Kisah Diplomat Amerika yang Menggelar Kampanye Anti-Teroris di Indonesia


Stanley Harsha bersama anak-anak Indonesia

BANYAK orang di sekitar kita yang beranggapan bahwa mustahil seorang Muslim melakukan teror bom. Banyak yang meyakini bahwa teror bom itu adalah rekayasa untuk menjatuhkan citra Islam. Bahkan, banyak yang menyebar informasi melalui media sosial kalau pihak yang merekayasa teror itu adalah Amerika Serikat. 

Bagaimanakah jika Anda menjadi seorang warga Amerika Serikat di Indonesia yang berhadapan dengan berbagai isu tersebut? Berikut kita ikuti catatan seorang diplomat di Kedubes Amerika Serikat yang selama bertahun-tahun meyakinkan orang Indonesia bahwa ada sejumlah orang yang memang berpotensi melakukan teror.

***

STANLEY Harsha amat gembira saat bertugas di Indonesia. Bulan Agustus 1986, dia diterima bekerja di Kementerian Luar Negeri, Amerika Serikat. Ketika diminta memilih hendak bertugas di negara mana, lulusan University of Colorado ini memilih Indonesia dengan pertimbangan Indonesia adalah negeri yang eksotik. Siapa sangka, setahun setelah bertugas, dia jatuh cinta pada perempuan Indonesia, kemudian menikah. Dia pun pindah agama menjadi Islam.

Dalam buku berjudul Seperti Bulan dan Matahari: Indonesia dalam Catatan Diplomat Amerika, Stanley menuliskan catatan harian tentang pengalamannya selama berada di Indonesia. Ia bercerita bagaimana dirinya berusaha memahami kebudayaan Jawa demi menikahi seorang perempuan Jawa. Ia juga belajar memahami berbagai simbol budaya serta kebiasaan masyarakat Indonesia. Ia belajar dari berbagai pengalaman, lalu memberikan catatan kritis, sekaligus refleksi atas pengalamannya.

Biarpun Stanley adalah orang Amerika, separuh dirinya sudah menjadi orang Indonesia. Istri, anak, dan mertuanya adalah orang Indonesia. Dia pun telah menjadi seorang Muslim yang taat. Dia bekerja di kantor Kedubes AS di Jakarta pada periode yang cukup berat. Pada masa dirinya bekerja, terjadi peristiwa serangan teroris di Gedung WTC. Presiden AS saat itu George Walker Bush melancarkan perang pada terorisme. Amerika membombardir beberapa lokasi yang diduga sebagai markas para teroris.

Di Indonesia, sentimen anti-Amerika menguat. Banyak tokoh agama yang mengecam Amerika. Stanley terheran-heran karena banyak orang Indonesia yang tidak percaya dengan bukti-bukti yang disodorkan kalau Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden adalah otak dari penyerangan itu. Malah, yang muncul adalah berbagai teori konspirasi kalau pelakunya adalah Amerika sendiri. Tugas Stanley adalah meyakinkan orang Indonesia bahwa peristiwa itu benar adanya, dan tidak mungkin pihak Amerika Serikat membuat konspirasi itu.

Saat Amerika Serikat menyerang markas Al Qaeda di Afganistan, banyak pemimpin ormas Islam menyatakan jihad. Tapi jihad mereka tidak dilakukan di Afganistan, melainkan dengan cara berdemonstrasi di depan Kedubes AS. Dalam situasi ini, Stanley memikirkan banyak solusi untuk meyakinkan banyak orang dengan fakta-fakta yang mereka miliki.

Ia melihat media-media Indonesia sering melakukan provokasi. Ia punya catatan lengkap bagaimana pemberitaan media yang membuat framing seakan-akan perang yang dilancarkan Amerika sebagai perang yang hendak menghancurkan Islam. Gara-gara pemberitaan itu, Kedubes AS menjadi sasaran demonstrasi banyak pihak yang kemudian membakar bendera Amerika. Sering, Stanley tidak bisa keluar kantor sehingga terpaksa bermalam. Kantor Kedubes AS serupa benteng yang dipasangi kawat berduri.

Dalam situasi yang cukup berat itu, pihak Kedubes tetap tenang menghadapinya. Sebagai Atase Pers, Stanley setiap hari mengirimkan berlembar-lebar informasi tentang apa yang dilakukan negaranya kepada media-media di Indonesia. Dia juga menghubungi media untuk melakukan dialog dan menyampaikan sikap Amerika. Tak hanya itu, brosur tentang jaringan teroris juga disebar ke semua media dan tokoh politik agar memahami bahwa terorisme juga bisa mengintai Indonesia kapan saja.

Pada masa itu, Duta Besar AS adalah Ralph L Boyce juga membuka keran dialog dengan semua tokoh Islam. Pernah, kata Stanley, Kedubes AS dikepung pendemo dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Boyce meminta Stanley mengundang masuk pimpinan pendemo lalu berbicara dengan mereka. Setelah dialog, akhirnya semua massa bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Boyce meyakinkan semua orang kalau Amerika tidak bermaksud menyerang Islam. Pemerintah AS siap bekerja sama dengan semua pihak demi memberantas terorisme yang bisa menyarang siapa saja.

Stanley melakukan media visiting ke semua media. Bahkan ia juga mendatangi Sabili, majalah yang sering menebar kabar kebencian pada pihak Amerika. Berkat kunjungan itu, tensi pemberitaan ekstrem Sabili menurun, serta memberikan ruang bagi informasi dari pihak Amerika. Bekerja sama dengan sejumlah Muslim moderat, Kedubes AS sering mengirim utusan untuk berdialog dengan pihak pesantren, serta memberikan donasi berupa buku-buku yang diharapkan bisa menjadi jembatan dialog.



Dalam buku ini, saya menemukan betapa rapinya cara kerja pihak kedubes. Mereka rajin mengamati semua wacana, membaca liputan semua koran, membuat analisis media, setelah itu merencanakan berbagai program. Mereka tekun mengadakan riset untuk menghitung sejauh mana persepsi warga Indonesia atas Amerika. Digabungkan dengan analisis media, mereka lalu merumuskan hendak melakukan apa. Di antara program yang dilakukan adalah mengunjungi elite politik, pemimpin, ataupun semua lembaga ormas serta pesantren.

Saat sweeping tengah marak, ia sempat merasa tidak aman sekaligus mengkhawatirkan keluarganya. Ia lalu mengungsikan keluarganya ke Amerika. Sebagai pihak kedubes, ia mesti menjalankan misi untuk menangkis kemarahan masyarakat sekaligus berusaha memastikan semua warga Amerika tetap aman dari tindakan anarkisme. Ia rajin memberikan informasi kepada warga Amerika. Di saat bersamaan, ia juga menggelar beberapa program. Di antaranya adalah kunjungan ke elite-elite politik Indonesia, kunjungan ke semua pemimpin media, serta kunjungan ke semua organisasi ormas.

Tantangan yang dihadapinya adalah (1) bagaimana menjelaskan ke banyak orang Indonesia tentang bahaya terorisme, (2) bagaimana meyakinkan orang-orang bahwa Amerika tak pernah membenci umat Muslim, sebab yang dibenci adalah oknum pelaku kekerasan, (3) bagaimana menjelaskan sikap Amerika yang selalu ingin bersahabat dengan siapa pun. Ia selalu mengacu pada Pew Research yang menyatakan bahwa sebagian besar warga Indonesia tidak percaya dengan wacana terorisme yang selalu diteriakkan Amerika.

Yang saya saluti adalah langkah-langkah yang dilakukan pihak kedubes selalu mengacu pada riset dan pengayaan data. Saya bisa merasakan betapa rapinya kegiatan pengumpulan data, riset lapangan, serta analisis pemberitaan media yang mereka lalukan. Pihak kedubes juga menggelar kampanye diplomasi publik. Mereka membuat satu tim untuk menangani kampanye anti-terorisme. 

Hampir setiap hari mereka mengirimkan hak jawab ke semua media massa, menghubungi tokoh-tokoh masyarakat, lalu menyebarkan brosur ke lebih dari 3.000 pesantren. Meskipun kampanye itu digelar secara simultan, Stanley mengakui bahwa kebanyakan orang Indonesia; (1) tetap menganggap Osama bin Laden tidak bersalah dan bukan ancaman dunia, padahal bukti-bukti kuat telah disampaikan, (2) tetap menganggap bahwa serangan teroris 11 September bukan ancaman bagi dunia, (3) tetap menganggap perang melawan teroris adalah perang melawan Islam.

***

KESADARAN memang membutuhkan proses untuk menggapai kematangannya. Ketika bom meledak di Bali, warga Indonesia baru sadar tentang bahaya nyata terorisme. Ketika bom kembali meledak di Hotel JW Mariott, barulah tokoh-tokoh politik mempercayai tentang ancaman terorisme. Beberapa pemimpin ormas keagamaan mulai berbicara lain ketimbang sebelumnya. Meskipun malu-malu, mereka mulai mengakui ancaman terorisme serta perlunya meningkatkan kewaspadaan sebab bom bisa meledak di mana saja dan mengancam siapa saja. 

Akan tetapi, tetap saja ada anggapan kalau bom di Bali dan Hotel JW Marriott itu adalah settingan Amerika. Padahal, sejak awal peta jaringan teroris sudah disebar. Kesulitannya adalah mayoritas orang Indonesia beranggapan bahwa corak keberagamaan orang Islam di mana-mana sama. Tak banyak yang mau mengakui bahwa ada sejumlah orang Islam yang justru memelihara paham radikal, melihat pemerintah sebagai taghut, dan ingin menggantikan dasar negara menjadi Islam. Harus diakui pula, ada sejumlah orang Muslim yang percaya bahwa perjuangan harus dilakukan dengan cara perjuangan bersenjata.

Kembali, tokoh-tokoh Islam mengeluarkan pernyataan yang isinya adalah kecaman pada Amerika. Hingga akhirnya tertangkapnya Amrozy cs membuat semua pihak sadar bahwa memang ada sejumlah orang di sekitarnya yang berniat melakukan teror dan membunuh orang yang berbeda keyakinan. Barulah mata banyak orang terbuka kalau di sekitar kita ada banyak orang yang berani melakukan teror dan korbannya bisa siapa saja, termasuk keluarga kita.

Stanley mengakui kerja Kedubes AS menjadi lebih berat karena harus membangun jembatan komunikasi dengan sejumlah tokoh Muslim agar memahami beberapa fakta yang sudah ada, dan tidak terjebak pada teori konspirasi. Sering kali kebencian buta menjadi penghalang bagi seseorang untuk melihat cahaya kebenaran. Tak adil juga memusuhi bangsa Amerika dengan hanya berdasar pada satu atau dua keping informasi, yang boleh jadi bahannya hanya kutipan dari satu media yang belum tentu berdasar pada fakta. 

Saya bayangkan, andaikan dia bekerja di Kedubes AS sekarang, pastilah dia akan terkejut melihat banyaknya hoaks dan informasi di media sosial yang isinya kebencian pada Amerika, serta analisis abal-abal yang seolah-olah isinya bersumber dari fakta demi fakta. Stanley akan sulit memahami, aplikasi media sosial buatan Amerika Serikat menjadi lahan subur bagi berkembangnya paham radikal yang sangat berpotensi menjadi teror di masa mendatang.

Bagi saya, buku ini sangat bagus untuk memahami bagaimana orang Amerika memandang Indonesia. Di banyak tempat, ada kekaguman serta hikmah yang bertebaran. Ada juga sikap kritis melihat Indonesia dari sisi orang asing yang datang sebagai diplomat. Melalui berbagai cara pandang itu, kita bisa menyerap banyak pelajaran untuk memperkaya pengetahuan kita tentang tanah air yang kita cintai beserta beragam masyarakatnya.

Seperti halnya judul buku Seperti Bulan dan Matahari, Stanley menilai Indonesia dan Amerika seperti itu. Keduanya sangat berbeda, namun memiliki keindahan. Jika saja keduanya selalu melakukan dialog dan kolaborasi, maka keindahan itu bisa sama-sama dirasakan. Semoga.



0 komentar:

Posting Komentar