Tak Sabar Menanti Aksi 212




DUA kali trailer film Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dirilis. Saya selalu terkesima menyaksikan tokoh-tokoh yang dahulu saya temukan dalam novel serial yang ditulis Bastian Tito itu.  Saya tak sabar menyaksikan film yang didanai oleh 20th Fox International itu. Semasa masih SD dan SMP, saya penggemar berat novel ini dan selalu membelinya setiap ada edisi terbaru.

Kini, Wiro Sableng, pendekar yang selalu cengengesan dan bercanda itu akan hadir dalam format layar lebar. Tak tanggung-tanggung, film ini adalah kolaborasi antara rumah produksi Indonesia dan raksasa film Hollywood yakni 20th Century Fox. Saya membayangkan film kolosal ini akan sangat meriah, apalagi ditunjang beberapa aktor dan aktris papan atas negeri ini.

Sejak awal tahun 2018, saya sudah membuat resolusi yakni menyaksikan film ini, apa pun yang terjadi. Sebagai penggemar Wiro, saya rindu kehadiran tokoh-tokoh dalam semesta novel ini. Di satu media, saya membaca komentar produser film ini Sheila Timothy yang mengatakan bahwa ada kemiripan antara serial Wiro Sableng dan Game of Thorne. Makanya, struktur cerita film Wiro dibuat seperti Game of Thorne.

Anggini, Wiro, dan Bujang Gila Tapak Sakti

Katanya, serial Game of Thorne terjadi di satu tempat bernama Westeros, yang di dalamnya terdapat beberapa kerajaan. Masing-masing punya karakteristik sendiri. Nah, serial Wiro juga punya semesta tiga lokasi dengan ciri khas berbeda. Yakni golongan hitam yang mendiami gunung dan hutan, golongan putih yang juga mendiami gunung dan hutan terpisah, serta pihak kerajaan yang sering membenturkan dua aliran persilatan ini. Kerajaan sering memanfaatkan golongan hitam untuk menyerang golongan putih, demikian pula sebaliknya.

Dalam trailer terbaru, saya melihat sejumlah tokoh dalam serial ini. Tokoh golongan hitam yang tampil adalah Mahesa Birawa (yang diperankan pesilat hebat Yayan Ruhiyan), Empat Brewok dari Goa Sanggreng, hingga Kaligundil. 

Sedangkan tokoh golongan putih yang tampil selain Wiro adalah Eyang Sinto Gendeng, Anggini (murid cantik Dewa Tuak), Bujang Gila Tapak Sakti atau sering disingkat Bujala Tasaki, dan Bidadari Angin Timur (yang diidolakan Wiro). Tak boleh dilupakan kehadiran kakek Segala Tahu yang kemampuannya seperti Google sebab selalu punya jawaban atas semua pertanyaan. Bahkan kakek ini bisa-bisa lebih pintar dari Google sebab dia bisa meramal peristiwa masa depan.

Dalam versi novel, ada sejumlah karakter unik yang selalu saya sukai kemunculannya. Selain Dewa Tuak yang membawa bumbungan bambu berisi arak, ada juga Dewa Ketawa, Dewa Sedih, Raja Penidur, juga musuh bebuyutan Wiro Sableng yakni Pangeran Matahari dari Puncak Merapi.

BACA: Lelaki Muslim di Sisi Ratu Inggris

Saya juga terkenang beberapa jurus dan pukulan yang dimiliki Wiro juga masih segar di pikiran. Di antaranya Pukulan Sinar Matahari, yang saat digunakan, lengan Wiro akan bersinar keperakan hingga siku. Juga pukulan kunyuk melempar buah, banteng topan melanda samudera, pukulan angin puyuh, hingga pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Masing-masing jurus diajarkan oleh guru berbeda. 

Meskipun baru dua trailer yang diluncurkan, saya sudah mendapat gambaran bagaimana megahnya film ini. Konon, budget-nya lebih besar dari kebanyakan film Indonesia. Yang membuat saya tak sabar adalah film ini bisa menandai kembalinya era film silat yang dahulu begitu berjaya di Indonesia. Sejak perfilman kita bangkit, kita jarang menemukan film silat. Terakhir, saya menonton film Pendekar Tongkat Emas yang dibintangi Nicholas Saputra. Saya dengar film ini tak begitu sukses.

Saya membayangkan, penggemar Wiro pasti akan penasaran untuk menyaksikan film ini. Bagi saya, kisah Wiro Sableng membawa banyak lapis kenangan. Mulai dari masa-masa di sekolah menengah saat mengikuti serial ini. Saya masih terpesona menyaksikan petualangan pendekar sakti mandraguna yang selalu cengengesan dan sesekali mengerjai banyak orang, namun selalu dikagumi banyak cewek ini. Saya juga teringat pada beberapa lembar adegan porno di novel ini yang bikin saya tidak bisa tidur, serta diam-diam ke kamar mandi. Hahaha.

Bidadari Angin Timur, pendekar yang ditaksir Wiro

Di mata saya, Wiro Sableng adalah pendekar yang lintas budaya dan berpetualang ke mana-mana. Dia dibesarkan di Gunung Gede hingga akhirnya dianggap cukup ilmu untuk memasuki rimba persilatan. Dia tak perlu memikirkan lapangan kerja sebab hari-harinya adalah berkelana dan bertarung demi mengalahkan golongan hitam. Dia hadir dalam banyak intrik dan konflik kerajaan.

Dia juga bertualang di banyak lokasi. Kebanyakan latar cerita adalah petualangannya di tanah Jawa dan Sunda. Tapi, dia juga berpetualang hingga ke pulau seberang. Saya suka mengikuti petualangan Wiro ke Sumatera dan berguru pada orang sakti yakni Tua Gila dari Andalas, seseorang yang dianggap gila dan memiliki silat dengan gerakan tak beraturan ala orang gila. Wiro pernah ke Aceh dan bertemu Nyanyuk Amber dan Pandansuri dalam episode Raja Rencong dari Utara.

Di tanah Minang, Wiro juga bertemu dan berguru pada Datuk Rao Basaluang Ameh yang memiliki ciri khas berupa suara seruling khas Minang. Sang Datuk selalu bersama Datuk Rao Bamato Hijau yakni harimau putih nan sakti. Keduanya menjadi guru Wiro. Dulu, ketika mendengar lagu Badai Pasti Berlalu yang dinyanyikan Chrisye dan diaranser Erwin Gutawa, ada suara saluang, yang langsung mengingatkan saya pada kemunculan Datuk Rao Basaluang Ameh.

Selain Sumatera, Wiro juga berpetualang ke Bali dan mengalahkan Nyoman, seorang pendekar pemetik bunga, yang suka memperkosa perempuan. Malah, Wiro juga berpetualang ke Jepang hingga Cina. Dalam episode Pendekar Gunung Fuji, entah bagaimana caranya, Wiro datang ke Jepang dan ikut dalam konflik para samurai di sana. Beberapa istilah Jepang digunakan dalam film ini, termasuk beberapa jurus dan pukulan. 

golongan hitam

Tanpa saya sadari, kisah Wiro Sableng menjadi medium pembelajaran budaya paling efektif. Saya mengenali banyak istilah, produk budaya seperti saluang, rencong, kalewang, hingga jenis-jenis keris dari kisah ini. Saya pun paham beberapa keping sejarah karena Wiro pernah terlibat di dalamnya. Kisah-kisah seperti Wiro juga menanamkan pentingnya mengenali tradisi hingga multi-kulturalisme. Melalui kisah ini, saya paham bahwa Indonesia adalah mozaik yang terdiri atas banyak budaya, bahasa, dan adat istiadat.

BACA: Tunas Cinta yang Tumbuh Seusai Bom Surabaya

Di semua budaya terdapat banyak kearifan budaya termasuk para pendekar berhati bijak yang menemukan kesempurnaan hidupnya melalui duel di rimba persilatan. Dalam sikap cengengesan Wiro, juga terdapat banyak kearifan dan filosofi hidup, yang di antaranya adalah sikap solidaritas, kesetiaan pada nilai-nilai ksatria, dan juga keberanian untuk membela mereka yang tertindas.

Saya tak terkejut ketika Wiro Sableng masuk dalam daftar buku-buku terbaik dan menginspirasi yang dimuat dalam Para Penggila Buku: Seratus Catatan di Balik 100 Buku yang terbit tahun 2009 dan diedit Muhidin M Dahlan dan Diana AV Sasa. Bagaimanapun juga, ada banyak nilai dan pelajaran dalam Wiro Sableng yang kemudian kuas telah mewarnai kanvas pemikiran satu lapis generasi Indonesia pada satu masa.

Ah, saya tak sabar menyaksikan aksi 212 yang asli. Di suatu negeri yang didera angkara dan murka, aksi 212 diharapkan kembali hadir untuk mengembalikan keseimbangan. Saatnya pendekar 212 datang kembali dan mengembalikan keadilan di rimba persilatan. Di negeri lain, nama 212 seolah identik dengan kelompok tertentu yang memasuki ranah politik dan kebijakan negeri ini. Padahal, pemilik nama 212 yang asli ini adalah sosok petualang lintas wilayah yang setiap harinya bergaul dengan siapa saja, menimba ilmu pada siapa saja, serta membela semua yang tertindas, tanpa berharap dapat kursi kekuasaan.

Ciaattt...!!!


0 komentar:

Posting Komentar