Peacekeeping, Indonesia mulai mengirim polisi ke UNAMID sejak tahun 2008, dan saat ini berada di urutan ke-enam negara yang terbanyak mengirim polisi ke UNAMID yakni 145 orang.

Polri juga selalu rutin mengirim pasukan untuk misi perdamaian di Afrika Tengah. Misi perdamaian itu dinamakan United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in The Central African Republik (MINUSCA).

Menurut Yuli, polisi yang bertugas sebagai peace-keeper terbagi atas dua peran dan tanggung jawab. Pertama, Individual Police Officers yang tugasnya adalah memberikan perlindungan kepada civilian dan para pengungsi, yang disebut Internally Displaced Person (IDP). Kedua, Formed Police Units (FPU) yang betugas untuk melindungi personel dan fasilitas PBB, melindungi warga sipil, serta mendukung operasi kepolisian di Sudan.

Sebelum bertugas sebagai Individual Police Officer di Darfur, Yuli menjalani seleksi yang cukup ketat. Dia mengikuti beberapa tes, yakni bahasa Inggris, menyetir, dan menembak. Dia menjalani dua tahap seleksi. Seleksi pertama dilakukan Mabes Polri, sedangkan seleksi kedua dilakukan PBB.

Dari sekian banyak polisi dalam angkatannya hanya lulus 100 orang, kemudian nama-nama tersebut dikirim markas PBB di New York dan barulah diseleksi kembali, sampai akhirnya 43 orang dinyatakan lolos. Lima di antaranya polisi wanita.

Sebelum berangkat, dia pun sempat mendapatkan pelajaran bahasa Arab agar berkomunikasi dengan warga di sana. “Pelajaran ini sangat berguna saat di lapangan. Walau pun hanya dengan assalamualaikum warga di sana sudah senang," ungkapnya.

Sebagai bagian dari Garuda Bhayangkara, sebutan untuk polisi saat bertugas sebagai pasukan perdamaian, Yuli mengaku punya banyak suka dan duka. Dia menghadapi banyak tantangan. Di antaranya adalah Sudan merupakan wilayah yang sering dilanda bencana.

Pengalaman paling tidak nyaman adalah ketika terjebak banjir di tengah gurun pasir. Saat itu, dia bersama rombongan mendatangi pos pengamanan tidak jauh dari markas.  "Saya ikut patroli siang. Cuaca tidak kelihatan akan hujan. Tiba-tiba cuaca berubah jadi gelap dan hujan deras. Keadaan di tempat saya patroli saat itu langsung banjir sehingga kita tidak bisa kembali ke kamp saya," ungkapnya.

saat memotret Ibu Yuli
saat ngopi dengan Ibu Yuli

Sialnya pada saat itu, Yuli tidak membawa sedikit pun perbekalan makanan, dia hanya membawa satu botol air mineral. Ia berfikir saat itu, tempatnya patroli tidak jauh dari camp utama hanya 20 menit perjalanan.

Karena tidak bisa kembali akibat jalan yang dilaluinya berubah menjadi sungai lumpur, ia pun terpaksa harus bermalam. Dengan berbekal satu botol minuman mineral Yuli harus bertahan hingga keesokan harinya.

"Saya tidak bawa persediaan makanan saat itu, karena jalan yang dilalui tergenang air makanya kita terjebak. Kawan dari FPU Mesir yang mencoba mencari jalan ke luar pun ternyata tidak bisa jadinya kami bermalam," ujarnya.

Pengalaman itu membuatnya lebih berhati-hati dan membuat perencanaan yang matang. Dia tidak ingin mengalami situasi seperti ini lagi. Pengalaman menjadi guru terbaik baginya.

Indonesian Way

Sebagai perempuan yang bertugas di area konflik, Yuli tidak pernah mengkhawatirkan apapun. Dia terkenang ibunya yang pernah berkata, selagi dia memperlakukan orang lain dengan baik, maka dirinya pasti akan diperlakukan dengan baik.

“Bagi kita orang Indonesia, senyum dan sapa adalah hal biasa. Setiap hari kita melakukannya. Tapi saat berada di negara lain, apalagi yang tengah mengalami konflik, senyum dan sapa menjadi diplomasi yang sangat efektif. Saya bisa diterima siapapun,” katanya.

Salah satu pendekatan Indonesia dalam misi perdamaian adalah community engagement. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk Civil-Military Cooperation (CIMIC) yang biasanya berupa bantuan kemanusiaan yakni mengajar dan memberikan layanan kesehatan. Selain itu, juga melakukan fasilitasi gencatan senjata dan proses perdamaian.

saat di kamp

Pendekatan ini membuatnya mudah diterima warga sipil. Dia membangun kedekatan dengan para ibu yang sedang mengantri air bersih. Dalam beberapa foto, terlihat dirinya saling menyapa dan berdialog dengan para ibu.

“Pengalaman saya, perempuan lebih diterima oleh masyarakat lokal dan mampu memberikan rasa aman, khususnya bagi perempuan dan anak-anak di kamp pengungsi. Budaya Indonesia dapat diterima dengan baik di masyarakat lokal. Kita cukup beri senyum, sapa dan salam,” katanya.

Yuli dan perempuan lain yang bergabung dalam peace-keeper menjadi duta bangsa Indonesia yang menyebarkan benih-benih perdamaian. Yuli memberi kontribusi penting untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang paling banyak menjadi korban. Yuli menunjukkan betapa pentingnya pendekatan kemanusiaan demi membantu mereka yang dilanda konflik.

Yuli dan Polwan Indonesia lainnya telah menunjukkan kasih sayang dan semangat persaudaraan di negeri yang jaraknya ribuan kilometer. Dalam diri mereka, terdapat wajah Indonesia yang sesungguhnya yakni wajah yang welas asih, wajah yang mengedepankan "kemanusiaan yang adil dan beradab."

Mereka adalah anak bangsa yang menjalankan amanat konstitusi yakni “turut menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”




0 komentar:

Posting Komentar