Tuan Guru yang Jadi Pesaing Terbaik Jokowi dan Prabowo



DI atas kertas, hampir semua orang hanya menyebut dua nama di arena pemilihan presiden (pilpres) mendatang yakni Joko Widodo versus Prabowo Subianto. Padahal, ada banyak nama lain yang juga pantas dan tepat untuk memimpin perahu besar bernama Indonesia.

Jika kita melihat dan mengalkulasi nama-nama yang pantas untuk memimpin bangsa ini, maka boleh jadi kita akan berkesimpulan bahwa Jokowi dan Prabowo bukanlah yang terbaik. Ada sejumlah nama hebat yang juga pantas dan bisa menjadi alternatif dalam memimpin Indonesia.

Melihat gejala menguatnya politik identitas, maka pesaing Jokowi dan Prabowo sebaiknya berasal dari figur Islami yang bisa diterima kalangan, serta bisa menjadi payung bagi keragaman Indonesia. Satu nama yang banyak disebut para pemikir dan praktisi politik adalah figur hebat bernama Tuan Guru Bajang, yang kini menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).

***

HARI itu, obrolan santai tengah digelar di Istana Wakil Presiden. Di kantin yang sering dijadikan tempat berkumpul awak media dan staf istana, tiba-tiba saja Wakil Presiden Jusuf Kalla datang bergabung. Ia bertanya kepada banyak orang tentang siapa yang pantas diajukan sebagai pemimpin.

Beberapa nama lalu disebut. JK selalu menggeleng dan menyebut bahwa masih ada yang lebih baik. Situasi politik belakangan membuat JK berhati-hati dalam melihat semua figur. Ia menginginkan ada figur seperti dirinya, yang berasal dari daerah sebab Indonesia dibangun oleh pilar-pilar daerah yang kuat, punya afiliasi keagamaan yang kuat, juga punya banyak prestasi yang lahir dari hasil kerja keras, tanpa banyak gembar-gembor.

JK menginginkan ada figur yang bisa diterima semua kalangan, sehingga energi bangsa bisa tercurah untuk membawa perahu negeri ke arah yang lebih baik. Tiba-tiba saja, seorang jurnalis menyebut nama Tuan Guru Bajang. Berbeda dengan respon sebelumnya, di mana JK langsung menolak, kali ini ia terdiam. Ia lalu manggut-manggut. Diskusi berakhir.

Nama KH Zainul Madjdi atau Tuan Guru Bajang belakangan ini santer disebut dalam banyak diskusi. Namanya seharum Jokowi ketika menjadi Walikota Solo yang sarat prestasi. Pada masa Jokowi memimpin Solo,  semua daerah merindukan figur seperti Jokowi yang membangun karier dari bawah, serta bisa bicara hal-hal detail. Biarpun belum menyelesaikan masa jabatan sebagai walikota, Jokowi lalu dipinang warga Jakarta untuk menjadi gubernur, hingga akhirnya sukses menjadi Presiden RI.

Tuan Guru Bajang juga meniti di jejak yang sama. Ia seorang pemimpin di daerah, yang pada mulanya dipandang sebelah mata. Ia pernah dianggap sebagai “anak ingusan” sebab menjadi gubernur pada usia 36 tahun. Latar belakangnya bukan dari birokrasi. Pendidikannya pun tak ada kaitan dengan ilmu sosial politik, pemerintahan ataupun ekonomi.

Ia seorang alumnus Universitas Al Azhar yang memperdalam pengetahuan tentang agama Islam. Pada salah satu program talkshow di televisi, ia mengaku kesulitan pada masa-masa awal. Ia harus belajar tentang birokrasi, serta belajar bagaimana mengendalikan banyak orang.

Tapi beberapa tahun setelah menjabat sebagai gubernur, satu demi satu prestasi berhasil diraihnya. Ia membawa NTB sebagai juara pertama kategori provinsi dengan laju pembangunan MDGs tertinggi. Penghargaan itu diraih sejak 2011 hingga 2015. Angka kemiskinan turun dari 23,81 persen menjadi 16,54 persen pada tahun 2015. Angka wisatawan berhasil dinaikkannya, yang pada tahun 2008 hanya 600 ribu menjadi 2,4 juta pada tahun 2015.

Ia melakukan reposisi konsep wisata menjadi wisata halal dan menyabet penghargaan sebagai World’s Best Halal Tourism Destination di panggung internasional. Melalui reposisi menjadi wisata halal, ia mengukuhkan jati diri NTB sebagai daerah wisata yang tetap tidak kehilangan jari dirinya sebagai masyarakat religius. Ia juga memperkuat komoditas jagung sebagai komoditas andalan di wilayah itu.

Sebagai orang yang bukan berasal dari NTB, saya selalu menyukai kemunculannya di beberapa stasiun televisi. Kalimat-kalimatnya terukur. Ia bukan tipe orang yang mendapat satu pertanyaan, lalu jawabannya bisa memutar-mutar dan menyebut banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan. Tuan Guru selalu efektif dalam menjawab pertanyaan. Ia bisa menjelaskan hal rumit menjadi sederhana, sebab memahaminya pada tingkatan filosofis.

Saya beberapa kali melihat dirinya yang ditanya tentang capaian keberhasilan sebagai gubernur. Ia selalu menjawab dengan rendah hati. Dalam satu dialog di televisi, ia mengakui, satu-satunya modal kuat yang dimilikinya adalah latar belakang keluarga dan keagamaan yang kuat.

Gelar Tuan Guru di depan namanya adalah simbol dari posisi kultural dan sosial yang kuat. Ia bisa diterima semua kalangan sebab memiliki otoritas pengetahuan keagamaan. Ia pun menjadikan itu sebagai landasan dalam memahami berbagai aspek birokrasi dan pemerintahan.

Diakuinya, legitimasi kultural dalam panggilan Tuan Guru jauh lebih tinggi ketimbang legitimasi sebagai gubernur. “Di daerah saya, seorang Tuan Guru jauh lebih didengarkan ketimbang seorang pejabat yang hendak berkomunikasi dengan masyarakat,” katanya.
Namun, menyandang legitimasi kultural tidak serta-merta membuat semua persoalan menjadi mudah. Kepemimpinan baginya adalah fungsi, bukan struktur. Seseorang yang menjadi gubernur tetap akan belajar dari pendahulunya. Semua profesi memiliki ruang belajarnya sendiri-sendiri sehingga siapapun bisa menjadi pribadi unggul melalui proses belajar.

Intelektual Muslim Prof Komaruddin Hidayat menyebut Tuan Guru sebagai seorang pembelajar yang cepat (fast learner). Dalam waktu cepat, ia mempelajari langgam birokrasi, lalu menyusun langkah-langkah strategis untuk pemerintahannya.
Terhadap siapapun, ia tetap santun dalam menyampaikan pandangan. Bahkan saat mengkritik Presiden Jokowi dalam satu acara, ia bisa menyampaikannya dalam bahasa yang santun dan tidak menyakiti siapapun. Ia pandai memilih diksi kalimat yang baik sehingga pesan-pesan itu bisa diterima dengan baik oleh semua kalangan.

Pada titik ini, ia bisa menjadi pemersatu. Ia bisa menjadi jalan tengah dari berbagai kekuatan yang tengah mencari posisi di panggung kuasa. Jika pilpres ini akan membelah warga kita dalam dua kelompok besar, maka keberadaan Tuan Guru Bajang bisa menyatukan berbagai elemen kultural anak bangsa dalam satu payung besar keberagaman dan saling menghormati.

Berkat prestasinya, Tuan Guru mendapatkan apresiasi dari Prof Dr Syekh Abdul Fadhil el Quoshim, guru besar di Al Azhar. "Pemerintahan gubernur Nusa Tenggara Barat bisa dijadikan contoh bagi negara-negara Islam, bahkan dunia, bukan hanya buat Indonesia."

***

INDONESIA akan segera menggelar ajang pemilihan presiden di tahun mendatang. Pemilihan ini memiliki makna strategis bagi bangsa. Akan sangat baik jika pesta demokrasi itu menjadi panggung untuk menelaah kembali siapa saja anak bangsa yang punya prestasi hebat untuk memimpin.

Diskusi di arena pilpres seyogyanya tidak cuma membahas dua nama, yang saat ini digadang-gadang oleh banyak partai politik. Harusnya diskusi lebih substansi dan mengarah pada apa saja kriteria pemimpin yang dibutuhkan Indonesia, serta siapa sajakah yang menunjukkan track record dan kinerja bagus untuk memegang amanah besar sebagai pemimpin itu.

Dalam momen sebesar pilpres, seharusnya kita maju selangkah dan tidak lagi menjadikan variabel Jawa dan non Jawa sebagai satu-satunya cara memandang persoalan. Makanya, siapapun orangnya, bahkan berada di titik manapun, sepanjang punya jejak dan karya yang mendukung, pantas dinominasikan sebagai pemimpin kita semua.

Namun, tidak dipungkiri, Tuan Guru mesti diperkenalkan ke publik yang lebih luas. Ia harus menjadi tokoh pemersatu yang tidak hanya “jago kandang” tapi juga dikenal oleh semua kalangan. Ia tidak harus melakukan pencitraan sebagaimana politisi lain, akan tetapi kisah-kisah suksesnya harus disebar ke banyak kalangan sehingga namanya menasional dan dikenal luas.

Dari Pulau Lombok, kisah Tuan Guru harus tersebar ke berbagai pelosok. Pengalaman dan kapasitasnya harus menjadi inspirasi semua pihak sebagai upaya merawat harapan akan Indonesia yang lebih visinya merentang jauh ke depan, tanpa meninggalkan kekuatan jati dirinya.

Pada sosok Tuan Guru, kita menyaksikan wajah Islam yang ramah, penuh pengetahuan, serta sikap rendah hati untuk selalu menyerap energi terbaik bangsa. Kita merasakan embun kearifan yang kelak akan disebar dalam samudera besar Indonesia, sebagai penaut semua pulau, semua suku, semua agama, dan semua manusia.




1 komentar:

5TH GENERATION mengatakan...

Izin share tulisannya Bang Yusran

Posting Komentar