SEBUAH bom kembali meledak. Di tiga gereja yang terletak di Surabaya, bom itu menyisakan kengerian. Di media sosial, beberapa orang menyebar tayangan tentang reruntuhan, serta cabikan tubuh. Polisi menyebut bom itu sebagai bom bunuh diri. Dalam hati, ada selarik tanya, apakah diri menjadi tak begitu berharga sehingga dikorbankan untuk menyampaikan pesan?
Satu media besar mengisahkan seorang anak muda yang berlari ke gereja itu demi menyelamatkan ibunya. Dia menerima pesan ibunya melalui WhatsApp. Dia berlari sekencang yang bisa diakukannya demi sesegera mungkin tiba di gereja. Ibunya seorang jemaat gereja yang taat. Anak muda itu mulai membayangkan horor yang terjadi pada ibunya.
Sebuah bom tak saja meninggalkan jejak fisik berupa reruntuhan bangunan dan puing-puing. Sebuah bom juga menyisakan trauma yang dalam. Terasa seperti belati yang menghujam ke dalam diri. Seumur hidup orang akan membawa trauma itu ke mana-mana, menjadi mimpi buruk yang menakutkan, menjadi lapis-lapis kengerian kala dikenang.
Anak muda itu melihat halaman depan gereja yang berantakan. Ia seolah melihat jejak-jejak pertempuran. Bom itu membuat semuanya menjadi puing. Dia melihat banyak tubuh terluka. Ia melihat polisi dan masyarakat biasa jadi korban. Seorang anak bersimbah darah saat dibopong demi mencari pertolongan. Di mana-mana ada suara panik dan ketakutan. Ia melihat darah membanjir di banyak titik.
Dengan suara bergetar, ia memanggil-manggil ibunya. Beruntung, ia menemukan ibunya dalam keadaan selamat. Tapi tangis dan wajah kengerian tampak jelas di wajah sang ibu. Mungkin saja ibu itu akan berkisah dari awal sampai akhir. Mulai dari kedatangannya untuk berdoa dan memuliakan Tuhan, dan setelah itu bunyi ledakan menggetarkan semuanya. “Mengapa kami yang sedang beribadah harus menjadi korban? Apa salah kami? Apakah Tuhan akan bahagia ketika ada manusia lain yang dilenyapkan?”
Ibu dan anak muda itu mungkin tak paham. Bahwa dia yang melempar bom itu juga datang karena merasa sedang mendengarkan perintah langit. Mungkin saja pelaku telah lama memendam benci dan hendak melakukan sesuatu. Dia lupa bahwa pihak yang menjadi sasarannya adalah manusia biasa sebagaimana dirinya yang juga punya keluarga, punya ibu, punya anak, dan juga punya kehidupan.
Dia yang membom itu ibarat sosok Silas dalam novel Da Vinci Code karya Dan Brown, yang menjalankan perintah untuk menebar teror. Silas melaksanakan pesan itu dengan kesadaran penuh kalau dirinya sedang menjalankan perintah Tuhan, meskipun itu adalah teror. Dia merasa sedang menegakkan kebenaran.
Mungkin pelempar bom hendak berkata kamu layak menerima amarahku. Mungkin dia hendak berteriak ketika kamu berbeda, maka kamu telah mengancam diriku. Maka sesatlah kamu dan bakal menerima nasib para umat yang pernah diperangi dan ditimpakan azab. Mungkin saja dia membaca kitab dan menemukan catatan tentang para umat yang ditenggelamkan ke dasar bumi, diberi azab berupa banjir besar atau api yang turun dari langit. Dia ingin mengambil peran Tuhan, menebar azab ke mereka yang berbeda.
Pembom itu melihat banyak musuh di gereja yang harus segera dilenyapkan. Dia ingin berbuat sesuatu demi menggapai nirwana. Dia ingin mempersembahkan satu lembar nyawanya demi kehidupan abadi yang bahagia, sebagaimana telah dijanjikan bagi martir sepertinya. Pelempar bom itu hendak berkata, aku benar dan kamu bukan. Ketika kamu kafir dan sesat, kamu tidak berhak atas cinta kasihku. Kamu tak berhak atas keadilanku. Kamu tak berhak menerima rahmat atas seru sekalian alam, serta kedamaian yang terpancar dari hati.
***
INDONESIA di abad ke-21 adalah Indonesia yang penuh dengan pertarungan memperebutkan kebenaran. Demi kebenaran, seseorang bisa saja menyingkirkan pihak lain yang dianggapnya sesat. Demi kebenaran, seseorang bersedia menjadi martir untuk menebar teror dan menyingkirkan manusia lainnya. Kebenaran itu jauh lebih penting dari nyawa manusia dan kedamaian.
Hari ini, Indonesia diremuk bom. Beberapa hari lalu, sejumlah orang menewaskan bhayangkara muda yang tengah bertugas. Besok, entah kengerian apa lagi yang akan tercatat dalam sanubari bangsa kita sebagai bangsa yang cinta damai. Sepertinya, teror mulai menjadi kosa kata yang setiap saat menghantui kita sebagai anak bangsa.
Sungguh menyedihkan melihat anak-anak muda Indonesia melakukan teror demi sesuatu yang dianggapnya benar. Kalimat: “Gapailah surgamu, tapi biarkanlah orang lain hidup damai dan menggapai surga masing-masing” tak berlaku lagi. Yang ada, ketika surgaku tak sama denganmu, maka aku berhak membawamu sama-sama ke langit.
Yang juga menyedihkan, belum usai proses evakuasi korban, belum kering air mata para korban, tiba-tiba saja ada sejumlah manusia tengik yang sibuk mengeluarkan analisis tentang teori konspirasi dari negara untuk menyudutkan kelompok tertentu. Sejumlah orang kehilangan nurani kemanusiaan dalam melihat peristiwa itu, dan mengedepankan informasi yang dianggapnya benar.
Padahal, di luar semua apa yang dianggap benar, semua korban adalah manusia biasa. Mereka adalah tubuh yang sama-sama mengalir darah dan jiwa. Kita satu spesies dengan mereka. Tatkala mereka menjadi korban dari satu kengerian, seyogyanya kita pun merasakan hal yang sama. Kita pun mestinya merasa satu tubuh dan satu jiwa, sebab berada di bumi yang sama, menghirup udara yang sama. Harusnya kita berada dalam satu gelombang rasa sedih yang sama ketika membayangkan keluarga kita menjadi korban.
Entah kenapa, kita lebih suka berdebat ketimbang mendengarkan suara hati orang lain. Nalar kita dikerek tinggi-tinggi, tapi kita lupa mendengarkan suara hati kita sebagai manusia yang melihat sesama kita. Setiap hari kita suka berdebat dan menggugat keyakinan orang lain, namun kita lupa apakah kita telah menjadi sosok welas asih yang diajarkan dalam keyakinan kita sendiri. Kita menerima keyakinan sebagai setumpuk ajaran dan perintah, tanpa meresapinya hingga sumsum dalam diri.
Ketimbang sibuk mendebat seberapa benar tindakan teroris itu, lebih baik kita melihat sesama manusia yang tengah berada dalam derita. Lebih baik kita melihat semua orang sebagai manusia biasa yang sama-sama hendak hidup damai. Marilah bersama kita mengecam siapa pun yang mendukung aksi teror itu dan mengabaikan nurani kemanusiaannya sendiri. Saatnya bersatu dan menunjukkan kita adalah manusia yang peduli pada siapa pun di sekitar kita.
Karena kita adalah manusia yang juga punya darah dan daging sebagaimana korban-korban itu. Karena kita adalah sesama penghuni bumi yang peduli pada sesama, apa pun agama dan keyakinannya. Karena kita adalah manusia Indonesia yang ingin hidup damai, jauh dari permusuhan.
Atau jangan-jangan kita menjadi sedemikian religius sehingga melihat yang lain dengan cara berbeda. Ataukah kita sudah merasa sedemikian saleh sehingga apa pun yang berbeda dengan kita harus dipaksa tunduk menjadi serupa dengan kita.
Ah, saya tiba-tiba saja terkenang John Lennon yang bersenandung, “Imagine, there’s no heaven. Imagine there’s no country, there’s no religion too.” Jika saja tak ada kehidupan serba indah langit, barangkali manusia tak akan menjalankan misi-misi untuk menggapai kehidupan yang lebih sempurna. Jika saja tak ada kehidupan setelah mati, mungkin orang-orang akan melihat hidup sebagai sesuatu yang dijaga sepenuh hati.
Di Surabaya, kita menyaksikan teror. Kita melihat satu sketsa kehidupan tentang perebutan untuk menjadi pihak paling benar. Kita menyaksikan dengan mata basah. Kita menguatkan hati untuk tetap kuat dan tidak takut apa pun. Saatnya menyatakan sikap berani dengan tinju yang mengarah ke angkasa. Kita tak takut teror sebab kita mencintai semua apa pun yang ada di sekitar kita.
Di Surabaya, kita tak pernah diam. Kita mencatat peristiwa ini dengan tinta terang agar menjadi alarm bagi kita untuk masa depan. Kelak kita akan wariskan Indonesia yang damai, bersahabat, dan menjadi surga bagi siapa pun yang mendiaminya. Ya, selain menggapai surga di hari esok, kita pun punya tanggung jawab sejarah untuk menghadirkan surga itu di hari ini, di kehidupan yang fana ini.
0 komentar:
Posting Komentar