Pahlawan Belia di Kota Manado


seorang pemuda tengah memandang lautan

TAK semua anak muda menginginkan hidup nyaman di kota-kota dengan aktivitas  jalan-jalan di mal. Di Manado, saya bertemu beberapa anak-anak muda kota yang justru memilih tinggal di pulau-pulau terluar dan berhadapan dengan ketidaknyamanan. Mereka berani hidup di desa-desa pulau yang tak berlistrik, tak berpenerang, tak punya fasilitas air bersih. Mereka menjadi bagian masyarakat pulau yang terus bergerak untuk membumikan perubahan. Mereka adalah pahlawan di tepian tanah air.

***

Dewa Laut seakan berdiam di Manado, Sulawesi Utara. Di depan satu pusat perbelanjaan, saya melihat patung dewa laut dan anak-anaknya yang menetas dari beberapa kerang laut. Tak jauh dari situ, laut biru dan ombat-ombak seakan menerjang kota Manado. Dari pesisir itu, nampak gunung Manado tua berdiam tenang di tengah lautan berombak.

DI tengah hamparan laut biru itu, sebuah perahu melesat menuju dermaga. Setelah merapat, beberapa penumpang turun. Di situlah saya bertemu Linda, seorang perempuan muda yang selama beberapa bulan ini tinggal di Pulau Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, salah satu pulau terluar di utara tanah air. Ia melakoni pekerjaannya sebagai fasilitator dari organisasi Destructive Fishing Watch (DFW) yang concern pada pemberdayaan masyarakat pulau terluar. Linda bercerita tentang dunianya di pulau-pulau terpencil, serta upayanya untuk membantu masyarakat.

Ia berkisah tentang pulau-pulau terluar yang seharusnya menjadi pagar tanah air. Kondisi pulau-pulau itu cuku memprihatinkan karena lemahnya akses transportasi. Infrastruktur amatlah terbatas. Tak ada akses listrik, air bersih, serta sentuhan pembangunan. Linda tak patah arang. Ia justru tertantang. Ia memilih tinggal bersama para nelayan di pulau itu sembari mengajarkan pengetahuan yang didapatnya selama studi di Universitas Pattimura.

Selama tinggal di pulau, ia melakukan pemetaan kebutuhan masyarakat. Ia belajar memahami apa yang dirasakan masyarakat. Masyarakat di sekitar pulau kerap mengalami masalah terkait air bersih. Demi mendapatkan air bersih, masyarakat harus mendatangkannya melalui jerigen dari kota Manado. “Biayanya cukup mahal untuk warga yang berpenghasilan sebagai nelayan biasa. Kasihan para neayan mesti mendatangkan air bersih dari kota,” katanya.

Ia lalu mengirimkan rekomendasi kepada pemerintah untuk membangun desalinator air laut. Ia berpikir bahwa jika ada infrastruktur berupa desalinator atau penjernih air laut menjadi air tawar, pastilah alat itu akan membawa manfaat bagi banyak orang. Minimal, kebutuhan dari beberapa pulau-pulau sekitar Sangir Talaud bisa terpenuhi.

patung keluarga Dewa Laut di Manado

Ia juga mengusulkan agar pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ia membayangkan, jika sarana listrik tersedia, maka nelayan bisa membangun pabrik es untuk mendinginkan ikan-ikan tangkapan agar tidak layu saat mencapai kota. Ia juga menginginkan seluruh desa nelayan menjadi terang benderang dan jejak-jejak pembangunan bisa nampak di pualu itu. “Indonesia telah merdeka 69 tahun silam, tapi tak pernah ada jejak kemerdekaan di pulau-pulau terluar kita. Inilah yang harus dibenahi,” katanya.

***

TAK hanya Linda, saya juga bertemu perempuan muda bernama Jeszy Patiri. Ia bekerja di Pulau Supiori, yang terletak di Kabupaten Bepondi, Papua Barat. Pulau ini bisa dijangkau dari Biak, melalui perahu kecil. Jeszy nampak sama tangguhnya dengan Linda. Jeszy adalah penduduk asli Toraja yang terletak di pegunungan Sulawesi Selatan. Meskipun tak pernah menginjakkan kaki di Papua, ia justru berani memilih tinggal di pulau terluar Papua Barat pada gugusan pulau yang berbatasan langsung dengan lautan Pasifik.

Ketika pertama melihat ombak bergulung-gulung, Jeszy sempat khawatir. Anehnya, kapal nelayan yang ditumpanginya saat pertama ke pulau itu justru melaju tenang hingga mengapai pulau. Nakhoda lalu menjelaskan bahwa para nelayan tradsional di pulau itu punya kemampuan yang disebutnya ‘hitung ombak.’ Mereka bisa melihat celah-celah yang serupa pintu di tengah ombak ganas. “Makanya, biar ombak tinggi kayak rumah, kapal akan tetap bisa melaju kalau bisa hitung ombak,” kata nelayan itu sebagaimana ditirukan Jeszy.

Papua memang negeri yang asing bagi pemudi ini. Namun kedatangannya di Pulau Supiori, justru mendapat sambutan bak seorang tamu agung. Penduduk pulau menyediakan rumah untuk ditinggali. Ia tak perlu membayar. Penduduk juga membantu menyediakan kebutuhan sehari-hari. Di pulau itu, ia menjalani hari-hari yang penuh tantangan. Ia mesti terbiasa hidup tanpa sinyal handphone, tanpa listrik, tanpa televisi, dan tentu saja, tanpa pernah menonton sinetron. Ia juga mesti memasak sendiri apa-apa yang hendak di makannya.

Namun ia justru menikmati hari-harinya. Ia sangat bahagia saat berperahu dan di sekelilingnya aa banyak lumba-lumba yang mengikutinya. “Kata penduduk, lumba-lumba ini adalah saudara. Mereka menjagai kita dari bahaya saat berada di laut,” katanya dengan penuh keceriaan.

Mulanya, Jeszy tinggal di situ sebagai fasilitator yang memetakan kebutuhan masyarakat. Namun pada praktiknya, ia juga menjadi pengajar pada satu-satuya sekolah dasar yang ada di situ. “Saya mengajari anak-anak tentang pentingnya menjaga terumbu karang sebagai habitat ikan hias. Saya lebih banyak mengajar dengan gambar-gambar. Anak-anak suka lihat gambar. Mereka tahu semua jenis ikan,” katanya di Manado. Tema yang diajarkannya memang kontekstual.

Linda dan Jeszy saat ditemui di Manado

Selama beberapa tahun terakhir, banyak nelayan Pulau Bepondi yang membius ikan hias lalu menjualnya ke Bali. Jeszy paham bahwa problemnya adalah kemiskinan serta tiadanya alternatif penghasilan bagi nelayan. Makanya, ia berpikir bahwa pengadaan sarana dan prasarana bagi nelayan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.

Saat tinggal di pulau itu, ia juga tahu kalau para nelayan kerap bertemu dengan nelayan asing. Mereka saling barter kebutuhan pokok. Nelayan Papua memiliki sagu dan minyak kelapa yang kemudian dibarter dengan beras dari para nelayan asing itu. Kerjasama mereka telah berjalan selama bertahun-tahun, seiring dengan kian lemahnya pengawasan atas laut Indonesia.
           
***

LINDA dan Jeszy hanyalah dua dari puluhan orang fasilitator yang bekerja di pulau-pulau terluar kita. Mereka tinggal dan berbaur dengan warga, mendengarkan dan mencatat semua keluh kesah dan pengalaman warga, mencatat sejauh mana pengaruh bantuan yang diberikan pemerintah, lalu menyiapkan pra-kondisi bantuan fasilitas kepada masyarakat.

Dari 17.504 pulau yang ada di Indonesia, terdapat 17.470 pulau-pulau kecil. Dari jumlah itu, terdapat 92 pulau-pulau terluar, yang berbatasan dengan negara lain, yang membutuhkan perhatian semua pihak. Pulau-pulau ini seharusna dibangun dan dikuatkan sebab menjadi halaman republik kita. Pulau-pulau ini harusnya diposisikan sebagai pulau terdepan yang menjadi etalase dan wajah tanah air kita. Jika pulau itu terabaikan, maka di masa depan, boleh jadi pulau itu akan dicaplok negara lain. Kita punya pengalaman pahit saat harus melepas Pulau Sipadan-Ligitan karena tak pernah peduli pada pulau itu.

Sejak tahun 2001-2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memberikan bantuan sarana dan prasarana (sarpras) bagi masyarakat di berbagai pulau. Bantuan itu mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), air bersih, sarana telekomunikasi (telepon satelit), jetty, sarana budidaya ikan, dan sarana penangkapan ikan (katinting). Namun bantuan itu masih amat terbatas untuk membangun pulau-pulau terluar kita.

desalinator air laut di satu pulau terluar

Terabaikannya pulau-pulau itu menjadi kenyataan ironis buat kita. Di negeri yang nenek moyangnya adalah para pelaut ulung, sektor kelautan menjadi sektor yang kerap terabaikan. Di negeri yang kebanyakan wilayahnya adalah lautan, titik berat pembangunannya adalah wilayah darat. Semua infrastruktur lebih banyak menyentuh daratan. Kota-kota banyak berdiri. Berbagai fasilitas dibangun demi memudahkan gerak dan laju pembangunan. Sementara wilayah laut justru terlupakan. Lautan dipandang sebagai arena, tidak dilihat sebagai semesta yang di dalamnya terdapat hubungan ekologis yang mengagumkan antara manusia, sumberdaya laut, beserta semesta yang melingkupinya.

Tapi setidaknya kita bisa berharap banyak pada anak muda seperti Linda dan Jeszy. Mereka adalah pahlawan belia yang hidup bersama warga pulau demi membangkitkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya lautan. Mereka menampar kesadaran smeua pihak bahwa semua orang bisa menjadi pahlawan dengan melakukan langkah-langkah sederhana namun penuh makna bagi masyarakat sekitar. Mereka adalah pejuang kemanusiaan di pulau-pulau kecil yang melakukan kerja-kerja sosial demi menguatkan marwah kita sebagai negeri maritim.



0 komentar:

Posting Komentar