Bukan hal luar biasa jika Agnez Mo menjadi trending topic. Di media sosial, sejak lama terbentuk kelompok Agnez Haters yang selalu siap melontarkan segala caci pada apa yang dilakukannya.
Kalimatnya memang menunjukkan satu gejala inferior sebagai bangsa. Dia sesungguhnya menyampaikan bahwa dia minder saat nama Indonesia disebut. Dia berlindung dengan menyebut nama-nama bangsa lain.
Dengan cara itu, dia berharap si pewawancara akan memahami kalau dia memang berbeda dengan kebanyakan Indonesia yang tidak punya prestasi dan jejak di panggung dunia. Dia bisa bangun diferensiasi dan seakan berkata “saya dari ras bangsa unggul.”
Agnez Mo bukanlah Susi Susanti yang dalam film Susi: Love for All selalu bangga menyebut nama Indonesia, bahkan di saat bangsanya tengah diamuk konflik rasial. Saat kewarganegaraan Susi dipertanyakan, saat keluarganya dalam keadaan takut karena konflik etnik, dia tetap menyebut dirinya Indonesia.
Tapi marilah kita lihat kasus ini dari sudut pandang lain. Agnez berada dalam situasi sebagai pihak yang diwawancarai. Sejak awal, dia bercerita tentang Indonesia yang begitu beragam, serta dirinya yang minoritas. Topiknya adalah bagaimana menjadi minoritas dan bisa keluar dari kerumunan.
Anggaplah, Agnez “salah ngomong”, maka itu tidak ada artinya dengan begitu banyak publikasi nama Indonesia seiring dengan popularitasnya di panggung internasional. Saya rasa dia tidak mungkin mengabaikan identitas keindonesiaan yang disandangnya sejak kecil hingga berkarier sebagai penyanyi. Rasanya tidak adil jika dia dihukumi hanya karena satu atau dua pernyataan.
Marilah kita melihat Agnez sebagai perjalanan panjang. Apa pun yang dilakukannya akan selalu dianggap salah. Dulu, dia dicaci tidak pantas berada di panggung internasional sebab dirinya terlalu Indonesia.
Saya masih ingat persis. Di tahun 2010, dia mendapat kehormatan sebagai presenter di ajang American Music Awards (AMA). Perempuan yang berprofesi sebagai penyanyi itu tampak kikuk dan hanya bisa cengengesan.
Banyak orang yang mengatakan bahwa bahasa Inggrisnya masih belum memadai untuk tampil di acara sekelas itu. Dia grogi, demam panggung, dan lebih banyak diam serta tersenyum. Di media sosial, dia menjadi bulan-bulanan sebab bahasa Inggrisnya payah. Dia dianggap terlalu Indonesia, kurang menginternasional.
Namun pada situs-situs berbahasa asing, komentar tentang dirinya selalu positif. Agnez disebut sebagai fenomena baru. Situs globalgrind.com menyebut, bahwa meskipun Indonesia adalah negeri dengan kepadatan penduduk keempat dunia dan minim penyanyi di panggung dunia, Agnez bisa tampil di Amerika Serikat (AS) dan bekerja sama dengan produser hebat Timbaland. Kolaborasi mereka telah menelurkan album “Coke Bottle.”
Ibarat sebuah perjalanan, Agnez masih berada di tepi kancah musik dunia, di mana kompetisi dan artis baru selalu bertumbuhan. Ia memang masih jauh dari pencapaian seniornya Anggun C Sasmi. Beredar isu kalau album Agnez sempat dijual secara bajakan, sehingga ditarik oleh pihak i-Tune. Gosip juga beredar tentang cover albumnya yang meniru simbol Illuminati, semacam sekte tertentu yang dikabarkan anti-agama.
Ketika Agnez menyebut ambisinya untuk go international, ia langsung dianggap arogan. Demikian pula ketika Agnez memajang fotonya yang sedang bersama seorang penyanyi Amerika di Instagram. Orang-orang langsung menganggapnya pamer.
Padahal, apa yang dilakukan Agnez dilakukan pula oleh banyak orang di media sosial. Dan jika ditelaah, semua kritikan itu selalu menyangkut hal remeh-temeh atau tidak substansial. Semua pengkritik hanya menyoroti soal yang tidak penting, seperti style ketika berbicara, gaya ngomong, postingan di media sosial, atau soal klaim-klaim.
Hebatnya, Agnez tak pernah menanggapi kritikan itu. Ia terus berbenah dan mengasah diri. Di ranah musik, barangkali Agnez adalah penyanyi dengan jumlah penghargaan paling banyak di Indonesia. Ia memenangkan puluhan trofi, termasuk 10 Anugerah Musik Indonesia (AMI), tujuh Panasonic Awards, dan empat MTV Indonesia Awards. Ia juga telah dipercaya menjadi duta anti narkoba se-Asia serta duta MTV EXIT dalam memberantas perdagangan manusia.
Pengamat musik Bens Leo menyebut bahwa Agnez adalah satu-satunya penyanyi wanita yang sudah pantas menjadi seorang diva dan penerus Anggun C Sasmi. Ia dianggap mampu menjual CD-nya sebanyak 1 juta kopi dalam waktu singkat, berkolaborasi dengan musisi dunia, sampai mengonsep video klipnya sendiri.
Di level internasional, ia berhasil meraih penghargaan dua tahun berturut-turut atas penampilannya di ajang Asia Song Festival di Seoul, Korea Selatan, pada tahun 2008 dan 2009. Hingga akhirnya, ia menjadi satu-satunya artis Indonesia yang pernah menjadi presenter dan berkesempatan menyanyi di Red Carpet American Music Awards di Los Angeles, AS, pada 2010 lalu.
Barangkali, ia pula satu-satunya artis Indonesia yang menjadi aktris utama pada dua drama Asia yakni The Hospital dan Romance In the White House yang dibuat oleh sebuah rumah produksi di Taiwan.
Dengan prestasi yang segudang, mengapa Agnez banyak dikritik di media sosial? Bukankah kiprahnya adalah representasi dari semangat kerja keras dan hasrat untuk berprestasi serta ikhtiar untuk menggapai impian?
Semua kritikan itu semakin menunjukkan pijakan kakinya yang sudah kian jauh di dunia entertain. Makian itu semakin menunjukkan bahwa Agnez adalah sosok penting yang namanya semakin berkibar. Harus dicatat, di usianya yang terbilang muda, ia telah mencapai semua hal yang kian menempatkannya sebagai diva musik tanah air. Ia telah ‘melambung jauh’ dengan segala prestasi yang untuk menandinginya mesti menggapai jalan terjal.
Inspirasi Agnez
Daripada sibuk mencaci Agnez, marilah kita belajar banyak hal darinya. Kita bisa memetik hikmah demi menyuburkan benih-benih kerja keras dan semangat dalam diri kita. Dia bisa menjadi inspirasi buat kita semua bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit.
Kesuksesan hanya dari kerja keras serta proses menyempurnakan diri untuk terus belajar. Ia membuka mata kita semua bahwa usia muda tak selalu bermakna hijau alias tak matang. Pada Agnez, kita bisa belajar beberapa hal:
Pertama, kita belajar tentang bagaimana menanam mimpi dan menyuburkannya secara terus-menerus. Beberapa tahun silam, Agnez selalu menyebut ambisinya tentang go international. Demi mimpi itu ia tak pernah surut.
Ia memiliki langkah-langkah kecil untuk menggapai mimpinya. Ia tak mau sekedar diam dan menunggu. Ia berbuat dan melakukan beragam daya dan upaya untuk menggapai mimpinya itu. Penulis Paolo Coelho mengatakan, tak masalah sebesar apa pun mimpimu, namun semuanya tergantung pada seberapa kuat usaha untuk menggapai mimpi itu.
Kedua, Agnez mengajarkan kita tentang pentingnya kerja keras dan perubahan. Saya tak pernah lupa tayangan ketika dirinya menjadi presenter di acara American Music Awards. Ia dikritik karena kemampuan bahasanya yang rendah.
Media mencatat, bahwa setahun setelah acara itu, ia tampil membawakan presentasi dalam bahasa Inggris di hadapan ratusan orang di Pacific Place Mall, Jakarta. Ia berbicara tentang “Dream, Believe, and Make It Happen” dalam bahasa Inggris yang fasih dan mengundang decak kagum. Bahkan, seorang moderator berkebangsaan AS sempat memberikan pujiannya terhadap Agnez, “Penggunaan bahasa Inggris-nya lebih baik ketimbang saya berbicara bahasa Indonesia.”
Ketiga, Agnez mengajarkan kita tentang dedikasi pada profesi. Sejak masih kecil, ia tahu bahwa jalan hidupnya adalah menjadi seorang penyanyi. Demi pilihan itu, ia mengasah diri. Di tanah air, tak banyak penyanyi cilik yang sukses bertransformasi menjadi penyanyi dewasa yang penuh prestasi. Ia sukses melakukannya sekaligus sukses menuai prestasi.
Keempat, Agnez mengajarkan kita untuk berani menghadapi tantangan-tantangan baru. Ia tak hendak berpikir nyaman dengan menikmati ketenaran sebagai diva musik tanah air. Ia menjemput tantangan baru dengan memasuki jantung musik dunia. Kalaupun ia belum sesukses Anggun, ia telah meniti di atas jalan yang sama, dan kelak akan menempatkannya pada posisi yang sukar digapai penyanyi tanah air lainnya.
Di tanah air, kita terbiasa dengan hidup yang datar-datar saja. Sering kali, kita tak siap dengan hidup ala roller coaster. Ketika melihat seseorang hendak keluar dari zona datar, kita sering tak nyaman dan merasa terganggu. Kita lalu melekatkan berbagai label seperti ambisius, gila, cari popularitas, dan banyak sebutan lainnya. Kita memelihara energi negatif, yang semakin membuat kita semakin tidak produktif dan sibuk memperhatikan orang lain.
Sebagaimana halnya Agnez, jauh lebih jika kita mengasah diri, dan menyalakan motivasi dalam hati kita, yang kemudian menjadi cahaya terang untuk menemani batin kita di belantara kehidupan.
Jauh lebih baik jika kita menyerap energi positif dari semua orang, kemudian mentransformasikannya menjadi kerja keras yang menghiasi setiap langkah kita sehingga ladang kehidupan kita akan semerbak dengan bunga-bunga prestasi serta jejak-jejak indah dalam sejarah kehidupan kita.
Dia jangan dihukum. Lebih baik kuatkan dirinya agar selalu melihat Indonesia sebagai tanah air yang diperjuangkan dan dicintai dengan sepenuh jiwa.
4 komentar:
Ulasan yang sangat mengenal, Bang Yus, ngak pernah bosan dan terus menunggu, membaca ulasan ulasanmu. Thanks bro
makasih atas komennya ibu inang. salam untuk Brigi.
Setuju bang👍
makasih krn udah singgah di sini
Posting Komentar