Sekeping Inspirasi di Kota Manado


Kutipan di Bandara Sam Ratulangi

KISAH sebuah kota bukan saja kisah tentang deru knalpot kendaraan bermotor. Bukan juga kisah tentang gedung-gedung tinggi dan jalanan macet yang riuh di pagi dan sore hari. Kisah sebuah kota adalah kisah manusia-manusia yang serupa kuas telah menggoreskan jejak warna-warni di kota itu. 

Di Kota Manado, kota indah di utara tanah air, saya bertemu banyak sosok penuh inspirasi. Pada diri mereka, saya menemukan wajah lain dari kota yang sepintas telah lama dilumat oleh hedonisme dan adu cepat di sirkuit pencarian kekayaan. Berkat mereka, saya melihat sisi lain kota yang sepintas tampak tenang dan adem-ayem di timur. Mereka memberikan identitas dan sukma bagi kota yang menjadi jejak basah bagi siapa pun yang hendak menelusurinya. 

Saatnya berkenalan dengan Benny Ramdhani. Mari jo!

*** 

SUARA bapak itu agak pelan ketika mulai presentasi. Dia diperkenalkan sebagai tokoh lokal Manado. Namanya Benny Rhamdani. Usianya sekitar 40-an tahun. Tubuhnya tinggi besar dan agak tambun. Kumis melintang bertengger di atas bibirnya. Tampaknya, semua orang di Manado sangat mengenalnya. Ketika MC mempersilakan dia untuk bicara, semua orang bertepuk tangan.

Dalam acara yang digelar Kami Indonesia bersama MPR RI di kampus Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano, dia mendapat giliran presentasi setelah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan anggota DPR RI Akbar Faisal. Dua presenter sebelumnya tampil berapi-api dan penuh semangat. Benny justru memulai kalimat dengan tenang.

Dia mengutip teks kitab Injil, kemudian teks dalam Al Quran yang isinya salam dan ucapan selamat sejahtera. Sepintas, gaya retoriknya mengingatkan pada seorang penginjil di gereja. Setelah salam, dia bertanya pada hampir seribu mahasiswa Unima di ruangan itu: “Ada di sini yang beragama Hindu? Islam? Ada yang Nasrani?” Bergantian mahasiswa mengacungkan tangan. “Apakah kalian merasakan ada masalah?” Semua menjawab tidak. 

“Saya ingin berkata pada semua teroris, enyahlah kalian dari Indonesia. Kita tak punya masalah antar agama. Kita baik-baik saja dan hidup rukun harmonis selama berabad-abad,” katanya yang diiringi tepuk tangan membahana.

BACA: Pahlawan Belia di Kota Manado

Benny adalah anggota DPD dari Sulawesi Utara. Ketika bertemu dengannya, saya tak menyangka dirinya berasal dari provinsi yang dikenal sebagai bumi nyiur melambai ini. Fisiknya jauh dari fisik kebanyakan orang Manado yang putih-putih. Ternyata dia lahir di Jawa Barat dari keluarga yang terbilang miskin, kemudian “dibuang” ke Talaud. Dirinya menjadi representasi dari keragaman dan multi-kulturalisme di utara Sulawesi. Dia dari Jawa Barat, besar di Talaud, kuliah di Manado, kemudian terpilih menjadi wakil rakyat Sulawesi Utara di Senayan. 

Ketika kuliah di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Benny tampil sebagai aktivis dan demonstran. Di masa-masa Presiden Soeharto menjadi sosok otoritarian yang menghadirkan teror bagi rakyat, Benny justru memilih jalan tidak biasa yakni menjadi aktivis dan demonstran. Dia getol melakukan demonstrasi di kampus Unsrat, yang disebutnya sebagai kampus yang penuh dengan mahasiswa hedonis. “Saya sering demonstrasi sendirian karena mahasiswa tidak peduli dengan pesan yang mau saya sampaikan,” katanya.

Benny menjalin relasi dengan aktivis Pijar yakni Nuku Sulaeman, serta aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dia pun berangkat ke Jakarta bulan Januari 1998 demi bergabung dengan aksi mahasiswa kampus lain. Dia melakukan tindakan heroik yakni mengiris tangan hingga mendapatkan 25 jahitan ketika berdemonstrasi di kampus UI. Dia meminta pertanggungjawaban mahasiswa UI yang dianggapnya telah melahirkan Orde Baru.

Tak cuma itu, dia juga melakukan mogok makan di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama rekannya Wahab Talaohu. Dalam aksi yang dijagai langsung oleh advokat senior Adnan Buyung Nasution dan Munir itu, Benny dilarikan di Rumah Sakit St Carolus untuk dirawat. Saat baru diinfus selama 3,5 jam, dia dilarikan ke rumah Gus Dur di Ciganjur karena ada isu aparat yang hendak menangkapnya. 

Dalam pelarian itu, Benny dirawat seorang suster di Carolus yang setiap menundukkan badannya akan menjuntai kalung rosario. Dalam keadaan sakit, Benny menggenggam kalung rosario itu kemudian berbisik, “Kalau saya sembuh, saya ingin minta kalung ini sebagai jejak kenangan kalau saya pernah dirawat dalam kasih Tuhan yang mengalir melalui dirimu.” 

Setelah 20 tahun peristiwa reformasi, Benny mengisahkan pengalamannya itu di hadapan mahasiswa. Dia tak malu-malu menceritakan dirinya drop out dari kampus karena sering melakukan demonstrasi. Justru pengalaman drop out itu menjadi cambuk bagi dirinya untuk terus melesat dan sukses di bidang lain. Dia mengasah dirinya sebagai pembela kelompok yang dimarginalkan oleh kebijakan pemerintah.

Berkat reformasi, dirinya punya kesempatan untuk memasuki panggung politik. Dia lalu memaksimalkan kekuatan jejaring yang telah dibentuknya sejak masih menjadi mahasiswa. Dia memberanikan diri untuk maju ke panggung politik hingga akhirnya sukses menjadi anggota DPRD Sulawesi Utara selama dua periode, kemudian tampil di DPD RI sebagai wakil rakyat Sulawesi Utara.

BACA: Mawar Cantik Kota Manado

Tak banyak yang tahu kalau dirinya tidak menamatkan pendidikan di level sarjana. Bahkan Rektor Unsrat pun baru tahu kalau Benny tak lulus kuliah. Kepada mahasiswa, Benny membagikan inspirasi. “Biarpun kamu di-DO, tapi bukan berarti kehidupan kamu berakhir di situ. Bukan berarti kamu akan terjebak dalam kebodohan. Tapi justru harus menjadi kekuatan bagi kamu untuk menemukan apa yang terbaik bagi dirimu,” Semua mahasiswa bertepuk tangan.

Saya yang berada di ruangan itu ikut bertepuk tangan. Saya teringat ucapan filsuf Lao Tze: “Failure is great opportunity.” Kegagalan adalah peluang besar untuk berbuat sesuatu. Ketika satu pintu tertutup, maka pintu-pintu lain akan terbuka. Saat seseorang gagal, bulan lantas dirinya akan gagal di semua bidang kehidupan. Justru seseorang akan menemukan pintu-pintu lain yang bisa melejitkan potensinya untuk menjadi pribadi unggul. Benar kata seorang filsuf: “When we hit our lowest point, we are open to a greatest change.” Ketika kita mencapai titik paling terpuruk, maka kita baru saja membuka perubahan besar dalam hidup kita.

patung depan Manado Town Square

Beruntunglah Kota Manado yang punya banyak sosok hebat seperti Benny. Pada sosok seperti ini, kita menemukan banyak pelajaran yang kelak akan menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Namun, kehidupan Benny masih akan terus bergerak. Sikap heroiknya pada masa reformasi akan terus ditantang oleh sejarah. Jika suatu saat ia terlibat kasus korupsi, maka jejak emasnya akan terhapus begitu saja. Tantangan berat yang dihadapinya adalah bagaimana tetap menjaga spirit reformasi dan berbuat sesuatu yang lebih bagi daerah yang diwakilinya.

Dirinya juga tak sendirian. Selain dirinya, tentu ada banyak sosok-sosok lain yang memberikan banyak pelajaran bagi warga kota untuk tidak selalu egois dalam kehidupan, namun meletakkan sekeping pelajaran bagi orang lain. Sosok-sosok hebat ini tak selalu tercatat sejarah, tapi mereka punya peran kecil untuk mengingatkan orang lain tentang sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih bermakna.

Saya meyakini bahwa setiap pengalaman adalah keping pelajaran berharga, yang jika dikumpulkan akan menjadi hamparan hikmah bagi pengayaan jiwa seseorang. Kelak, kita pun akan memberikan inspirasi bagi kehidupan yang akan menjadi tanah gembur bagi tumbuhnya tunas-tunas baru yang memenuhi bumi dengan udara kebaikan.

Di masa silam, peran-peran sebagai sosok inspiratif itu telah dengan amat baik dilakoni oleh Sam Ratulangi, seorang doktor bidang ilmu pasti dari Universitas Zurich yang kemudian mendedikasikan hidupnya untuk republik yang tengah tumbuh tunasnya. Ratulangi meninggalkan hidup mapan demi menjawab panggilan hidup sebagai seorang patriot yang berbuat sesuatu bagi bangsa. 

Saat hendak meninggalkan Manado, saya membaca kutipan menggetarkan dari Sam Ratulangi di bandara yakni “Si tou timou tumou tou” yang artinya manusia baru dapat disebut manusia jika sudah memanusiakan manusia lainnya. Kalimat ini meletakkan esensi kemanusiaan pada tindakan, pada laku untuk memanusiakan orang lain, pada spirit kolektivitas untuk berjalan bersama manusia lainnya. 

Satu sosok manis mengejar saya di bandara. Dari kejauhan, saya melihat seraut wajah manis dengan membawa oleh-oleh di tangan. Dia menyusul saya yang hendak meninggalkan kota itu. Ada banyak rasa yang tak bisa terucap. Sebelum berpisah, dia berbisik  “torang samua basudara kong baku-baku sayang.”



0 komentar:

Posting Komentar