Lelaki MUSLIM di Sisi Ratu INGGRIS


poster film Victoria & Abdul

SETELAH 130 tahun kisah yang disembunyikan itu, akhirnya dibuka ke publik. Ratu Victoria (1819-1901), pemimpin Inggris memiliki abdi setia bernama Abdul Karim, yang berasal dari India. Tak sekadar abdi atau pelayan, Abdul Karim menjadi guru yang mengajarkan sang ratu banyak aspek tentang Islam, Al Quran, hingga kearifan timur. Bahkan jelang kematian penguasa Inggris itu, Abdul Karim membisikkan puisi indah dari Jalaluddin Rumi.

Dari lorong-lorong gelap istana Inggris, kisah ini dirahasiakan. Hingga akhirnya seorang jurnalis India menelusuri kisah itu, membaca banyak arsip, termasuk melihat catatan-catatan sejarah. Dia lalu menulis buku yang kemudian heboh. Berkat kebaikan rumah produksi Hollywood, kisah indah yang tak terdengar publik itu kini hadir di layar kaca, pada film Victoria & Abdul. 

Saya menyaksikan film Victoria & Abdul ini dengan hati berdebar-debar. Betapa tidak, sejarah memang penuh debu-debu dan kabut yang sengaja dihampar untuk membuat mata kita rabun memandang realitas. Film ini dibintangi Judie Dench dan Ali Fazal, aktor India yang pernah bermain dalam 3 Idiots. Film ini dibuat tahun 2017, tapi saya baru bisa menyaksikannya tahun ini melalui situs gratisan di internet.

Kisahnya dimulai ketika penguasa Inggris, Skotlandia, Kanada, hingga India itu hendak merayakan 50 tahun naik tahta. Pada masa itu, Seorang pria India dikirim ke Inggris untuk menyerahkan mohur atau koin emas sebagai cenderamata dari negara jajahan Inggris. Pria yang bertugas sebagai pelayan itu adalah Abdul Karim, seorang pencatat di rumah sakit. Ia berani melabrak aturan dengan menatap langsung mata sang ratu. Pada momen ini, Ratu tertarik.

Tak cukup sampai di situ, Abdul juga melanggar aturan keprotokoleran ketika mengantar makanan untuk ratu di satu jamuan. Ia tunduk dan mencium ujung sepatu ratu yang berumur 60-an tahun itu. Hingga akhirnya dipanggil Ratu dan diajak berbincang-bincang. Ratu terkesima oleh wawasan dan kearifan yang dimiliki Abdul. 

Pada satu kesempatan, Ratu curhat tentang kondisinya yang setiap hari berhadapan dengan orang tamak dan pencari muka, Abdul dengan tenangnya mengutip Quran sembari berkata bahwa tujuan manusia adalah melayani sesamanya. Ratu terkesima.

Abdul mengaku dirinya seorang Muslim yang menghafal Quran di luar kepala. Ia seorang hafiz yang dahulu belajar pada seorang munshi (guru) yakni ayahnya sendiri. Ratu juga ingin belajar, lalu meminta Abdul menjadi munshi. Abdul bersedia, akan tetapi statusnya sebagai pelayan harus ditanggalkan dahulu.

Hubungan itu berubah menjadi seorang murid dan munshi. Abdul mengajari Ratu bahasa Urdu, juga aksara Arab. Abdul juga memperkenalkan kisah-kisah menarik di timur. Mulai dari monumen Taj Mahal yang didedikasikan seorang raja pada permaisurinya yang meninggal, hingga mangga, yang disebut Abdul sebagai raja buah-buahan. Saking tertariknya, Ratu memesan mangga dari India. Melalui saling belajar itu, keduanya menghabiskan waktu bersama-sama sehingga terdapat rumor kalau hubungan keduanya lebih dari itu. 

Kalangan Istana merasa gerah melihat hubungan dekat itu. Dipimpin Pangeran Edward bersama pangeran lainnya hendak menyingkirkan Abdul. Pada masa itu, rasisme sedang mencapai titik puncak. Banyak kaum kulit putih di Inggris merasa hina ketika duduk semeja dengan seseorang yang berasal dari tanah jajahan India, yang penduduknya punya kulit berwarna.

Mereka makin terhina saat Ratu hendak memberikan gelar knight atau ksatria kerajaan kepada Abdul. Berbagai upaya menyingkirkan Abdul dimulai. Lebih terhina lagi setelah tahu Abdul seorang Muslim. Bagi orang Inggris, figur pemimpin bukan hanya mengepalai negara, tapi juga semua gereja besar yang ada di sana. Namun semuanya kandas karena Ratu Victoria sangat menyayangi abdi setianya itu.

Foto asli Victoria & Abdul (kiri), sebelahnya adalah adegan film

Hingga akhirnya, Ratu berada di akhir hidupnya. Saat dikelilingi anak dan cucu, serta keluarga istana, Ratu meminta agar dirinya hanya ditemani Abdul. Di sinilah terjadi dialog yang menggetarkan. Abdul meyakinkan Ratu bahwa dirinya sedang melakukan perjalanan yang paling membahagiakan sebab akan bersatu dengan-Nya. Ia lalu mengutip syair Jalaluddin Rumi: 

“Listen, O little drop, give yourself up without regret, and in return you will gain the Ocean. Let your self away, and in the great Sea, you will be secure.”
“Wahai tetesan air. Serahkan dirimu tanpa penyesalan. Dan sebagai balasannya, kamu akan mendapatkan Samudera. Biarkan dirimu pergi, dan di samudera luas, kau akan aman.”

Ratu berucap Alhamdulillah. Selanjutnya, kamera mengambil gambar orang-orang yang berada di luar. Entah apa yang terjadi di dalam. Yang saya bayangkan adalah Abdul membisikkan dua kalimat syahadat, yang sengaja tidak ditampilkan dalam film. Setelah Abdul keluar ruangan, Ratu meninggal dalam damai.

Kisah Sejarah

Kisah keduanya menarik untuk ditelusuri. Pada saat itu, Ratu Victoria telah berusia 60-an tahun. Dia telah menjadi nenek, yang tiba-tiba merasa sangat bahagia saat bersama Abdul. Sementara Abdul sendiri telah punya istri, yang kemudian difasilitasi Ratu agar datang ke Inggris bersama keluarga Abdul. 

Orang pertama yang menelusuri kisah ini adalah wartawati India bernama Shrabani Basu. Mulanya, dia melihat lukisan Abdul tengah memegang sebuah buku dan mengenakan pakaian yang tampak seperti bangsawan. Hal ini tidak biasa bagi seorang India yang berada di tanah si penjajahnya, pada zaman akhir tahun 1800-an ketika India belum merdeka dari pendudukan Inggris. 

Sebagaimana dikutip dari BBC, Basu kemudian melacak jejak Abdul hingga ke Istana Windsor dan menemukan sebuah buku harian yang digunakan Ratu Victoria berisi aksara Arab berbahasa Urdu, dan diduga merupakan tulisan tangan sang ratu sendiri yang mempelajari bahasa tersebut. 

Dalam perjalanannya melacak jejak mantan petugas pencatat rumah sakit tersebut, seorang anggota keluarga Abdul Karim yang masih tersisa pun menghubungi Basu dan memberikannya buku catatan harian kepunyaan Abdul. Dari situlah Basu mengumpulkan semua data dan membukukannya menjadi sebuah buku biografi berjudul Victoria & Abdul: The Truse Story of the Queen's Closest Confidant.

"Cerita ini bukan fiksi, ini fakta. Apa yang ditunjukkan di film, bukan didramatisir... Ini terjadi. Ratu Victoria belajar bahasa Urdu, ia ingin mangga dan dia membela Abdul Karim. Terdengar fantasi, namun tidak," kata Basu kepada Time.



Basu juga mengatakan yang terpenting adalah kisah ini akhirnya diangkat. "Kisah ini yang dicoba dihapus Inggris. Sangat penting untuk diangkat. Ratu Victoria belajar bahasa Urdu selama 13 tahun, itu penting, khususnya karena banyak terjadi rasisme terjadi banyak sentimen anti-Muslim" tambahnya.

Melalui surat-surat pribadi Victoria pada Abdul yang ditemukan, Victoria menganggap Abdul layaknya seorang anak. Di setiap akhir surat, ia memberi tanda 'your loving mother' dan 'your closest friend'. Namun hubungan ini lantas dinilai menjadi ambigu ketika di beberapa surat lain, Victoria kerap membubuhkan tanda bibir di akhir surat yang ia berikan pada Abdul. 

"Sejak itu, hubungan ini dianggap lebih dari sekadar persahabatan. Terlebih dengan jarak usia yang begitu jauh di mana saat itu sang ratu sudah berusia lebih dari 60 tahun," ujar Shrabani Basu, penulis biografi sang ratu dan sang pelayan yang kini diangkat ke layar lebar. 

Hubungan Ratu Victoria dan Abdul dianggap sangat kontroversial oleh anggota keluarganya sehingga semua dokumennya dibakar. Menurut The Telegraph, putra Ratu Victoria, Edward, langsung meminta surat apa pun terkait Ratu dan Abdul dibakar. Abdul dan keluarganya juga diusir dari rumah yang diberikan ratu kepadanya dan dia dikirim balik ke India. Putri Victoria, Beatrice, menghapus dan membuang semua acuan terhadap Abdul di jurnal-jurnal Ratu. 

Victoria bersama Abdul

Selama lebih dari 100 tahun, dokumen-dokumen ini tak berbekas sampai ditemukan oleh Basu yang melihat ada petunjuk di kediaman musim panas zaman Ratu Victoria, dan meneliti lebih lanjut hubungannya dengan Abdul.

Menurut pakar sejarah, keluarga Victoria dan staf kerajaan memandang sebelah mata Abdul karena berasal dari India dan juga ditambah dengan kecemburuan mereka karena Ratu memperlakukan gurunya secara istimewa. 

Sejarawan Carolly Erickson dalam bukunya Her Little Majesty menulis, "Bagi orang India berkulit gelap dan disejajarkan dengan pembantu kulit putih ratu merupakan satu hal yang tak bisa diterima, duduk di satu meja bersama mereka, dan bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu penghinaan." Sekretaris pribadi ratu, Fritz Ponsonsby, dalam satu suratnya yang berisi protes terkait Abdul menulis, "Ratu mengatakan yang terjadi adalah berprasangka karena rasis, dan bahwa kami cemburu dengan Munshi."

***

KISAH saling sayang antara guru dan murid itu akhirnya dibuka ke hadapan publik. Kontroversi sejarah akan terus berlanjut, sebab sejarah memang tak hendak menarik satu versi. Kisah ini menarik sebab tak hanya bicara tentang bagaimana dua insan beda kelas, tiba-tiba disatukan oleh rasa ketertarikan yang sama, tapi juga banyak aspek terkait budaya, sejarah, sentimen etnis, hingga agama yang bermain di situ.

Saya menyukai kisah-kisah seperti ini. Sejak dulu, saya meyakini bahwa ada banyak sisi lain dari kepingan sejarah yang harus ditelusuri demi menemukan semangat zaman. Pada sosok seperti Abdul, kita belajar kearifan untuk memperlakukan semua orang dengan haik, sehingga dirinya pun mendapat perlakuan dalam kadar yang sama. Pada Victoria, kita bisa belajar bahwa pencerahan itu serupa setitik api yang bisa hadir di tengah-tengah kegelapan, sehingga membuat seseorang terus bergerak mendekati cahaya.

Dalam segala keputus-asaan dan kebosanan di Istana Inggris, Victoria menemukan sosok yang menyalakan api dalam dirinya. Victoria menemukan cahaya tentang iman sebagaimana disulut oleh Abdul, seorang pelayan dari negeri jajahan yang jauh. Victoria akhirnya bisa keluar dari pandangan sempit segregasi etnik yang merupakan warisan dari cara berpikir yang memandang diri lebih mulia daripada orang lain.

Pada Victoria dan Abdul, kita menyimpan banyak catatan.



0 komentar:

Posting Komentar