Jenderal Moeldoko dan Jenderal Gatot |
DIANGKATNYA
Jenderal (Purn) Moeldoko ke dalam barisan pemerintahan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) bisa ditafsir dari banyak sisi. Dia tidak sekadar menjalankan tugas
untuk mengepalai kantor sekretariat presiden. Dia juga mengemban tugas khusus
untuk memperkuat barisan Jokowi di ajang pemilihan presiden.
Di
atas altar kekuasaan, kita sedang menyaksikan bagaimana Jokowi mengambil
langkah dengan penuh perhitungan. Moeldoko akan menggenapi jajaran militer yang
tengah melingkari Presiden Jokowi dan melapangkan jalan untuknya ke kursi
kuasa. Kita bisa mengatakan: “Moeldoko adalah koentji.”
***
PELANTIKAN
itu berjalan lancar. Tiga orang yang dilantik adalah Idrus Marham sebagai
Menteri Sosial, Jenderal (Purn) Agum Gumelar sebagai anggota Dewan Pertimbangan
Presiden, dan Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden.
Selain mereka, ada pula nama petinggi militer yakni Marsekal Madya Yuyu Sutisna
yang dilantik sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara.
Moeldoko,
nama yang sempat mencuat saat menjabat sebagai Panglima TNI kini kembali masuk
arena. Sekian tahun sejak menyerahkan jabatannya kepada Gatot Nurmantyo,
bintangnya tak begitu terang. Dia aktif di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI), tapi tak ada gebrakan atau sesuatu yang bisa membuat publik kembali
mengenangnya. Dia juga sempat masuk bursa calon Ketua PSSI, tapi dikalahkan
oleh juniornya, seorang jenderal aktif yang kini masuk dalam bursa gubernur di
ujung Sumatera.
Nama
Moeldoko kian tenggelam saat nama Gatot Nurmantyo kian mentereng sebagai Panglima
TNI. Hingga akhirnya Moeldoko banting stir dan bergabung di partai politik yang
dibentuk Jenderal (Purn) Wiranto yakni Partai Hanura. Dia mendapat tugas
sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina. Tapi, namanya nyaris lenyap di tengah
barisan banyak nama lain yang lebih populer di mata insan media. Namanya mulai
dibicarakan saat diminta menjadi wakil keluarga Jokowi saat pernikahan Kahiyang
Ayu dan Bobby.
Lain
lagi dengan Agum Gumelar. Jenderal yang tidak sempat menggapai puncak karier
sebagai Panglima TNI ini, karier militernya banyak di Komando Pasukan Khusus
TNI AD, perjalanan karirnya juga cukup beraneka walau tidak pernah menjadi
panglima ABRI. Dia pernah menjadi menteri perhubungan pada dua kabinet
(satu merangkap bidang telekomunikasi), Ketua Umum PSSI, Gubernur Lemhannas,
dan juga menteri koordinator bidang politik, sosial, dan keamanan.
Dia
juga aktif di Peppabri bersama senior-senior dan sesepuh-sesepuh TNI dan
Kepolisian Indonesia. Dia masih punya pengaruh dan sangat didengarkan oleh
prajurit muda yang beberapa di antaranya malah mengidolakannya. Pada masa aktif
di Kopassus, dia pernah menjadi atasan Prabowo Subianto, calon pesaing Jokowi
di arena Pilpres 2019 mendatang.
Masuknya
Moeldoko dan Agum Gumelar kian menambah jumlah mantan petinggi milter di tubuh
pemerintahan Jokowi. Di sekeliling Jokowi sekarang ada beberapa Jenderal.
Di antaranya adalah mantan Panglima TNI, dari Kostrad dan Kopasus. Wiranto
(Panglima TNI, Pangkostrad) Moeldoko (Panglima TNI, Kostrad), Agum Gumelar
(Komandan Kopassus), Luhut B. Panjaitan (Kopassus), Ryamizard Ryacudu (Kasad,
Pangkostrad) dan Try Sutrisno (Panglima TNI dan Wapres), yang kini aktif di UKP
Pancasila.
Mengapa
Jokowi memberi ruang yang besar bagi militer untuk masuk ke pemerintahannya?
Mengapa pula harus membuka ruang bagi Moeldoko dan Agum Gumelar?
Tahun
2018 ini adalah tahun ditabuhnya genderang politik. Semua keputusan politik di
tahun ini diyakini terkait dengan konstelasi politik yang akan dimulai tahun
depan. Masuknya Moeldoko dan Agum Gumelar harus dipandang dari perspektif ini.
Keduanya tak sekadar menambah daya pukul dari tim kerja Jokowi, tapi juga
didasari atas beberapa pertimbangan politik:
Pertama,
masuknya beberapa jenderal ditengarai sebagai upaya untuk konsolidasi keamanan.
Jokowi ingin memastikan tak ada satupun pihak yang bisa membuat keamanan negara
kian rapuh. Karier Moeldoko dan Agum Gumelar yang cukup mentereng di militer
adalah alasan kuat untuk menempatkan mereka pada posisi strategis.
Biarpun
Moeldoko diangkat sebagai Panglima TNI pada masa Presiden SBY menjabat, akan
tetapi loyalitasnya tidak diragukan. Dia seorang jenderal profesional yang
bekerja terlampau profesional sehingga namanya tidak masuk dalam hiruk-pikuk
politik. Dia bisa memberi garansi bahwa dirinya tidak akan membuat gaduh, malah
bisa memadamkan gaduh yang dianggap bisa mencederai kerja-kerja pemerintahan
Jokowi.
Kedua,
memecah kekuatan militer. Masuknya Moeldoko dan Agum Gumelar menjadi langkah
strategis Jokowi untuk memecah kekuatan militer. Nampaknya, Jokowi sudah
memprediksi, dirinya akan dikepung oleh berbagai kekuatan militer di tahun
mendatang. Saat ini, telah terbentuk kubu Prabowo yang dikelilingi sejumlah
mantan petinggi militer, serta Agus Harimurti Yudhoyono yang juga
mendapat backup dari ayahnya mantan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Jokowi
tak ingin gerbong militer ditarik dan hanya dianggap sebagai representasi satu
kekuatan. Dengan cara menarik sejumlah elite yang punya pengaruh, ia bisa
memastikan bahwa konsentrasi milter akan terbagi dan tidak jatuh pada satu
kelompok. Dengan cara memecah, maka kontestasi dan persaingan akan terjadi di
kalangan militer sendiri, pada saat Jokowi tetap duduk nyaman di kursinya.
Jokowi
ingin mengantisipasi agar Pilpres 2019 mendatang, publik tidak melihatnya
secara sederhana sebagai sipil versus militer. Saat tudingan itu muncul, dia
bisa menjawab itu melalui sejumlah petinggi militer yang kini mengawal
kerja-kerja pemerintahannya.
Ketiga,
dua sosok yang masuk pemerintahannya dikenal sebagai anti-tesis atau cryptonitedari
dua tokoh yang tengah mentereng namanya. Moeldoko dikenal sebagai anti-tesis
atas Gatot Nurmantyo, yang dalam beberapa survei popularitas calon presiden,
namanya mulai mencuat ke atas. Nama Gatot mulai diperhitungkan saat membawa
gerbong TNI untuk memasuki arena politik praktis. Dia juga mendekat ke kelompok
yang selama ini dikategorikan sebagai oposisi pemerintah yang membawa label
politik identitas. Di kalangan mereka yang suka demo hingga berjilid-jilid,
Gatot adalah pahlawan.
Moeldoko dan Gatot |
Namun,
aura Gatot selalu mendapat tentangan dari Moeldoko sebagai mantan atasannya.
Moeldoko diyakini ikut membesarkan Gatot sehingga paham segala
sepak-terjangnya. Saat Gatot menuding institusi lain di luar TNI yang membeli
senjata dalam jumlah banyak, Moeldoko seakan ‘pasang badan’ dan memberi komentar
di media. Moeldoko berada di posisi menentang serta menyerukan agar TNI kembali
pada posisinya sebagai prajurit profesional. Moeldoko dinaikkan agar bisa
mengunci pergerakan Gatot.
Ketika
Jokowi lebih memilih Moeldoko ketimbang Gatot, itu bisa ditafsir sebagai
langkah Jokowi untuk tidak memberikan panggung kepada Gatot sebab bintangnya
bisa terus membesar. Sosok Moeldoko bisa menjadi pengimbang sekaligus
anti-tesis atas Gatot yang tengah membangun kekuatan di kalangan militer.
Sementara
sosok Agum Gumelar diyakini sebagai sosok yang paham bagaimana pergerakan
Prabowo Subianto. Sebagai mantan atasan Prabowo, Agum memahami banyak hal yang
tidak diketahui Jokowi. Pendapatnya sangat dibutuhkan untuk mengetahui strategi
serta berbagai kartu politik yang akan dimainkan Prabowo serta petinggi militer
lainnya.
Keempat,
langgam politik Jokowi selalu menempatkan satu tokoh sebagai anti-tesis atau
“lawan” atas satu tokoh yang namanya meroket. Ketika ada nama yang mulai
menguat dan berpotensi mengancam posisinya, ia akan menyiapkan nama lain
sebagai pesaingnya. Itu bisa dilihat di berbagai lini pemerintahan dan partai
politik.
Dalam
berbagai arena politik, selalu Jokowi menyiapkan dua kartu sehingga siapapun
yang terpilih dan menang, maka dirinya yang tetap akan duduk manis dan
menikmati posisi pemenang. Langgam politik Jokowi mengingatkan pada langgam
yang pernah dimainkan Soeharto sehingga bisa kokoh bertahan selama 32 tahun.
Lihat
saja di masa Soeharto, saat popularitas Jenderal Jusuf meroket, Soeharto
mendorong nama Benny Moerdani sebagai pengimbang ataupun anti-tesis. Saat Benny
Moerdani menguat, Soeharto kembali mendorong sosok Faisal Tandjung sebagai
pesaing Benny.
***
SEUSAI
dilantik, Moeldoko menjawab berbagai pertanyaan jurnalis. Ia melihat keberadaan
sejumlah jenderal purnawirawan TNI dan Polri di lingkaran Presiden Joko Widodo
tidak akan mendominasi. Bahkan, mereka sinergis dengan sejumlah tokoh yang
mempunyai latar belakangnya masing-masing. “Saya pikir, sesuatu kalau
bervariasi, akan lebih indah dilihat. Begitu saja,” ujarnya.
Baginya,
keberadaan para jenderal itu memberikan warna tersendiri bagi kepemimpinan
Jokowi. Salah satunya dalam hal pengambilan keputusan. “Kalau kita membuat
keputusan itu mesti banyak berbagai pertimbangan. Makin banyak sumber, makin
banyak hal-hal yang memperkaya seseorang untuk mendapatkan keputusan terbaik,”
lanjutnya.
Pernyataan
Moeldoko menarik untuk disimak. Ia mengibaratkan dirinya punya warna dan
pemikiran berbeda yang bisa menjadi pertimbangan Jokowi saat hendak mengambil
keputusan tertentu. Dengan melihat konfigurasi lawan-lawan Jokowi yang
kebanyakan di antaranya adalah militer, maka posisi Moeldoko menjadi strategis.
Loyalitas
Moeldoko memang tidak diragukan. Ia menganggap kepercayaan Jokowi adalah
kehormatan baginya. “Intinya siapapun yang diberi kepercayaan oleh Presiden,
itu sebuah kehormatan yang harus dijalani. Nah bagi kami prajurit, tugas adalah
kehormatan dan kehormatan adalah segala-galanya,” ujarnya.
Kita
akan menjadi saksi, apakah Moeldoko bisa menjadi “koentji” atau malah justru
akan dikunci oleh lawan politik Jokowi.
0 komentar:
Posting Komentar