AKSI
marah-marah La Nyalla dalam jumpa pers kemarin tampak heroik, sekaligus
menggelikan. Sudah tahu bahwa medan politik itu ibarat dicemplungkan dalam
“kebun binatang”, kok tiba-tiba marah dan merasa kecele? Sudah tahu kalau semua
kandidat akan dimintai uang banyak, kok malah mempersoalkan mekanisme
pembayaran di depan? Kalau merasa siap, bayar. Kalau tak siap, kabur. Take
it or leave it!
Tapi,
“nyanyian” La Nyalla telah menyalakan banyak hal dalam dunia politik kita.
Sesuatu yang tadinya tertutup dan dilakukan dengan bisik-bisik, kini menjadi
terang. Selama ini, yang kita saksikan hanya permukaan saja. Kita melihat ada
baliho, poster wajah yang tersenyum, visi kemajuan daerah, juga berbagai
promosi kebaikan dan kehebatan satu tokoh.
Padahal,
dunia politik kita penuh lorong-lorong gelap yang selama ini luput dari
pantauan kita. Di lorong itu, ada tawar-menawar, negosiasi, bargaining,
saling ancam, hingga saling serang. Di wilayah gelap itu, para politisi saling
kunci, saling tikam, dan saling ancam ketika pihak lain berseberangan
dengannya. Ada dua hal yang dinyalakan oleh La Nyalla.
Pertama,
mantan Ketua Umum PSSI itu menyalakan apa yang selama ini terjadi dalam partai
politik yang berlindung di balik jargon pemihakan pada rakyat, juga selalu
membela nasib umat. Tanya saja pada kandidat bupati yang gagal mendapatkan
rekomendasi, berapa biaya mahar yang diminta.
Kita
bisa mengatakan bahwa semua partai setali tiga uang. Semua perilakunya sama.
Yang namanya gerakan partai akan selalu butuh uang. Tak ada makan siang gratis,
termasuk bagi mereka yang memperjuangkan rakyat. Pertanyaannya, kenapa La
Nyalla harus ribut sekarang? Kenapa gak dari dulu?
Kedua,
La Nyalla juga mengungkap hubungan antara politisi dengan gerakan-gerakan yang
selalu mengatasnamakan umat. Saat jumpa pers yang isinya marah-marah itu, ia
didampingi Al Khaththath alias Gatot, politisi yang gagal saat jadi caleg, lalu
mengklaim diri sebagai representasi aksi 212. Jika pengakuan Al Khaththath
benar, gerakan yang diklaim sebagai gerakan moral itu adalah gerakan yang terus
bertransformasi.
Gerakan
itu bukannya usai ketika sasarannya jadi tersangka dan dipenjara. Beberapa
orang lalu mengatasnamakan ulama. Mereka bermaksud menjaga spirit gerakan lalu
mendorong sejumlah kandidat kepala daerah.
Massa
tujuh juta orang diklaim sebagai massa loyal dan fanatik. Spiritnya harus
menyebar ke daerah. Semangatnya politik elektoral. Sampai-sampai hendak
mengajukan calon kepala daerah. Mengapa tak sekalian jadi partai politik biar
tujuh juta umat itu terlembagakan?
Seumur-umur,
saya baru tahu kalau La Nyalla adalah pendukung aksi 212. Saya tak pernah baca
berita atau informasi yang menyebutkan bagaimana dirinya ikut merancang aksi
yang konon dihadiri sampai tujuh juta orang. Saya malah baru tahu kalau dia
identik dengan aksi itu, serta dekat dengan ormas-ormas pengusung aksi. Mungkin
saja, uangnya juga mengalir untuk aksi tersebut.
Yang
menarik buat saya adalah bagaimana perselingkuhan antara simbol religi dengan
ambisi kuasa, yang lalu dikemas dalam simbol-simbol keberpihakan pada umat.
Politik itu dikemas sebagai jalan pengabdian kepada Tuhan, padahal proses di
dunia ini tak selalu seindah apa yang tersaji di layar kaca.
Marilah
kita belajar dari pernyataan La Nyalla, pengusaha keturunan Bugis Makassar di
Surabaya ini. Mulanya, dia sumringah karena akan didukung partai berlambang
garuda itu untuk memasuki arena pilkada. Senyumnya mekar saat menerima selembar
surat rekomendasi. Pada dasarnya ia seorang petarung yang tajir. Dalam jumpa
persnya, ia mengaku sudah menyiapkan uang sampai ratusan miliar.
Ia
mulai tampil di banyak media. Citra dirinya dikemas sebagai sosok yang telah
bertobat. Masa lalunya yang dekat dengan dunia malam, juga dibahas media,
tetapi penekanannya pada kekelaman yang kemudian hijrah ke jalan Tuhan. Dia
disebut-sebut telah kembali ke “jalan kebaikan.”
Beberapa
portal online menulis kebaikannya. Deliknews mulai menulis
kebaikan-kebaikan La Nyalla. Sisi spiritualnya ditonjolkan. Kita simak catatan
dalam media itu tentang sosoknya sebagaimana bisa dibaca DI
SINI.
“La
Nyalla selalu yakin dan optimis, bahwa apa yang diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh pasti ada jalan. Sesulit apapun itu. Keyakinan La Nyalla itu
disandarkan pada keyakinan spiritual dia pribadi. Keyakinan spiritual La Nyalla
itu tidak lepas dari perilaku keagamaan pribadi La Nyalla yang tidak banyak
diketahui orang. Lelaki yang lahir 10 Mei 1959 itu, begitu menginjak usia 40
tahun, La Nyalla istiqomah menjalankan Puasa Daud dan Tahajud. La Nyalla muda
memang pernah akrab dengan dunia malam, tetapi setelah usia 40 tahun, dia
memilih membina dan mengajak teman-temannya yang berkecimpung di dunia malam
untuk kembali ke jalan kebaikan.”
Sejak
saat itu, La Nyalla membuat Yayasan La Nyalla Academia, dengan slogan yang
berbunyi; Bersama Untuk Kebaikan. La Nyalla memegang teguh janji Allah di
Alquran, bahwa semua orang merugi, kecuali mereka yang beriman dan berbuat
kebajikan di muka bumi. Kini, La Nyalla berikhtiar untuk berbuat kebajikan
dalam skala yang lebih luas lagi melalui sarana kekuasaan dengan mencalonkan diri
sebagai Gubernur Jawa Timur. Bagi La Nyalla, kekuasaan hanyalah alat. Hanyalah
sarana untuk memperluas ladang amalan kita sebagai manusia. Sebagai khalifah di
muka bumi.”
Ketika
kasus ini mencuat, sebagai publik, kita bertanya-tanya. Apakah mungkin seseorang
yang katanya menjalankan puasa Daud dan rajin salat tahajjud, bersedia
menghabiskan uang yang lalu menjadi pelicin demi kursi kekuasaan?
Apakah
mungkin seseorang yang telah tobat pada dunia malam lalu memilih jalan Tuhan
bersedia menyetor dana awal hingga miliaran sebagaimana diakuinya?
Pernyataan
pers La Nyalla ibarat pengakuan dosa dari seseorang yang sebelumnya terlanjur
dicitrakan berada di jalan kebaikan. Pada akhirnya, dunia politik kita bukanlah
dunia yang hitam putih di mana politisinya adalah para malaikat yang tampil
sebagai pahlawan bagi publik. Dunia ini juga dipenuhi orang-orang yang
dicitrakan seperti malaikat, tapi juga menempuh jalan yang jauh berseberangan
dengan nilai-nilai ideal.
Dalam
diri La Nyalla, kita sedang melihat wajah bangsa. Di satu sisi kita melihat
bagaimana mimpi-mimpi untuk menyejahterakan masyarakat, tapi di sisi lain kita
juga melihat para politisi hendak menempuh jalan pintas demi memenangkan
kontestasi politik.
Praktik
politik uang kerap dianggap sebagai praktik politik yang wajar, bahkan saking
wajarnya dilakukan juga oleh mereka yang selalu tampil dengan gelar religius.
Mungkin
saja La Nyalla berbohong. Apalagi banyak kepala daerah yang membantahnya. Untuk
membuktikannya mudah saja. Jangan tanya pada kepala daerah yang berhasil
terpilih. Sebab demi pencitraan, mereka akan menolak mengakuinya. Tanyalah pada
mereka yang gagal mendapatkan rekomendasi. Pasti akan terselip banyak kisah
tentang perburuan selembar rekomendasi yang penuh suka dan duka. Pada cerita
itu, kita bisa bercermin.
Jika
Anda seorang yang berhati malaikat, janganlah memasuki dunia politik. Politik
uang tidak hanya terjadi saat pemberian mahar, tapi juga terjadi saat
berhadapan dengan calon pemilih. Yang dialami La Nyalla hanyalah satu dari
banyaknya kenyataan di mana praktik politik uang terjadi. Dia mengaku sebagai
korban, padahal dia juga pelaku. Ini hanya soal mekanisme pembayaran dana.
Partai ingin bayar di depan, La Nyalla ingin di belakang ketika rekomendasi
telah keluar untuknya.
***
SAYA
teringat tulisan Aspinall & Sukmajati (2015) mengidentifikasi beberapa pola
yang digunakan politisi untuk mengikat publik agar memilihnya di ajang pilkada.
Pola ini menjadi arus utama yang dilakukan politisi di berbagai wilayah.
Pertama,
pembelian suara (vote buying). Biasanya, praktik pembelian suara
ini dilakukan seorang politisi kepada konstituen. Tim sukses sebelumnya
melakukan pendataan terhadap para pemilih, lalu menentukan siapa saja yang akan
diberikan uang demi suara. Di tanah air, istilah untuk menyebutnya bisa
bermacam-macam, namun yang kerap terdengar adalah istilah “serangan fajar”
untuk menamakan pemberian ang saat pagi hari, jelang pemilih ke lokasi
pencoblosan.
Kedua,
pemberian pribadi (individual gifts). Biasanya, pemberian pribadi
ini meliputi pemberian beberapa barang seperti arloji, kalender, sembako,
rokok, gula, kopi, mie instan, peralatan pertanian. Bisa pula beberapa benda
yang memiliki makna religius, misalnya jilbab, mukena, peci, sajadah, tasbih,
ataupun air zam-zam.
Politisi
memberikan benda-benda ini saat hendak berkunjung ke rumah konstituennya. Label
yang seirng dikemukakan adalah sebagai kenang-kenangan, serta bisa digunakan di
saat genting. Pemberian ini digunakan sebagai perekat hubungan sosial (social
lubricant)
Ketiga,
pelayanan dan aktivitas (services and activities). Selain pemberian
tunai, seorang kandidat juga bisa menggelar beragam kegiatan yang mempertemukan
politisi dan konstituen. Pertemuan itu biasanya diiringi iming-iming pemberian
hadiah tertentu, misalnya pertandingan domino, lomba balap karung, turnamen
sepakbola, ataupun lomba menyanyi bersama.
Biasanya,
acara-acara sejenis akan melibatkan banyak orang serta adanya sejumlah
kuis-kuis yang isinya adalah bagaimana mengenalkan seorang politisi kepada
masyarakat awam.
Keempat,
barang-barang kelompok (club goods). Biasanya barang-barang
ini diberikan untuk mengikat persaudaraan kelompok. Misalnya pemberian bantuan
untuk masjid, pemberian atribut untuk barisan pendukung, hingga penyediaan
sarana kesehatan untuk kelompok pendukung.
Seorang
kandidat juga membentuk kelompok-kelompok kecil yang nantinya menjadi kekuatan
untuk mempromosikan dirinya. Kelompok ini lalu difasilitasi dan diberikan
atribut, serta adanya imbalan berupa gaji tertentu. Biasanya, pemberian pada
kelompok ini dimediasi oleh seorang tokoh masyarakat, yang kerap berperan
sebagai broker politik.
Kelima,
proyek-proyek pembangunan (pork barrel projects). Seorang kandidat
seringkali menjanjikan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah tertentu.
Proyek ini biasanya melibatkan lobi-lobi, jaringan, serta kongkalikong antara
seorang kandidat dengan sejumlah instansi terkait. Pemberian proyek ini
biasanya diikuti dengan penyerapan tenaga kerja di lokasi tersebut, yang diharapkan
agar semakin memperkuat branding atau nama baik dari seorang
kandidat.
***
NAH,
jika anda seorang yang berhati malaikat, apakah Anda yakin bahwa Anda tidak
melakukan satu dari lima praktik politik uang sebagaimana di catat Aspinall di
atas? Beranikah Anda mengambil risiko tidak populer saat menolak segala
bentuk praktik politik uang dan terancam kalah telak oleh mereka yang mendekati
publik dengan strategi pencitraan serta jalan pintas?
Marilah
kita mencari jawabannya dalam setiap tutur pemimpin kita.
0 komentar:
Posting Komentar