Nikahi Angel Lelga, Vicky Prasetyo Tetap Kontroversial



DI AWAL tahun 2018, salah satu berita terheboh di jagad hiburan adalah rencana pernikahan Angel Lelga dan Vicky Prasetyo. Resepsi besar akan dilaksanakan pada awal Februari mendatang. Keduanya kini selalu tampil berdua di hadapan publik. Biarpun keduanya bukan yang terbaik di bidangnya, tetapi keduanya cukup eksis dan punya tempat tersendiri di mata publik.

Vicky Prasetyo adalah tipikal figur tahan banting yang bisa keluar dari situasi apa pun. Bertubi-tubi kegagalan mendera hidupnya. Mulai dari gagal menikah dengan pedangdut Zaskia Gotik, dipenjara karena kasus utang-piutang, gagal jadi Kepala Desa Karang Asih, kemudian gagal jadi Walikota Bekasi. Ia tidak lantas tenggelam begitu saja. Malah ia kembali ke panggung hiburan dan menjadi komedian yang sering tampil di televisi. Kontroversi terus mengikuti langkah kakinya.

Pada Vicky, kita temukan bagaimana perjuangan untuk jadi pesohor dan selebriti. Pada dirinya kita temukan potret diri manusia Indonesia, yang sering kali terjebak dalam “kontroversi hati” demi menggapai “statusisasi kemakmuran.”

***

KEMARIN, saat berkunjung ke Pantai Ancol, saya melihat Angel Lelga yang bergandengan tangan dengan Vicky Prasetyo. Tadinya saya ingin mendekat, tapi mereka sedang dikerubuti jurnalis. Dahulu, semasa jadi jurnalis, saya cukup akrab dengan Angel Lelga. Ketika dia menjauh dari dunia hiburan, lalu menjadi politisi, intensitas pertemuan kami jadi hilang sama sekali.

“Tanggal 9 Februari kami akadnya, resepsi tanggal 10 Februari,” kata Vicky kepada media. Ia mengaku Angel Lelga mulai dikenal oleh anak-anak dari pernikahan Vicky sebelumnya. Benih-benih cinta di antara mereka mulai tumbuh ketika keduanya kerap melakukan berbagai kegiatan bersama.

Kata Angel Lelga, “Mulai dekatnya enggak makan waktu banyak, hanya dua bulan kurang lebih. Itu pun karena ada kedekatan shooting bareng, nyanyi bareng, bisnis bareng, dari situ kita saling mengenal satu sama lain,” ucapnya.

Belakangan ini, Angel menggarap bisnis butik yang dipasarkan hingga ke tiga negara. “Yang pasti udah jalannya, sudah jodoh, udah takdirnya, tinggal saya menjalankan semuanya dengan Bismillah. Karena niat Vicky juga baik, jadi saya tanggapi semua dengan baik,” sambung Angel.

Rencana mereka tak bisa dibilang mulus. Beberapa kontroversi mencuat. Vicky dituduh telah nikah siri dengan Angel Lelga. Video pernikahan itu tersebar di berbagai situs jejaring sosial. Di Jakarta, seorang perempuan bernama Roihanah Azizah Fitri Octavia, yang kerap disapa Vivie mengaku telah nikah siri dengan Vicky. Malah, ia juga menyebut lelaki itu telah mengambil uangnya, yang katanya dipakai untuk bisnis.

“Dalam perjalanan aku dan Vicky, dia ajakin bisnis kerjasama sampai aku kucurin dana Rp 100 juta. Sudah berjalan bisnisnya 4-5 bulan tapi enggak ada transparansi keuangan,” ucapnya saat menggelar jumpa pers di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, sebagaimana dicatat Kompas.com, Agustus 2017 lalu.  “Pembukuan pun dia selalu bilang iya, tapi sampai sekarang aku enggak tahu hasilnya,” lanjutnya.

Tak hanya uang, Vivie juga sudah merelakan mobil miliknya untuk dijual dan diberikan kepada Vicky. “Ketiga mobil aku ada titip jual sama Vicky, semua diminta STNK dan BPKB. Salahnya aku enggak terima MOU, karena aku pikir suami sendiri dan aku percaya saja,” ujarnya.

Kontroversi Vicky

Sosok Vicky memang menarik dibahas. Kontroversinya mulai muncul saat dirinya dikabarkan hendak menikah dengan Zaskia Gotik. Dirinya semakin populer saat diwawancarai media. Ia menjawab pertanyaan dengan kalimat yang terdengar intelek, akan tetapi tidak nyambung. Sisi tidak nyambung inilah yang membuat dirinya di-bully terus-menerus. Biar semua orang kembali ingat Vicky, berikut transkrip komentarnya dahulu:

“Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi karena basically, aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya. Kita belajar, apa ya, harmonisisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita enggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan. Dengan adanya hubungan ini, bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident. Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga…”

Anehnya, seorang mantan pemimpin redaksi sebuah media paling berpengaruh juga ikut ‘mengolok-olok’ cara berbahasa Vicky. Padahal, tulisan sang mantan pemred itu lebih memusingkan dari cara berbahasa Vicky. Tulisannya amat sulit dimengerti karena penuh bahasa intelek dan filsafat tingkat tinggi. Mengapa harus Vicky yang dibahas dan ditertawakan?

Beberapa hari lalu, saya kembali menyaksikan videonya yang sedang berpidato dalam bahasa Inggris pada kampanye pemilihan kepala desa. Banyak orang menertawakannya karena berpidato dengan bahasa Inggris yang tak fasih dan tak mematuhi kaidah grammar.

Seorang tetangga saya ikut-ikutan menertawakan cara berbahasa Vicky. Padahal, saya tahu persis bahwa tetangga saya juga punya bahasa Inggris yang hancur-hancuran. Mengapa harus menertawakan Vicky ketika sebagian dari kita justru punya problem yang sama dalam hal berbahasa Inggris?

Bagi saya, hal yang amat wajar ketika Vicky belepotan dalam menggunakan bahasa Inggris. Bahasa itu bukan bahasa nenek moyang kita. Sejak lahir dan bersekolah, bahasa Inggris hanya dipelajari secara terbatas. Jika kita tak bisa bahasa Inggris, maka itu bukan hal yang luar biasa. Itulah fenomena keseharian kita. Namun, apakah di negara-negara berbahasa Inggris semua orang fasih menggunakan bahasa itu? Ternyata malah tidak juga.

Di luar negeri, beberapa teman dari Asia Timur seperti Jepang Korea dan Cina, sering mengalami kendala bahasa, sebagaimana kita.  Namun warga internasional tidak pernah menertawakan cara berbahasa yang tidak fasih itu. Pengalaman saya mengajarkan bahwa ruang-ruang sosial di negeri itu justru memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk belajar dan mengembangkan kemampuan berbahasanya. Masyarakat internasional justru mendorong semua orang untuk belajar, tanpa pernah mengolok-olok pengetahuan orang lain.

Hal lain yang sering dibahas mengenai Vicky adalah penggunaan bahasa intelek. Kita sama-sama menyaksikan bagaimana Vicky menyebut-nyebut istilah seperti ‘kontroversi kemakmuran’, ‘labil ekonomi’, ‘konspirasi hati.’

Seingat saya, cara berbahasa dan penyebutan berbagai istilah seperti ini bukanlah hal yang baru. Hampir setiap hari, kita dibombardir dengan cara berbahasa yang amburadul oleh berbagai media massa. Sebagai konsumen, kita dipaksa untuk menyaksikan komentar dari orang-orang hebat yang kerap mengeluarkan istilah-istilah canggih yang justru berjarak dari pemahaman sebagian orang.

Sebagai rakyat biasa, kita dipaksa untuk memahami beragam istilah canggih yang dikeluarkan orang-orang hebat di negara ini. Contoh paling nyata adalah kebijakan menaikkan harga BBM. Pemerintah sibuk retorika tentang harga minyak dunia, inflasi, krisis, dan pentingnya regulasi harga. Apakah rakyat biasa paham dengan bahasa canggih itu? Tidak sama sekali. Yang terjadi kemudian adalah upaya pengaburan informasi, yang prosesnya sama saja dengan yang dilakukan oleh Vicky.

Tak hanya Vicky, para pengamat politik di media pun paling sering menggunakan istilah-istilah yang kadang malah membuat sesuatu semakin rumit. Bahkan, ada pengamat yang sering memakai kata berbahasa Inggris sebagai judul untuk sebuah tulisan berbahasa Indonesia. Saya pernah pula melihat seorang pengamat berkali-kali menyebut istilah depresiasi. Setelah mengamati dengan saksama, ternyata ia hendak menyebut kata ‘penurunan.’ Jika kata tersebut punya padanan dalam bahasa Indonesia, mengapa harus memakai istilah asing?

Bahkan pada zaman Orde Baru, berbagai istilah-istilah canggih sengaja dikeluarkan pemerintah demi untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Kita masih ingat istilah ‘kenaikan harga’ yang diganti oleh pemerintah dengan istilah ‘penyesuaian harga’, kemudian istilah ‘penjara’ diganti dengan ‘lembaga pemasyarakatan.’ Bahasa memang jadi medium kuasa. Melalui penggunaan bahasa yang canggih itu, satu kelompok memperkuat cengkeraman dominasinya pada kelompok lain.

***

BERBAGAI kontroversi Vicky adalah potret sosial kita yang sesungguhnya. Di satu sisi, banyak yang menghinanya karena cara berbahasa yang sedemikian kacau, tapi di sisi lain, ia bisa mengemas cara berbahasa itu menjadi sesuatu yang memiliki efek komedi, sehingga menjadi penghasilan baginya. Ia mengubah olokan menjadi keriangan.

Saya beberapa kali menyaksikan penampilannya di panggung komedi di beberapa televisi. Ia menjadi komedian handal yang sering tampil bersama beberapa nama yang sudah populer, di antaranya Rafi Ahmad dan Ruben Onsu.

Vicky adalah produk dari amburadulnya cara berbahasa di berbagai level sosial. Ia juga menunjukkan watak kita sebagai anak bangsa yang suka mengolok-olok kelemahan orang lain, padahal kita pun mengidap problem yang sama. Ketika kita menertawakan Vicky, maka sesungguhnya kita sedang menertawakan diri sendiri yang sering gagap dalam meniru istilah-istilah canggih.

Lagian, masyarakat kita yang terlanjur mendefinisikan bahwa sesuatu yang hebat adalah sesuatu yang diucapkan dengan istilah hebat. Generasi sekolahan kita gagal mendidik masyarakat untuk lebih mengedepankan makna, ketimbang kulit dari sebuah pesan. Orang hebat kita pandai mengutip statistik dan istilah asing demi menampilkan citra diri yang hebat, tanpa memedulikan tingkat pengetahuan masyarakat.

Vicky telah membantu kita untuk mendefinisikan watak masyarakat kita yang sesungguhnya. Mungkin, kita pun sering berbahasa sebagaimana dirinya. Sebab bahasa itulah yang kita saksikan setiap hari. Bahasa itulah yang membuat kita semua mendefinisikan diri kita. Bahasa itulah yang setiap hari kita saksikan di media.

Sikap kita justru menjadi lelucon bagi Vicky. Kini ia populer dan kaya berkat keusilan kita menyoal berbagai hal, termasuk caranya berbahasa.

Semoga pernikahannya dengan Angel Lelga berjalan lancar.


0 komentar:

Posting Komentar