Tiga Indikasi Kemenangan Prabowo Subianto




ARENA pemilihan presiden (pilpres) 2019 akan menjadi palagan ketiga bagi Prabowo Subianto, setelah pernah menjadi kandidat wapres, kemudian kandidat presiden. Biarpun survei publik yang digelar SMRC menyebutkan elektabilitasnya kian menurun, Prabowo justru sedang memasuki momen keemasannya. Sejatinya, dia jauh lebih siap memasuki palagan pertempuran itu dibandingkan sebelumnya.

Dia telah membersihkan sejumlah ranjau politik dan membesarkan partai yang diprediksi masuk akan tetap berada di tiga besar. Di banyak daerah, dia sedang menyiapkan kader yang diyakini akan merebut hati orang-orang. Dia juga masih memiliki kader militan dan barisan pendukung yang menganggapnya sebagai juru selamat demi mengatasi keterpurukan Indonesia.

Yang mendesak baginya adalah strategi politik yang tepat agar palagan pilpres 2019 tidak lantas menjadi kuburan politik yang bisa membuat namanya hanya menjadi catatan kaki sejarah pilpres. Dia butuh strategi baru dan tidak perlu mengulangi strategi yang pernah membuatnya kalah. Di arena pilpres ini, hanya ada satu kata untuknya: Menang!

Bisakah?

***

AKHIRNYA survei itu diungkap ke publik. Di awal tahun politik, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengumumkan survei yang menjadi barometer awal untuk melihat peta kekuatan di arena pemilihan presiden. Posisi Presiden Jokowi terus menguat seiring dengan semakin tingginya tingkat kepuasan publik atas kinerjanya.

Survei itu juga menunjuk Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto sebagai satu-satunya sosok terkuat yang akan menjadi pesaing Jokowi di Pilpres 2019 mendatang. Dalam surveinya, berdasarkan tingkat keterpilihan, Prabowo mendapat 10,5 persen berada di urutan kedua setelah Jokowi yang memerolehan 38.9 persen sebagi calon presiden mendatang. Sementara keterpilihan untuk SBY sebesar 1.4 persen dan Gatot Nurmantyo 0.8 persen.

“Dalam hal elektabiltas presiden, Survei SMRC menunjukkan posisi Jokowi terus menguat,” ungkap Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Januari 2018, kemarin.

Djayadi menambahkan, di sisi lain, nama pesaing terdekat Jokowi hanyalah Prabowo yang memperoleh 18,5 persen suara, yang menunjukkan tidak ada perubahan dukungan dibandingkan hasil survei September 2017. “Pak Prabowo menjadi kandidat terkuat calon pesaing Jokowi pada Pilpres 2019,” katanya. Selain itu, Djayadi menjelaskan ketika responden dihadapkan dengan hanya dua pilihan, suara Jokowi justru semakin menguat. Jokowi memperoleh suara 64,1 persen, disusul Prabowo (27,1 persen).

Sementara itu, terkait dengan calon wakil presiden, tingkat ketepilihan Jusuf Kalla (JK) tertinggi mengalahkan AHY dan Gatot Nurmatyo. “Tiga nama yang mendapat suara terbanyak, M Jusuf Kalla 14.1 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 12.7 persen dan Gatot Nurmantyo 12.2 persen,” tandasnya.

Survei ini hanya memotret top of mind, apa yang ada dipikirkan publik saat dilakukan. Tapi jika mengamati realitas politik dari hari ke hari, Prabowo tetap memiliki peluang besar. Terdapat beberapa alasan mengapa Prabowo masih memiliki kans untuk melenggang ke kursi presiden.

Pertama, isu-isu tentang HAM semakin menghilang. Salah satu sebab kekalahan Prabowo pada pilpres lalu adalah dimunculkannya noktah sejarah pada periode reformasi ketika mantan Pangkostrad itu dituduh terlibat dalam penculikan sejumlah aktivis. Pada pilpres lalu, isu itu diklaim tak ada kaitannya dengan politik, murni soal HAM.

Ketika momentum politik dimenangkan Jokowi, mereka yang dulu bersuara kritis atas HAM itu kini bungkam. Tak ada lagi yang menyuarakan isu itu. Bahkan, pemerintahan Jokowi juga tidak melakukan inisiatif untuk menyelesaikan problem masa silam itu dengan cara membentuk tim investigasi. Bungkamnya para pengkritik dan diamnya pemerintah memberikan keyakinan bagi publik bahwa isu itu adalah rekayasa untuk menjatuhkan Prabowo.

Jika ada lagi yang menyuarakannya di arena pilpres, pertanyaan yang muncul adalah mengapa selama Jokowi berkuasa, isu itu tidak diusut tuntas? Ada permainan apa?

Kedua, kemenangan Anies – Sandi, figur yang diusung Prabowo di pilkada DKI Jakarta adalah darah segar yang semakin menguatkan. Selama sekian tahun Prabowo dan Gerindra berada pada posisi kalah, namun tiba-tiba berbalik menjadi kemenangan di ajang “pilkada rasa pilpres” itu. Prabowo tampil sebagai figur yang memenangkan duet itu. Dia ikut berkampanye. Semua kader Gerindra berada di garis depan kemenangan. Keberhasilan menggenggam Jakarta adalah modal awal ke pilpres. Bukankah Djakarta adalah koentji?

Kemenangan pilkada DKI Jakarta adalah momentum awal untuk memanaskan mesin politik. Kemarin, akun Buni Yani, mengunggah postingan yang isinya memicu reaksi netizen. Ia mengatakan, “Pola DKI bisa dipakai di Pilkada Jabar. Pendukung Sudradjat-Syaikhu dan pendukung Demiz jangan saling serang, justru harus saling dukung dan sinergi. Kalau ada putaran kedua, siapapun yg lolos nanti masing2 pihak harus rela mendukungnya. Ayo bersatu.”

Meskipun orang-orang memprotes ketidakpahaman Buni Yani akan aturan pilkada yang hanya satu putaran di luar DKI, point-nya adalah strategi Jakarta akan direplikasi di daerah-daerah lainnya. Jakarta menjadi barometer bagaimana menggerakkan semua infrastruktur partai.

Jakarta juga barometer untuk menguatkan hubungan dengan partai-partai yang dahulu tergabung dalam nostalgia Koalisi Merah Putih (KMP), yang kemudian dilanjutkan dengan rencana koalisi di sejumlah daerah vital lainnya. Jika koalisi ini bisa kembali menang di satu daerah, apakah itu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, maka saya memprediksi, Prabowo hanya butuh sedikit saja upaya untuk menang di pilpres. Kerjanya akan lebih ringan.

Ketiga, Prabowo diuntungkan oleh bangkitnya politik identitas yang merupakan efek dari pilkada DKI Jakarta. Selama dua tahun terakhir, kekuatan kelompok berlabel Islam simbolik yang selama ini berada di tepian bangkit ke permukaan. Mereka menggalang solidaritas kaum Muslim perkotaan, serta menebar protes pada pemerintahan Jokowi, yang disebut sebagai anti-Islam.

Strategi pemerintah yang hanya merangkul ormas tertentu, serta meminggirkan mereka mendapat perlawanan sengit yang terus berkobar. Indikasinya terlihat pada demo berjilid-jilid, kian massif-nya media sosial dengan dukungan pada kelompok ini, hingga persekusi pada siapa pun yang dianggap mendiskreditkan mereka. Kekuatan kelompok ini semakin membesar ketika mereka membutuhkan satu figur yang bisa jadi simbol oposisi pada pemerintah. 

Beberapa sikap pemerintah menunjukkan bagaimana peminggiran pada kekuatan politik yang kian membesar ini. Jika tarik-menarik ini terus terjadi, serta muncul dukungan dari kekuatan politik dan pemodal, bukan tak mungkin kelompok yang dimotori Habib Rizieq ini bisa membuat people power yang akan menggerus dukungan kuat kepada Jokowi.

Jangan lupa, setahun sebelum pilkada DKI Jakarta, semua pihak yakin Ahok akan melenggang mulus. Jika skenario itu dimainkan ulang, serta didukung politisi dan finansial, Jokowi bisa-bisa kehilangan jutaan pengikut.

Pada titik ini, Prabowo ibarat oase yang menyediakan dukungan serta simbol perlawanan. Kolaborasi antara kekuatan radikal di perkotaan hingga pedesaan, dukungan politisi, serta arus finansial yang kuat akan membuat gerakan ini semakin membesar sehingga akan menjadi duri bagi elektabilitas Jokowi.

***

SEMUA strategi butuh pengorganisasian gagasan. Kunci kemenangan Prabowo akan kembali pada seberapa efektif tim-timnya mengorganisir semua kekuatan yang bisa berpotensi membawa kemenangan. Sebagai contoh, di atas kertas, koalisi Gerindra dan PKS memiliki cyber army yang hebat di dunia maya. Namun jika mereka tidak bisa mengelola tim ini dengan baik, maka bisa-bisa yang muncul adalah “senjata makan tuan.”

Menurut saya, tim-tim Prabowo harus berani mengevaluasi dengan kritis kekalahan periode lalu. Tim ini mesti menemukan formula yang baik, khususnya bagaimana mengelola tim-tim lapangan dan tim intelektual. Yang tak kalah penting adalah bagaimana merumuskan relasi dengan kelompok penentang pemerintah yang jumlahnya kian membesar.

Tim Prabowo harus memikirkan diferensiasi strategi di berbagai lini. Saat berhadapan dengan penentang pemerintah, tim Prabowo harus merangkul dan menguatkan. Saat berhadapan dengan tim cyber army dari pihak lawan, tim juga harus tetap menghantam, namun tetap santun.

Demikian pula saat menghadapi debat-debat, serta memperkaya pengetahuan semua relawan, tim harus sesegera mungkin menyiapkan manual book yang bisa menjadi patokan bersama dalam merespon semua isu yang menunjukkan betapa banyaknya kerja pemerintah yang belum tuntas.

Yang tak kalah penting adalah bagaimana melakukan branding terhadap Prabowo agar tidak melulu bicara tentang nasionalisme dan anti-asing. Tema ini cocok sebagai jargon saat kampanye namun dalam interaksi sehari-hari mesti dibumikan dengan cara mencari hal-hal sederhana yang bisa dipahami dan dimengerti oleh publik. Di titik ini, Jokowi adalah maestro yang paling mudah berbaur dengan rakyat. Beberapa istilah Jokowi seperti “Ambil sepedanya”, pertanyaan tentang ikan, justru menjadi strategi ampuh untuk berinteraksi.

Nah, Prabowo harus menemukan bahasa kunci yang bisa mendekatkan dirinya dengan rakyat. Dia harus menemukan orisinalitas dirinya yang alamiah, dan tidak dibuat-buat. Dia harus berani tampil apa adanya, dan mendengarkan kalimat seorang petani, yang bebas mencandai dirinya. Figur militer yang kaku harus dihilangkan. Dia harus lebih membumi dan secara alamiah berinteraksi dengan siapa saja.

Bagaimanakah menemukan strategi tepat untuk membawa pada kemenangan? Ruang di sini amat terbatas. Saya akan membahasnya pada tulisan berikutnya.


0 komentar:

Posting Komentar