Membaca Storynomics




Mulanya saya penasaran ketika Luhut Binsar Panjaitan menyebut konsep Storynomic untuk pengembangan pariwisata. Saya googling, kata ini dikutip banyak pelaku pariwisata. Maksudnya, Anda tak mungkin bicara wisata kalau tak punya cerita yang hendak dibagikan.

Makin penasaran dengan kata ini saat membaca artikel di National Geographic kalau UGM kembangkan Borobudur dengan basis storytelling sebagai elemen penting dari storynomic.

Saya telusuri lagi ternyata kata ini diambil dari salah satu buku yang direkomendasikan para pelaku ekonomi digital. Buku itu berjudul Storynomics: Story Driven Marketing in the Post Advertising World yang ditulis Robert McKee, terbit tahun 2018.

Buku ini membahas bagaimana promosi atau iklan gaya lama yang kini digusur oleh storytelling atau pendekatan bercerita. Hollywood telah lama memakai teknik bercerita ini untuk periklanan dan film. Dalam konteks ekonomi, satu cerita bisa menjadi jantung dari tubuh bisnis, pemasaran, branding iklan, dan kegiatan ekonomi.

Storytelling adalah fundasi utama dari pemasaran konten. Anda tak mungkin memasarkan sesuatu jika tak punya kisah menarik. Kita sama tahu, sekarang ini banyak orang yang terlalu mendewakan big data untuk memahami manusia.

Tapi penulis buku ini membantahnya. Menurutnya, kekuatan perubahan bukanlah data. Manusia punya banyak aspek sosial, budaya dan ekonomi yang tak bisa dikuantifikasi. Kita perlu memahami aspek psikologis, sosiologis, dan antropologis di mana manusia hidup. “Taruh data dalam cerita, maka pengalaman hidup akan terasa masuk akal,” katanya.

Sebagai seorang pembual yang tak pernah kehabisan bahan cerita, buku ini ibarat peta yang menuntun ke mana hendak bergerak. Saya melihat ada trend semua lembaga, perusahaan, perguruan tinggi, politisi, kantor2, bahkan warung untuk lebih membuka diri di era 4.0. Tapi tidak semua paham apa yang cerita yang harus dibagikan untuk mengikat audiens.

Saya melihat beberapa hal yang dibahas di sini sudah saya lakukan, meskipun dengan bahasa berbeda. Saya baru tahu kalau konsepnya sudah semakin berkembang hingga jadi storynomics.

Sayang, saya belum baca tuntas buku yang terbit tahun 2018 ini. Saya membelinya seharga 10 ribu rupiah melalui online. Lumayan, saya tak perlu memesan melalui Amazon atau mendatangi Periplus.

Baru membaca bagian awal, saya sudah tahu kalau buku ini punya kemampuan untuk menyedot pembacanya hingga lembar terakhir.



0 komentar:

Posting Komentar